20 Agustus 2025
14:43 WIB
Tantangan Nontarif, Produk Indonesia Sulit Masuk Pasar Uni Eropa
Upaya Indonesia tak mudah memasuki pasar alternatif di tengah dinamika tarif dagang AS. Kebijakan nontarif jadi salah satu alasan negara berkembang sulit mengakses pasar negara maju, yaitu Uni Eropa.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Peneliti Senior LPEM FEB UI Christina Ruth Elisabeth mengungkap, upaya Indonesia memasuki pasar alternatif selain AS di tengah dinamika tarif dagang bukan hal yang mudah.
Meski selama ini berbagai kesepakatan perdagangan dengan negara mitra baru yang mengedepankan tarif 0% sudah banyak diumumkan pemerintah, namun Ruth melihat, tantangan tak kalah besar justru datang dari kebijakan nontarif.
Dia juga mengingatkan, lebih besar dan kompleksnya tantangan kebijakan nontarif juga menjadi salah satu alasan yang membuat negara berkembang seperti Indonesia sejak lama sulit memasuki pasar negara maju.
“Mengapa tidak mudah untuk negara berkembang masuk ke pasar negara maju, itu karena tindakan nontarif itu relatif lebih intens diterapkan oleh negara-negara berpendapatan tinggi,” ujar Ruth dalam Seminar daring Core Indonesia bertajuk 'Menakar Daya Saing Indonesia di Era Tarif Baru', Jakarta, Rabu (20/8).
Baca Juga: IEU-CEPA Rampung, Kemendag: Tekstil-Sawit RI Dapat Tarif 0%!
Menurutnya, negara maju selama ini memiliki standar tinggi dalam menerima produk yang memiliki kepastian kesehatan, disertai jaminan keamanan sesuai dengan prinsip yang diterapkan.
Sebagai perbandingan, Ruth membeberkan, simulasi perbandingan saat produk Indonesia memasuki salah satu pasar alternatif yang selama ini dibidik, yakni Uni Eropa.
Dia mencontohkan, produk unggulan RI tekstil (TPT) untuk bisa memasuki pasar Uni Eropa harus mempersiapkan kebutuhan teknis. Sejak 2012, Benua Biru telah menerapkan aturan labelling yang wajib mencantumkan nama serat resmi, persentase serat, simbol perawatan, dan negara asal.
“Berarti pada regulasi ini kita (produsen RI) harus memiliki keakuratan data seratnya, lalu penerjemahan multibahasa, dan biaya cetak labelnya. Kemudian juga dengan aturan material disclosure yang bersifat mandatori, membutuhkan dokumentasi tentang rantai pasok yang detail,” jabarnya.
Lebih lanjut, ketentuan tersebut masih ditambah dengan aturan desain ramah lingkungan dan ekonomi sirkular yang juga bersifat mandatori, di mana eksportir wajib memberikan informasi jejak karbon dan siklus hidup produk.
“Ini saya kira cukup sulit untuk dipenuhi karena perusahaan memerlukan sistem pelacakan karbon dan data rantai pasok yang komprehensif, sehingga kita katakan bahwa pasar itu sendiri bisa dikatakan sangat ketat,” imbuhnya.
Klaim Uni Eropa Melunak
Sebagai informasi, salah satu ketentuan dagang mengenai kebijakan nontarif Uni Eropa yang berkaitan dengan lingkungan, salah satunya dikenal dengan istilah European Union Deforestation Regulation (EUDR) atau UU Anti Deforestasi.
Jelang target perampungan perjanjian ekonomi komprehensif (IEU-CEPA) pada September 2025, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut bahwa Uni Eropa mulai melunak soal kebijakan tersebut.
“Sebenarnya kan ketika proses IEU-CEPA ini mau selesai ya, hal-hal seperti EUDR dan sebagainya (Uni-Eropa) mulai melunak," ujar Budi saat memberikan keterangan pers di Brussels, Belgia, Sabtu (12/7).
Baca Juga: Perluas Pasar, 5 Perjanjian Dagang Internasional Bakal Rampung 2025
Mendag menyebut, isu-isu seperti EUDR mulai menunjukkan tanda-tanda pelonggaran lantaran Uni Eropa menunjukkan keinginan kuat untuk menjalin kemitraan jangka panjang dengan Indonesia. Sebab itu, pemerintah saat ini memfokuskan upaya untuk merampungkan IEU-CEPA lebih dahulu sebagai dasar penguatan hubungan dagang kedua pihak.
Menanggapi pernyataan tersebut, Ruth menggarisbawahi, hingga kini pihak Uni Eropa sendiri belum mengeluarkan penyataan resmi terkait kepastian dilonggarkannya prinsip EUDR seperti yang diklaim pemerintah.
“Belum ada secara resmi pernyataan dari EU sendiri bagaimana pelunakan yang disebutkan. Apakah bentuknya secara real, memang sepengetahuan saya belum ada, tetapi pemerintah mungkin telah melakukan berbagai upaya," ujar Ruth.
Namun, dirinya mengatakan, klaim yang diungkap Mendag Budi bisa jadi berlandaskan oleh kelonggaran yang diberikan Uni Eropa khusus terhadap negara-negara berkembang yang dianggap sulit untuk mengikuti kebijakan mereka.
Adapun kelonggaran tersebut, bisa jadi diberikan sebagai hasil dari negosiasi yang sudah dilakukan pemerintah saat merumuskan perjanjian IEU-CEPA, dalam bentuk penundaan waktu implementasi EUDR.
"Bagaimana beberapa pelunakan yang diajukan oleh negara-negara berkembang adalah penundaan waktu implementasi (EUDR) itu dimungkinkan,” terangnya.