16 Oktober 2025
20:57 WIB
Terjalnya Jalan Mencapai Puncak Predikat Eksportir Pangan Halal Dunia
Cita-cita jadi produsen dan supplier produk pangan halal utama dunia nampaknya masih cukup terjal untuk Indonesia. Alih-alih aktif jadi produsen, tanah air masih cenderung jadi konsumen.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Cita-cita jadi produsen dan supplier produk pangan halal utama dunia, nampaknya masih cukup sulit digapai Indonesia dalam waktu dekat. Bagaimana tidak, Indonesia masih tak bisa unjuk gigi di bagian perdagangan pangan halal internasional. Alih-alih jadi produsen, tanah air masih cenderung lebih pas jadi konsumen.
Kurang produktifnya industri pangan halal nasional di tingkat global dibuktikan dengan turunnya ekspor pangan halal RI ke Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) antara 2022-2023. Penurunan terjadi dari peraihan sebesar US$13,13 miliar (peringkat ke-5 dunia.red) menjadi hanya US$11,05 miliar (peringkat ke-8 dunia).
Kinerja ekspor pangan halal RI pun dibalap oleh Turki yang mencatatkan nilai perdagangan sekitar US$12,98 miliar, maupun Uni Emirat Arab dengan torehan US$12,64 miliar. Di sisi lain, kinerja impor RI dari OKI malah cenderung stabil besar. Bahkan RI mencatatkan diri menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu yang sama, dari US$25,82 miliar menjadi US$25,48 miliar.
Baca Juga: Menperin Belum Happy Dengan Ranking Indonesia Dalam Ekosistem Industri Halal
Kondisi ini makin tak menyenangkan, lantaran State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024/2025 menempatkan Indonesia di peringkat ke-3, persis di belakang Malaysia dan Arab Saudi yang dikategorikan punya ekosistem industri halal suportif di dunia.
Kepala Pusat Industri Halal Kemenperin Kris Sasono Ngudi Wibowo mengamini data tersebut. Dia mengungkapkan sebab-musabab penurunan. Merosotnya posisi ekspor tersebut ditengarai erat berkaitan dengan tren penurunan ekspor minyak sawit Indonesia sebagai kontributor utama untuk produk halal ekspor Indonesia ke negara-negara OKI.
Selain itu, penurunan ekspor juga disebabkan stagnasi produksi sawit rakyat, naiknya permintaan sawit domestik karena program mandatory biodiesel, dan efek memanasnya tensi geopolitik yang berpengaruh ke Negara Teluk.
“Kondisi tersebut harus menjadi refleksi dan motivasi bagi kita semua,” kata Kris saat diwawancarai Validnews, Jakarta, Rabu (15/10).
Sebaliknya, Kris masih optimistis, peluang Indonesia sebagai jagoan produsen dan eksportir produk pangan global masih terbuka lebar ke depannya. Dia menekankan, RI punya keunggulan komparatif untuk mencapai ke sana dengan kekayaan sumber daya alam, industri yang terus tumbuh, serta besarnya pasar domestik.
“Momentum inilah yang harus kita kelola bersama, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar (impor) bagi produk halal dunia, tetapi juga tampil sebagai pusat produksi halal global,” ujarnya.
Di saat sama, dia juga mengakui, masih ada sejumlah kendala fundamental yang dihadapi industri pangan halal lokal saat ini. Mulai dari, kepastian dan konsistensi regulasi, biaya dan durasi proses sertifikasi halal, hingga harmonisasi standar dan pengakuan sertifikat halal terutama di negara-negara tujuan ekspor.
“Ketergantungan impor bahan baku, terbatasnya inovasi dan riset untuk pengembangan produk, serta hambatan nontarif di negara tujuan seperti standar halal dan sanitary and phytosanitary (SPS) juga,” ujarnya.
Seabrek Masalah Industri Halal RI
Pandangan berbeda dikemukakan Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF Nur Hidayah. Menurutnya, penurunan peringkat ekspor pangan halal RI tersebut tak bisa cuma disederhanakan akibat performa yang turun. Pemerintah harus terbuka mengakui, penurunan juga akibat lambatnya RI untuk menciptakan rantai pasok (halal value chain) yang mumpuni.
Tak heran, banyak negara lain yang menyalip potensi ekonomi halal tersebut dengan pengintegrasian produksi, sertifikasi, branding, hingga distribusi global yang lebih rapih. “Jadi, bukan hanya soal volume ekspor, tetapi tentang kesiapan sistem industri halal nasional kita dalam menghadapi standar global dan menembus rantai pasok internasional,” terang Nur kepada Validnews, Rabu (15/10).
Baca Juga: Kemenperin Ungkap Penyebab RI Peringkat Ke-8 Ekspor Produk Halal Ke Negara OKI
Kalau mau dikuliti, kurang perform-nya ekspor pangan halal juga disebabkan dominasi produk berbasis bahan mentah seperti minyak sawit mentah atau daging olahan sederhana. Bisa juga, produk bernilai tinggi namun dengan di-branding oleh luar negeri.
“Rantai nilai industri halal juga belum terintegrasi, belum ada sinergi kuat antara sektor pertanian, pengolahan pangan, logistik halal dan sertifikasi misalnya cold chain halal traceability, bahkan laboratorium uji halal kita masih terbatas,” bebernya.
Di sisi lain, kapasitas ekspor UMKM yang masih rendah juga tertahan oleh biaya sertifikasi halal dan standar ekspor seabrek. Belum lagi, soal inovasi ekosistem pembiayaan syariah untuk industri halal yang masih terfragmentasi antara bank, fintech dan lembaga penjaminan.
"Padahal, banyak pelaku UMKM halal kita yang sebenarnya potensial tapi belum mampu scale up ke pasar ekspor,” ucapnya.
Di tingkat internasional, Indonesia juga mesti berbenah karena kalah agresif dibanding negara lain yang aktif berdiplomasi dan menebar insentif. RI bisa mencontoh Malaysia, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi yang menempatkan diplomasi halal sebagai bagian strategi perdagangan nasional dengan dukungan pembiayaan ekspor syariah dan promosi global yang kuat.
“Jadi Indonesia tidak akan bisa naik peringkat hanya dengan menambah volume ekspor, tetapi harus transformasi struktur industrinya, kita sudah harus bergeser dari komoditas halal menjadi produsen bernilai tambah halal,” tuturnya.
RI Masih 'Anak Bawang' Produsen Halal Dunia
Nur pun menggarisbawahi, negara mayoritas penduduk muslim belum menjadi main players atas permintaan halal dunia. Sebaliknya, negara mayoritas nonmuslim malah lebih gesit untuk memanfaatkan pangsa ekspor produk halal global 2023 yang ditaksir mencapai US$196,30 miliar.
Paradoks ini tercatat dari data SGIE Report 2024/2025 yang menunjukkan, supplier pangan halal andalan ke OKI di 2023 masih dipegang erat oleh negara yang notabene nonmuslim. Di catatan ini, ada Brasil yang memperoleh US$26,53 miliar, disusul India dengan US$21,90 miliar, juga Rusia dengan nominal US$19,45 miliar; dan Amerika Serikat senilai US$13,19 miliar.
“Ini artinya, kemampuan menangkap peluang itu ternyata justru bukan dari negara muslim,” tegasnya.
Baca Juga: Kadin: Peru Ingin Indonesia Jadi Hub Industri Halal Latin Amerika
Sekali lagi, kondisi ini membuktikan bahwa masalahnya buka berada pada kemampuan RI untuk memnuhi memenuhi standar halal OKI. Di kacamatanya, ini lebih ke masalah struktural industri pangan halal yang sudah ketinggalan zaman. Karena itu, dia mendukung penuh hilirisasi yang saban hari pemerintah sampaikan untuk mengoptimalisasi barang mentah agar punya nilai ekonomis yang lebih unggul lagi.
“Mau tidak mau ini adalah tuntutan dan tantangan yang harus dijawab semua, oleh stakeholder ekonomi dan keuangan syariah bagaimana agar struktur industri halal kita tidak lagi timpang, terutama dalam hanya lebih banyak mengekspor bahan-bahan mentah,” tuturnya.
Selain menaikkan kemampuan domestik, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi juga memberi tahu bahwa terjadi pergeseran struktur pangan halal dunia. Salah satunya, kebijakan ‘localize food’ atau swasembada pangan halal oleh negara OKI yang juga turut mendisrupsi permintaan ekspor Indonesia.
Meski sementara ini, dia juga menilai, permintaan produk halal Indonesia terus meningkat signifikan di tengah kompetisi pasar dengan munculnya berbagai pemain baru. Hal ini bisa terlihat pada kuatnya ekspor RI ke Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan UEA, belum lagi permintaan domestik yang juga tak kalah menariknya.
Baca Juga: Industri Halal Sebagai Katalis Ekonomi Berkelanjutan
Selaku pengusaha pengiriman, dia mengingatkan, penetrasi negara anggota BRICS yang agresif mengisi pasokan impor pangan halal negara OKI perlu disimak baik-baik. “Kami melihat bahwa komoditas pangan seperti minyak sawit dan turunannya, kopi, rempah-rempah, dan hasil laut masih memiliki peluang penetrasi pasar yang besar di kawasan Timur Tengah,” jelas Yukki yang juga menjabat sebagai Vice President FIATA kepada Validnews pada Rabu (15/10).
Kondisi ini bukan berarti harus ditangisi. Indonesia juga tak perlu berkecil hati dengan kinerja ekspor pangan halal yang masih kecil saat ini, sebab pertumbuhan kelas menengah muda di Timur Tengah dan anggota OKI masih pesat. Sehingga, peluang ekonomi halal juga jangan dilihat secara parsial.
“Hal ini berarti bahwa selain produk makanan, peluang bisnis lain yang dapat muncul berada pada fashion halal, perhiasan dan kosmetik halal, dan kegiatan wisata,” ujarnya.
Produk Pangan Halal Potensial
Adapun soal pasar pangan ini, Ketua Bidang UMKM/IKM Apindo Ronald Walla menyebutkan, negara-negara OKI masih sangat bergantung pada impor pangan halal berupa serealia, gula, lemak, minyak, dan produk susu. Menyesuaikan dengan demand itu, dengan kekayaan alamnya, Indonesia berpeluang meramaikan ekspor halal dengan mengisi produk turunan kelapa sawit dan oleofood halal; produk perikanan olahan, rempah, dan minuman herbal; serta produk makanan siap saji dan minuman halal siap konsumsi.
“Dengan mengembangkan produk-produk bernilai tambah tersebut, Indonesia dapat memperkuat posisi dalam rantai pasok makanan halal global,” kata Ronald ketika dihubungi Validnews pada Rabu (15/10).
Yang juga harus diatasi, peluang ini bukan tanpa hambatan. Optimalisasi masih 'tersandera' fragmentasi kelembagaan dan koordinasi antarinstansi, keterbatasan halal logistics hub dan sistem traceability (ketertelusuran), minimnya akses pasar dan promosi produk halal Indonesia di luar negeri.
Baca Juga: Lampaui Target, BPJPH Klaim Sudah Sertifikasi Halal 9 Juta Produk
“Skala usaha UMKM yang masih kecil dan belum memenuhi volume kontrak ekspor besar juga (jadi tantangan),” jelas dia.
Sependapat, Kris juga mengutarakan, Indonesia memiliki peluang strategis untuk mengisi celah ekspor OKI, terutama untuk kelompok komoditas lemak dan minyak. Peluang ini tak bisa dilewatkan karena predikat RI sebagai eksportir terbesar minyak sawit dunia, dengan sekitar 48% pasokan minyak nabati OKI berasal dari impor.
“Beberapa produk pangan unggulan spesifik Indonesia yang paling memungkinkan untuk ditingkatkan ekspornya antara lain mi instan, kopi dan kakao. Produk-produk tersebut dipilih karena Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar di dunia untuk ketiga produk tersebut,” ungkap Kepala PIH Kemenperin ini.
Sertifikasi Halal, Perkuat Daya Saing
Untuk mendorong penetrasi dan peningkatan ekspor pangan halal Indonesia ke global, Yukki menegaskan, pemerintah bersama dunia usaha mesti serius memperbaiki standardisasi dan sertifikasi. Pasalnya, keberhasilan produk ekspor sangat bergantung pada daya saing produk memenuhi standar acuan masing-masing negara.
Dirinya pun bersyukur sistem sertifikasi halal Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan untuk dapat menyesuaikan dengan standarisasi negara OKI. Misal, sertifikasi halal MUI diakui oleh Lembaga Akreditasi Timur Tengah (ESMA), sehingga produk pangan halal RI menjadi lebih kompetitif dengan hambatan yang lebih rendah di wilayah OKI.
“Kami berharap pemerintah dapat memperkuat diplomasi untuk memperluas lebih banyak lagi cakupan akreditasi sesuai standar halal internasional, membantu audit monitoring dan kepatuhan operasional dalam rantai pasok, serta memberikan pendampingan bagi UMKM untuk mencapai standar halal ekspor,” kata Yukki.
Belum usai, dirinya pun mendukung sosialisasi, pelatihan, dan komunikasi antara pemerintah dan eksportir lokal yang lebih intens krusial untuk membantu dunia usaha mendapatkan informasi pasar, pengakuan sertifikasi, persyaratan teknis, perizinan, dan kelengkapan dokumen untuk menyukseskan ekspor.
“Sebab pada akhirnya, produk Indonesia yang diterima di pasar kawasan Timur Tengah akan membantu meningkatkan penerimaan produk Indonesia pada pasar halal global,” jelas dia.
Ronald juga mengungkapkan, pemerintah mesti berbenah maksimal untuk meningkatkan kualitas sertifikasi halal sebagai bagian meningkatkan kepercayaan pasar global terhadap produk Indonesia. “Meski demikian, proses sertifikasi masih perlu disederhanakan, baik dari sisi biaya, waktu, maupun pengakuan antarnegara,” sebut Ronald.
Baca Juga: Kalah dari Thailand dan Korea, Kemenperin Akui Branding Produk Halal RI Masih Minim
Makin baiknya sertifikasi halal via BPJPH-MUI-LPH juga perlu ditingkatkan lewat integrasi digital dan sistem traceability halal nasional, harmonisasi dengan standar SMIIC OKI, peningkatan jumlah auditor halal di daerah.
“APINDO menilai pentingnya melakukan langkah-langkah seperti simplifikasi proses sertifikasi berbasis risiko, insentif fiskal dan pembiayaan murah untuk sertifikasi halal, pengakuan bersama (mutual recognition) antara lembaga halal negara-negara OKI,” ujarnya.
Dia juga menyentil, negara nonmuslim yang jadi jagoan ekspor pangan halal bisa tercapai berkat keberhasilannya menggabungkan efisiensi produksi, sistem jaminan halal, dan kepastian logistik. Hal ini menjadi pembelajaran bahwa daya saing industri halal global tidak hanya bergantung pada identitas, tetapi pada efisiensi, kualitas, dan sistem kepercayaan yang terintegrasi.

Langkah Konkret Perbaikan Ekosistem Halal
Ke depan, Nur menyampaikan, langkah konkret pemerintah untuk memperbaiki industri halal RI yang jadul saat ini. Mulai dari membangun kluster industri halal berbasis wilayah (halal food parks) dengan fasilitas pengolahan, laboratorium uji halal, dan penempatan logistic hub harus dekat dengan sumber bahan baku.
“Di sini kemudian pemerintah bisa memberi tax incentive dan matching grant (hibah) untuk pengolahan domestik,” sebut Nur.
Dengan begitu, Indonesia bisa kapok mengekspor barang mentah dan mulai bertahap mengapalkan produk halal siap konsumen, sambil menyandingkannya dengan skema one stop halal certification dan export platform.
“Jadi kita perlu menyatukan sistem BPJPH, Kemenperin, Kemendag agar pelaku usaha cukup mendaftar sekali untuk mendapatkan sertifikasi halal, izin edar dan juga izin ekspor,” jelas dia.
Selanjutnya, RI perlu berkeras memperluas pembiayaan ekspor syariah dan skema value chain finance. Misal, dengan menggunakan sukuk korporasi atau blended finance untuk mendorong UMKM naik kelas, serta pembiayaan dari lembaga keuangan syariah komersial dari bank. “Tapi kemudian misalnya nanti untuk pembiayaan yang berbasis profit and loss sharing itu bisa dilakukan semacam penjaminan oleh dana dari islamic philanthropy atau Ziswaf,” ucapnya.
Kemudian, pemerintah juga perlu membangun brand global Indonesia menjadi bagian dari diplomasi ekonomi Indonesia di level global. RI juga bisa mengandalkan fungsi digitalisasi dan traceability lewat halal blockchain dan sistem digital untuk menjamin rantai pasok halal yang transparan.
Baca Juga: Rantai Pasok Halal Bisa Buat Indonesia Jadi Peringkat 1 Ekonomi Syariah Dunia
Ronald juga mendorong UMKM halal untuk mendapatkan pembiayaan halal dari lembaga-lembaga keuangan syariah. Dukungan pembiayaan syariah yang kuat. diyakini dapat mempercepat kedaulatan ekonomi halal RI yang sudah diolah, disertifikasi, hingga di-branding di dalam negeri secara saksama. Jika idealisme ini bisa diperbaiki secepatnya, maka roadmap industri halal RI bisa tercapai lebih cepat.
“Tinggal bagaimana kita mengawal itu, termasuk political will dari pemerintah karena sesungguhnya sudah tertuang dari dalam RPJMN maupun Asta Cita Pemerintahan Prabowo, tinggal bagaimana semua para stakeholder ekonomi dan keuangan syariah mendorong itu,” bebernya.