01 Juli 2022
20:45 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Dewasa ini, investasi menjadi suatu hal yang dianggap sangat penting oleh kalangan muda, baik itu milenial maupun Gen Z di Indonesia. Financial freedom, adalah hal yang kerap terdengar dari mulut mereka. Calfien Jory (23) adalah salah satu dari anak muda itu. Desainer sebuah perusahaan swasta tersebut menganggap investasi adalah kegiatan yang sangat penting untuk berbagai tujuan, mulai dari penyehatan keuangan hingga perencanaan masa depan.
Kepada Validnews, Calfien mengaku telah memulai investasi pada masa akhir perkuliahannya, yakni tahun 2020. Kala itu, ia beberapa kali mendapat pekerjaan sampingan, lalu pendapatannya ia investasikan dalam bentuk reksadana pasar uang, reksadana obligasi, serta saham.
"Akhir 2020 mulai dapat penghasilan tetap, lalu plotting pendapatan 20% untuk investasi. Pasar uang, obligasi, sama saham itu dari awal sampai sekarang masih saya simpan," imbuhnya di Depok, Kamis (30/6).
Ketiga portofolio investasi itu ia pilih atas pertimbangan risiko. Calfien mengamini bahwa setiap portofolio punya risiko sendiri sehingga ia membagi rata 20% pendapatannya ke dalam perbandingan 70% pasar uang, 20% obligasi, dan 10% sisanya saham.
"Yang paling berisiko itu menurut saya saham, lalu obligasi, dan pasar uang menjadi yang paling aman. Saya tidak mau ambil risiko besar sehingga saya banyak di pasar uang, kalau saham itu hanya 10% karena risikonya lebih tinggi," tambah Calfien.
Tak hanya dari instrumen reksadana, ia juga sesekali menjajal investasi di crypto. Tepatnya pada Desember 2020, ia menjajal membeli koin-koin bluechip seperti ethereum, binance, ataupun bitcoin. Namun, ia belum punya keberanian membeli koin yang kurang terkenal.
"Saya selalu beli koin yang bluechip. Kalau yang kurang terkenal masih tidak berani karena risikonya besar, uang hilang dalam waktu sekejap. Jadi, saya main aman," sambungnya.
Asal tahu saja, Calfien merupakan salah satu anak muda yang concern terhadap manajemen keuangan. Plotting pendapatan untuk investasi yang hanya 20% itu tak lepas dari kebutuhan pribadi ataupun keluarga yang turut ia tanggung.
Calfien menceritakan bahwa ia turut menanggung biaya kuliah seorang adiknya. Tanpa menyebut nominal, biaya kuliah adiknya itu ia tanggung dengan sistem patungan bersama orang tuanya. Hal ini membuatnya harus berpikir dua kali jika ingin meningkatkan porsi investasi dari gaji yang ia terima.
Meski begitu, ia tak menutup kemungkinan untuk menambah alokasi dari gajinya guna disalurkan ke investasi. Ia yakin jika pekerjaannya terus berkembang, pendapatannya juga akan meningkat dan bukan tak mungkin suatu saat ia mengalokasikan setengah dari gajinya untuk berinvestasi.
"Penghasilan akan nambah terus ya tidak menutup kemungkinan untuk naik investasinya. Bahkan kalau bisa setengah penghasilan saya disalurkan untuk investasi," harapnya.Belajar
Calfien Jory hanyalah salah satu dari sekian banyak anak muda yang menggandrungi perinvestasian. Sejatinya, anak-anak muda dari milenial ataupun generasi Z wajib dan harus mempelajari dulu soal apa itu investasi dan seluk beluknya.
Hal itu disampaikan oleh Financial Planner sekaligus CEO dan Founder Finansialku, Melvin Mumpuni. Menurut Melvin, investasi ibarat kendaraan untuk mencapai tujuan keuangan kita. Setidaknya, mereka para awam melakukan konsultasi terlebih dahulu terhadap yang sudah berpengalaman.
"Kalau tidak ada waktu untuk belajar investasi, better konsultasi atau cari ahlinya, penasihat investasi, atau perencana keuangan, siapapun yang bisa ditanya," jelas Melvin saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (30/6).
Ia menambahkan bahwa orang awam yang sama sekali belum pernah berinvestasi dapat menentukan terlebih dahulu terkait tujuan mereka sebelum akhirnya memilih portofolio yang sesuai dengan tujuan tersebut.
Sebagai contoh adalah tujuan DP hunian seharga Rp250 juta. Jika seseorang baru memegang Rp150 juta dan ingin DP rumah dalam waktu dua tahun, mereka bisa berkomitmen menabung atau berinvestasi Rp8 juta dengan target return di kisaran 10%-12%.
Dari situ, mereka bisa memilih produk investasi atau alokasi seperti apa yang bisa menghasilkan return sesuai perhitungan dengan risiko yang tidak terlalu besar.
"Jadi kesimpulannya, portofolio bisa disesuaikan dari tujuan investasinya, lalu tujuan itu akan mempengaruhi target return berapa," ulas dia.
Risiko
Sementara itu, Financial Planner MRE Mike Rini menganggap risiko dan return menjadi pertimbangan utama dalam memilih portofolio investasi. Setelah risiko itu dipikirkan, barulah mempertimbangkan kombinasi, apakah investasi itu terkonsentrasi atau terdiversifikasi, kemudian volatilitas atau terkait flukutuasi, dan yang terakhir adalah tenornya.
Risiko sendiri akan mempengaruhi tingkat return of investment. Artinya, jika risiko tinggi, maka return juga akan besar dan begitupun sebaliknya. Meski begitu, orang awam tetap disarankan agar mengambil klaster risiko yang konservatif atau paling rendah.
Dalam hal ini, Rini mencontohkan jika ada dana untuk investasi sebesar Rp10 juta, maka sebaiknya secara konservatif dana itu 70% dialokasikan ke pasar uang sebagai portofolio yang risikonya paling rendah, kemudian 30% sisanya berbasis saham.
"Misalnya reksadana pasar uang, obligasi pemerintah, sukuk ritel, atau ORI, itu Rp7 juta bisa dialihkan ke situ, lalu 30% sisanya belikan saham atau reksadana saham," kata Rini kepada Validnews, Kamis (30/6).
Menyusun portofolio investasi berdasarkan risiko, lanjut Rini, merupakan hal yang harus dilakukan secara disiplin. Artinya, investor harus disiplin bermain di klaster konservatif jika masih awam. Nanti jika terjadi perubahan atau mulai berpengalaman, barulah mereka diperbolehkan meningkatkan klaster mereka.
"Misalnya sudah lebih berpengalaman atau perubahan pasar, perubahan knowledge, itu bisa berubah dari konservatif menjadi moderat, kemudian moderat menjadi agresif, tingal mainkan di kombinasinya saja," tandasnya.
Sepaham, Melvin menyebut para pemain awam harus memerhatikan risk tolerance ketika ingin berinvestasi. Ia menjelaskan mereka harus paham terhadap kemampuan finansial untuk menghadapi risiko dari setiap portofolio investasi yang dipilih.
"Risiko itu ada karena suatu kemampuan finansial kita kuat apa tidak untuk menahan penurunan harga atau mungkin yang kedua, pengetahuan kita terhadap produk tersebut," kata Melvin.
Dia mengatakan untuk awal-awal investasi, sebaiknya memilih produk yang bersifat likuid atau untuk dana darurat, misalnya emas dan atau logam mulia, hingga reksadana pasar uang yang notabene punya risiko rendah ketimbang produk lainnya.
Sedangkan jika sudah memiliki tujuan keuangan yang sifatnya jangka menengah atau jangka panjang, Melvin menyebut barulah mereka bisa fokus di reksadana campuran ataupun saham yang perlu waktu untuk belajar lebih banyak lagi.
"Kurang lebih ada tiga faktor, yakni target return, risk tolerance, serta tenor atau periode waktunya. Tapi, ada faktor lain juga, misal terkait perpajakan, lalu apakah mudah dilikuiditas atau tidak, mudah dipasarkan atau tidak," ujar dia.
Melvin pun punya pandangan yang serupa dengan Rini terkait return of investment. Namun menurut hemat dia jika ingin untung besar dalam berinvestasi bukan soal tingkat risiko yang paling utama, melainkan memperbesar modal, ini merupakan konsep mendasar dunia perinvestasian.
"Modal awal dibesarkan, lalu tiap bulan juga diperbesar, kemudian periodenya diperpanjang. Dengan begitu, return investasinya besar," tegas Melvin.
Diversifikasi
Tak hanya memerhatikan tingkat risiko berdasarkan klaster ketika ingin berinvestasi, para pemula dalam dunia investasi juga harus paham soal perumpamaan ‘Don’t Put Your Egg In One Basket’ atau jika dibahasa Indonesiakan menjadi ‘Jangan Menyimpan Telur Dalam Satu Keranjang’.
Perumpaan itu agaknya sangat relate dengan taktik penyusunan portofolio investasi, apalagi bagi para awam. Melvin Mumpuni menjabarkan bahwa perumpaan itu meruapakan strategi diversifikasi untuk mengurangi risiko. Dalam hal ini, diversifikasi sangat disarankan asalkan tahu produk apa yang didiversifikasikan.
Namun demikian, jangan sampai niat diversifikasi justru malah cenderung menjadi kolektor, misalnya punya produk reksadana pasar uang, pendapatan tetap, reksadana campuran, hingga reksadana saham. Tindakan ini sangat amat tidak disarankan, apalagi untuk investor pemula.
"Jadi, diversifikasi dibagi sesuai tujuan. Nah, kalau tujuannya saja tidak jelas, itu agak repot menentukan strategi investasi," kata dia.
Sementara itu, Mike Rini menganggap bahwa diversifikasi merupakan hal mendasar dalam menyusun portofolio investasi. Dalam hal ini, investor akan disebut memiliki portofolio jika punya beberapa produk yang tersebar dan terdiversifikasi.
Tujuannya jelas, untuk mendapatkan tingkat return sesuai dengan risiko yang dapat ditolerir. Menurut Rini, berinvestasi bukanlah menghindari risiko, tetapi justru masuk ke dalam risiko agar bisa mendapat keuntungan sesuai dengan risk tolerance.
Dengan mendiversifikasikan berbagai aset investasi ke dalam penempatan tertentu, maka akan terjadi penyebaran risiko yang kemudian berdampak pada tingkat return of investment yang tetap tercapai. Artinya, investor akan tetap mendapatkan profit sesuai risiko yang managable sesuai kebutuhan.
"Ini tak hanya diterapkan pemain awam, tetapi semua investor. Awam ataupun advanced, yang namanya diversifikasi itu sudah alamiah dilakukan, tinggal komposisinya saja," pungkas Mike Rini.