05 Juni 2025
08:00 WIB
Terlena Kejayaan Di Masa Lampau Jadi Penyebab Lifting Minyak RI Terus Anjlok
Pemerintah lupa pentingnya kegiatan eksplorasi saat sektor migas RI berada di masa jaya menjadi penyebab turunnya lifting minyak.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi. Kapal survei seismik Elsa Regent saat peresmian pelaksanaan survei seismik 2D komitmen kerja pasti (KKP) Jambi Merang di Terminal Penumpang Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Antara Foto/Aprillio Akbar/hp
JAKARTA - "Tahun 1996-1997, itulah puncak yang luar biasa, di mana kita mampu memproduksi minyak kurang lebih 1,5 juta sampai 1,6 juta BOPD dan konsumsi kita kurang lebih sekitar 500 ribu BOPD, ekspor kita 1 juta BOPD. Sampai kemudian pada 2024, lifting kita hanya 580 ribu BOPD dan konsumsi kita 1,6 juta BOPD, jadi kita impor BBM 1 juta BOPD," kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berulang kali dalam berbagai kesempatan.
Indonesia memang punya rekam jejak yang apik sebagai salah satu produsen minyak mentah utama dunia. Pada era 1980-1990an, Indonesia bahkan menjadi salah satu Anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) atau organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi.
Tak heran, kala itu produksi minyak mentah RI berada di kisaran 1,6 juta barel per hari (BOPD). Sedangkan konsumsi di dalam negeri, hanya sekitar 400 ribu-500 ribu BOPD.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pun mengamini pada masanya, Indonesia sempat berjaya sebagai salah satu negara eksportir minyak mentah era Presiden ke-2 Soeharto.
Sayangnya, pemerintahan saat itu terlalu terlena dengan kejayaan dan lupa untuk mencari sumur-sumur minyak baru lewat kegiatan eksplorasi. Pasalnya, cadangan minyak mentah Indonesia era 1990-an berada di angka 15 miliar barel, tetapi kini hanya tersisa sekitar 2 miliar barel.
Dia mengibaratkan, pemerintah layaknya masyarakat yang punya tabungan senilai Rp15 miliar, sehingga lupa dan malas untuk bekerja. Alhasil, kehidupan sehari-hari hanya mengandalkan tabungan tersebut.
Baca Juga: Ini Tiga Strategi Pertamina Untuk Masifkan Eksplorasi Migas
"Jadi, tiap hari tidak kerja, kita ngambil dari situ. Kenapa tidak kerja? Mungkin keenakan kita sudah punya cadangan besar," ucap Komaidi dalam sebuah sesi diskusi bersama Dewan Energi Mahasiswa Indonesia di Jakarta, Rabu (4/6).
Sebaliknya meski tidak menjadi anggota OPEC, Amerika Serikat saat ini merupakan salah satu negara eksportir migas. Padahal saat masa kejayaan Indonesia, Negeri Paman Sam masih berstatus sebagai importir migas.
"Jadi kalau teman media tanya kenapa sih sekarang kita tidak jadi anggota OPEC? Jawaban candaan saya, setahu saya kalau geng motor itu minimal harus punya motor, tidak boleh bonceng. Jadi kalau anggota OPEC, dia harus menjadi eksportir," guraunya.
Komaidi menambahkan, berbisnis di sektor migas bukan merupakan investasi yang instan. Pasalnya, butuh waktu paling cepat 5 tahun dari tahap eksplorasi sampai sebuah wilayah bisa resmi berproduksi.
Hal tersebutlah yang kerap dilupakan oleh pemerintahan dari era Soeharto sampai saat ini. Sehingga, kini lifting minyak Indonesia terus terperosok dengan catatan pada tahun 2024 lalu hanya di angka 580 ribu BOPD atau cukup jauh dari target yang ditetapkan 635 ribu BOPD.
Tak hanya memakan waktu, perusahaan minyak dan gas bumi yang menjadi kontraktor pemerintah juga sering mendapat kendala, terutama dari aspek sosial ketika ingin melakukan eksplorasi atau mengembangkan sebuah lapangan.
"Mereka (KKKS) baru bisa panen lima tahun ke depan, tapi sudah diminta bangun posyandu, bangun sekolah, bangun masjid, dan lain sebagainya dan itu harus dikeluarkan," jabar Komaidi.
Bagi Hasil Dan Ruwetnya Perizinan
Dalam industri hulu minyak dan gas bumi, biaya yang dikeluarkan KKKS akan digantikan oleh pemerintah ketika wilayah kerja (WK) sudah resmi berproduksi.
Kondisi itu turut menjadi penghambat laju lifting minyak nasional lantaran KKKS berisiko menanggung kerugian. Ketika sebuah perusahaan yang melakukan eksplorasi dan tidak menemukan apapun atau menemukan cadangan dengan jumlah yang tidak ekonomis, maka pemerintah tak akan menanggung biaya yang telah mereka keluarkan.
"Kalau ExxonMobil, Chevron, Pertamina, Medco itu investasi, kemudian di situ ada minyak tapi cuma 1 ember, tidak mungkin diproduksi itu. Maka, jutaan dolar AS yang sudah keluar itu akan jadi tanggungan mereka, negara tidak akan mengembalikan, dikembalikan kalau sudah panen," jelas Komaidi.
Di samping itu, Komaidi yang juga merupakan akademisi di Universitas Trisakti menerangkan aspek perizinan turut menjadi tantangan bagi KKKS.
Dari tahapan eksplorasi ssampai produksi yang memakan waktu 5 tahun itu, dirinya mengungkapkan KKKS harus 'kulonuwun' kepada lebih dari 19 kementerian/lembaga.
"Kalau izin migas itu dari eksplorasi sampai produksi yang perlu waktu 5 tahun, itu harus melewati 19 kementerian/lembaga, itu zaman dulu karena di zamannya Pak Prabowo ini nomeklaturnya nambah, mungkin bukan 19 tapi lebih dari itu," paparnya.
Tak tanggung-tanggung, dia mengatakan perusahaan migas dalam hal ini harus mendapat 400 dokumen perizinan, ditambah harus melewati rintangan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Izin yang harus diselesaikan hampir 400 izin. Kadang-kadang di pusat sudah dikasih izin, di daerah belum tentu karena mungkin partai politik di pusat dengan daerah berbeda, sehingga kebijakan yang berbeda," tandas Komaidi.
Eksplorasi Sebagai Tulang Punggung
Sebelumnya, Praktisi Minyak dan Gas Bumi (Migas) Hadi Ismoyo mengingatkan, kegiatan eksplorasi merupakan tulang punggung dari kesinambungan produksi migas. Tanpa adanya masifikasi kegiatan eksplorasi, produksi minyak akan terus menurun setiap tahun.
"Kegiatan eksplorasi adalah tulang punggung kesinambungan produksi. Tanpa eksplorasi yang masif, produksi (minyak) akan turun terus," terang Hadi kepada Validnews, Jakarta, Senin (19/5).
Sebagai upaya untuk setidaknya mempertahankan tingkat produksi setiap tahun, Hadi menyebut, harus ditemukan cadangan yang sama atau lebih besar dari produksi tahun berjalan. Satu-satunya cara untuk menemukan cadangan migas ialah lewat kegiatan eksplorasi.
"Kita harus menemukan cadangan yang paling tidak sama atau lebih besar dari tahun berjalan, Reserves Replacement Production Ratio," jelasnya.
Baca Juga: IPA Dorong Kegiatan Eksplorasi Jadi Prioritas Untuk Tahan Tren Penurunan Lifting Minyak
etidaknya, ada empat hal yang harus dijalankan untuk memperlancar kegiatan eksplorasi. Mulai dari penyediaan data yang cukup dan terintegrasi, fiscal term yang menarik bagi perusahaan, tax regime yang sederhana dan dikemas dalam peraturan khusus, hingga kesinambungan dukungan operasi.
Jika dikorelasikan dengan kondisi saat ini, Hadi menegaskan, hal yang harus dibenahi ialah rezim pajak dan kesinambungan dukungan operasional maupun penyederhanaan birokrasi.
Penyederhanaan perpajakan juga diperlukan, serta pembenahan pungutan-pungutan yang sebetulnya tidak diperlukan pada tahap eksplorasi. Misalnya, pungutan PNBP eksplorasi di laut lepas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Termasuk di dalamnya penyederhanaan tax, masa eksplorasi harusnya dibebaskan dari pajak yang aneh-aneh," kata dia.
Kemudian mengenai aspek birokrasi, dia menegaskan, perizinan harus disederhanakan dan berbagai gangguan harus segera dikikis, termasuk aksi premanisme yang kerap menghambat operasional hulu minyak dan gas bumi.
"SKK Migas harus hadir menjadi ujung tombak untuk bersama-sama KKKS menyelesaikan keruwetan di lapangan," tandas Hadi.