20 April 2023
20:45 WIB
Penulis: Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma, Sakti Wibawa
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Semula, pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim.
Melansir dari laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu.
Namun, bukan hanya pembakaran bahan bakar fosil. Aneka kegiatan manusia lainnya pun turut menyumbang pelepasan CO2 hingga terbentuknya “selimut gas” tersebut.
Mulai dari kegiatan yang sudah disepakati merusak lingkungan seperti pembukaan hutan, hingga kegiatan yang dianggap tak berbahaya bagi lingkungan padahal daya rusaknya juga cukup tinggi seperti membuang sisa makanan.
Akibatnya, bumi sekarang 1,1°C lebih hangat daripada pada akhir tahun 1800-an. Dekade terakhir atau 2011-2020, adalah rekor terpanas suhu bumi.
Kenaikan suhu ini merupakan awal dari rentetan kejadian yang saling terhubung, mulai dari kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai dahsyat dan penurunan keanekaragaman hayati.
Kenaikan suhu ini merupakan awal dari mulainya perubahan iklim di suatu area dan dapat mempengaruhi iklim di area lainnya.
Dampaknya pun luas. Perubahan iklim dapat mempengaruhi kualitas hidup manusia hingga memperparah kemiskinan akibat bencana yang silih berganti datang. Kondisi seperti kenaikan permukaan laut dan intrusi air asin telah meningkat dan memaksa sebuah komunitas harus pindah.
Kekeringan yang berkepanjangan menempatkan orang pada risiko kelaparan. Menurut PBB, pada masa depan, jumlah “pengungsi iklim” diperkirakan akan meningkat.
Dengan karakteristik pekerjaan yang berhubungan langsung dengan alam, petani jadi profesi yang rentan terdampak.
Badan Litbang Kementerian Pertanian menyebut kejadian iklim ekstrem menyebabkan kegagalan panen, dan penurunan indeks pertanaman yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi.
Iklim ekstrem juga menyebabkan kerusakan sumber daya lahan pertanian; peningkatan frekuensi, luas, dan intensitas kekeringan; peningkatan kelembaban; dan peningkatan intensitas gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Penurunan produksi akibat banjir dan kekeringan meningkat dari 2,4-5% menjadi lebih dari 10%.
"Kalau sekarang terjadi perubahan kondisi curah hujan, apakah petani siap?” sebut Guru Besar Universitas Indonesia, Yunita T Winarto, kepada Validnews, Senin (17/4).
Kerentanan petani ini, mendorong Yunita mendampingi para petani di Indonesia, khususnya daerah Indramayu. Dia ingin Mereka mengerti dampak perubahan iklim dan strategi dalam menghadapinya.
Yunita yang seorang antropolog bekerja sama dengan ahli agrometeorologi, mengembangkan program edukasi yang berkelanjutan bagi para petani.
Yang dilakukan adalah berusaha mengembangkan kemampuan para petani untuk melakukan analisis agrometeorologi berdasarkan data yang mereka kumpulkan sendiri. Nantinya lewat analisa yang sudah dilakukan, para petani mampu menentukan perangkat atau teknologi apa yang bisa digunakan untuk mencapai produktivitas tertentu.
"Karena perubahan iklim sangat bergantung pada produksi pertanian, maka penting bagi para petani mengetahui empat komponen cuaca yaitu suhu, curah hujan, angin dan kelembaban. Seperti diketahui, Indonesia memiliki dua musim utama yaitu kemarau dan hujan. Dengan transisi antara dua ini, petani bisa melakukan analisis dengan empat komponen tadi," jelasnya.
Yunita melihat, peningkatan suhu global dan semakin meningkatnya frekuensi dan parahnya peristiwa ekstrem menjadi konsekuensi dari perubahan iklim itu sendiri.
Salah satunya adalah variabilitas iklim dengan pola curah hujan yang semakin bervariasi dari musim ke musim yang tidak menentu.
"Jika terjadi perubahan kondisi curah hujan, teknologi seperti apa yang mereka gunakan? Atau strategi apa yang mereka pakai? Budidaya tanam apa atau peralatan apa yang dipakai? Itu penting juga bagi petani untuk memahami dari risiko pola curah hujan," imbuhnya.
Mengenal Metode Mengukur Curah Hujan
Menurut Yunita, dalam mempersiapkan petani untuk menghadapi perubahan iklim, yang dilakukan adalah mengenalkan cara mengukur curah hujan yang mengandalkan pancaindra petani.
Mereka bisa mengalami secara langsung, merasakan dan bisa langsung pula mengaplikasikan yang dipelajari sesuai tradisi serta praktik budaya yang sudah dipelajari sejak dari orang tua maupun temannya.
"Apa yang terjadi di atmosfer ini kan tidak dipahami petani, jadi itu kan di luar kemampuan pancaindra mereka. Jadi memahami berdasarkan observasi empiris atau experience. Jadi apa yang mereka perlu pahami itu dalam kondisi iklim tertentu? Apakah El Nino atau La Nina atau netral?" urainya.
Melansir dari laman Warung Ilmiah Lapangan (WIL), pengukuran curah hujan dilakukan oleh seluruh petani anggota kelompok pengukur curah hujan (KPCH). Setiap anggota KPCH diberikan panduan berupa metode dan prosedur pengukuran curah hujan setiap hari di lahannya masing-masing.
Dari hasil pengukuran tersebut, petani mencatat data curah hujan harian yang menjadi landasan pengetahuan agrometeorologi. Unsur yang diamati dalam pengamatan agro-ekosistem harian meliputi tanah, tanaman, biomasa, hama dan penyakit, serta kondisi iklim ekstrem yang mungkin memengaruhinya.
Hasil pengamatan agro-ekosistem dan perkembangannya dicatat setiap hari. Hasilnya didiskusikan pada pertemuan evaluasi bulanan. Setiap petani memiliki dokumentasi data pencatatan dalam bentuk buku besar.
Lalu petani melakukan analisis dan evaluasi hasil panen. Ini disertai dengan penjelasan perbedaan hasil panen antar petani dalam satu musim, perbedaan dengan hasil panen tahun lalu pada musim yang sama atau perbedaan panen dengan musim sebelumnya.
Diskusi ini mengacu pada pengamatan harian, perhitungan, dan catatan aplikasi input (pupuk, varietas, pestisida, jumlah tenaga kerja, penggunaan mesin dan teknologi) dengan memperhatikan ketersediaan, waktu aplikasi, dan jumlah asupan.
Perubahan iklim menyebabkan ketidakpastian sehingga memerlukan beragam strategi antisipasi. Karena itu, petani harus dapat mengorganisasi Warung Ilmiah Lapangan secara mandiri. Inisiasinya ditandai dengan berdirinya Perhimpunan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI) di Kabupaten Indramayu sejak tahun 2019.
Setiap bulan tim WIL dari Universitas Indonesia mengirimkan rangkuman kondisi iklim dalam tiga bulan ke depan dalam bentuk “skenario iklim musiman” melalui cara sederhana. Layanan pesan singkat (SMS) dan aplikasi pesan WhatsApp di telepon genggam menjadi pilihan.
Skenario tersebut dirumuskan oleh ilmuwan agrometeorologi untuk menjadi bahan diskusi petani ketika pertemuan bulanan WIL.
Dampak Perubahan Iklim Pada Petani
Pembelajaran metode mengukur pola curah hujan ini juga sampai pada Nurkilah. Petani yang kini sekaligus menjadi Ketua Umum Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI) Indramayu ini menjelaskan terasanya dampak dari perubahan iklim bagi petani padi.
Dia mengamati, musim penghujan sering mundur tidak menentu. Dampaknya, petani kerap mengalami gagal panen akibat curah hujan berkurang pada musim kedua. Intensitas hujan juga kerap tidak merata. Kadang hujan besar hingga menimbulkan banjir.
Pada lain waktu, kering berkepanjangan. Peningkatan populasi hama akibat iklim yang tidak menentu juga dirasakan petani.
"La Nina dan El Nino tidak beraturan terkadang dua tahun berturut-turut La Nina, dan masih banyak kejadian-kejadian yang lain. Harusnya dalam kondisi normal di daerah saya itu 2 kali dalam setahun rata produktivitasnya 7 ton/ha," katanya kepada Validnews, Selasa (18/4).
Akibatnya, penurunan produksi jadi langganan petani. Misalnya jika terjadi kenaikan suhu udara pada malam hari naik 1 derajat itu akan berpengaruh pada turunnya produksi padi 10%. Akhirnya ini juga berdampak pada kenaikan biaya produksi.

"Pasti ketika panen pada saat cuaca ekstrem petani harus menambah biaya tenaga kerja yang panen, maupun jemur padi. Selain itu juga akibat kemarau basah membuat siklus hidup hama tidak terputus baik itu tikus, penggerek batang maupun wereng," sebutnya.
Mengantisipasi ini, dia dan kelompok petani yang tergabung dalam P2TPI belajar dan mempraktikkan agrometeorologi. Para petani yang kebanyakan lulusan sekolah menengah atas ini harus berkutat dengan data ilmiah layaknya peneliti cuaca.
Mereka diajari mengukur curah hujan kemudian mengamati agroekosistem dan dampak dari curah hujan kemudian mengumpulkan data. Nanti setelah terkumpul dalam tiga dasarian atau satu bulan, kelompoknya akan mengevaluasi apa yang sudah terjadi.
"Dari evaluasi itu ada eksperimen-eksperimen yang kami lakukan yaitu eksperimen varietas, eksperimen tanah dan pupuk," tuturnya.
Awalnya Nurkilah dan teman teman merasa kesulitan saat proses belajar dan penerapan pengamatan dan pengumpulan.
Namun, dia kini bangga bercerita bahwa petani sudah mampu menganalisis data secara mandiri.
"Awalnya susah karena harus ada ahli, tetapi sekarang mudah didapat dan digunakan," sebutnya mengenang pembelajaran pertama pada 2009 lalu.
Dia menuturkan, metode yang digunakan adalah cara belajar yang berkelanjutan dengan metode Warung Ilmiah Lapangan dengan semboyan 8 jasa layanan iklim.
Produktivitas padi itu, katanya, sebetulnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti benih, pupuk, varietas, tanah, pengairan, curah hujan yang berkaitan dengan cuaca dan ada lagi yang lebih penting yaitu teknik budidaya tanaman sehat.
"Dibandingkan dengan yang tidak menggunakan metode belajar WIL, kami sering mengalami gagal panen di musim ke 2 karena kekurangan air dan serangan hama gagal panen pada komoditas semangka," jelasnya.

Pemerintah Lepas Tangan
Sayangnya, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, menilai andil pemerintah dalam edukasi, pendapatan hingga kesejahteraan petani masih belum memadai.
Dia menjelaskan pemerintah sama sekali tidak memperhatikan petani. Contohnya terkait Nilai Tukar Petani (NTP) yang selalu di bawah 100.
"Petani padi merupakan kelompok tani yang paling rendah dibanding sektor pertanian lain seperti perkebunan, peternakan, hortikultura. Jadi kalau petani meningkat kesejahteraannya maka teknologi bisa langsung jadi inisiatif mereka," katanya saat dihubungi Validnews, Kamis (13/4).
Di kacamatanya, di tengah permasalahan perubahan iklim saat ini petani justru tidak mengalami permasalahan apapun terkait teknologi. Justru dia lebih menyoroti persoalan kesejahteraan petani yang harusnya menjadi fokus pemerintah.
"Jadi sekali lagi terkait teknologi enggak ada masalah, pemerintah itu jangan terlalu fokus dengan kepentingan konsumen yang selalu saya kritik sehingga melupakan produsen," tekannya.
Diamenuturkan, AB2TI dalam menanggapi perubahan iklim aktif berpartisipasi di Jaringan Petani Pengamat Iklim yang diinisiasi oleh Prof Yunita serta prediksi program dari AS, yakni Global Agricultural and Disaster Assessment System (GADAS) USDA.
Selain itu pihaknya juga mengembangkan sistem Pranoto Mongso atau proyeksi tradisional akan musim bertani dan panen yang nanti dibuat untuk kalender 2024.
Andreas mengungkapkan, lewat usaha dan upaya AB2TI maupun Jaringan Petani Pengamat Iklim dalam mengembangkan pertanian Indonesia selama tiga tahun belakangan, pihaknya sama sekali tidak menerima bantuan apapun dari pemerintah.
Di samping itu, dia memberi saran terhadap pemerintah untuk mengenalkan pelatihan pelatihan iklim untuk mengenalkan lebih jauh agar bisa diinisiasi langsung kepada pertanian Indonesia.
"Kami sarankan ke pemerintah juga untuk memberi pelatihan seperti yang kami sebut sekolah lapang pertanian modern yang dikembangkan oleh jaringan tani AB2TI Karanganyar. Mereka rutin menyelenggarakan sekolah lapang pertanian organik modern, dan itu akan kami adopsi jadi sekolah lapang pertanian modern dan sudah kami sarankan ke pemerintah, kalau bisa jadi program nasional akan sangat bagus," ucapnya.
Pelatihan tersebut bisa meliputi berbagai aspek, seperti halnya sekolah lapang pertanian organik modern yang akan lebih komprehensif. Jadi di dalamnya tidak hanya masalah pengamatan hama, tetapi juga meliputi pengembangan benih, teknologi budidaya hingga pengamatan iklim.
"Kalau teknologi di jaringan tani AB2TI, sudah amat sangat jamak memanfaatkan teknologi. Seperti pengolahan tanah dengan traktor, lalu varietas benih selektif dan tidak pernah pakai bantuan benih dari pemerintah. Kami cenderung menggunakan benih karya AB2TI ada IR16, IR8, IR20, IR17 atau membeli benih seperti inpari 32, inpari 42, atau benih lainnya," urainya.
Diamatinya, petani juga sudah biasa menggunakan combine harvester untuk panen, walaupun tidak semua wilayah bisa diterapkan itu. Sebagian wilayah petani AB2TI yang bersifat basah, tak menerapkannya.
Untuk penyemprotan, petani telah mengembangkan produk teknologi penyemprotan menggunakan selang panjang. Oleh karena itu, dalam tempo singkat lahan yang disemprot cukup luas. Lalu teknologi pengendalian hama, jaringan tani AB2TI menggunakan light trap.
"Petani itu enggak bodoh dan mereka paham terkait teknologi. Mereka akan mengadopsi teknologi yang lebih efisien pasti itu. Hanya masalahnya dari mana untuk mengadopsi itu? Balik lagi ke isu kesejahteraan, kalau isu kesejahteraan bisa selesai (tuntas) semuanya akan ikut. Enggak hanya teknologi, pasti produksi juga akan naik," tukasnya.