18 April 2022
08:01 WIB
JAKARTA – Kenaikan harga beberapa jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi keniscayaan di tengah lonjakan harga minyak dunia. Tanpa kenaikan, pemerintah berhitung harus menambah belanja subsidi energi menjadi Rp320 triliun. Jumlah yang cukup besar untuk ditanggung pemerintah
"Kalau harga minyak dunia bertahan di level sekarang, pemerintah berisiko mengeluarkan dana Rp320 triliun untuk subsidi dan kompensasi BBM dan elpiji. Itu belum termasuk listrik, mungkin listrik tidak sebesar itu," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Minggu (17/4) malam.
Berdasarkan asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat in, harga minyak mentah Indonesia atau ICP hanya dipatok sebesar US$63 per barel. Dengan ICP sebesar itu, perhitungan alokasi subsidi dan kompensasi BBM dan elpiji sekitar Rp130 triliun.
Kini, ketika harga minyak mentah yang kini bertengger di atas US$100, tanpa kenaikan harga BBM, pemerintah harus menyiapkan kembali dana tambahan sebesar Rp190 triliun untuk subsidi energi.
Arifin mengingatkan, saat ini harga jual BBM dan elpiji bersubsidi telah berada jauh dari harga keekonomian, karena terdampak harga minyak dunia yang terus melambung. Ia pun mengimbau masyarakat untuk menggunakan bahan bakar yang sesuai dengan kemampuan, sehingga alokasi subsidi BBM dan elpiji tidak tergerus dan penyalurannya lebih tepat sasaran.
"Penyalahgunaan BBM subsidi akan menambah beban keuangan negara. Masyarakat diminta ikut mengawasi dan melaporkan, apabila menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran dan pemakaian BBM subsidi," tegas Arifin.
Saat ini, pemerintah telah memiliki instrumen hukum untuk menjerat para pelaku penyalahgunaan BBM dan elpiji bersubsidi, dengan pidana penjara paling lama enam tahun dengan denda maksimal Rp60 miliar. Sanksi itu tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 55 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Migas Tahun 2001, tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
Puluhan kendaraan antre mengisi BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Batam, Kepu lauan Riau, Senin (2/11/2020). Antara Foto/Teguh Prihatna
Pertalite dan Solar
Sebelumnya, Arifin sendiri sudah memberi sinyal akan menaikan harga Pertalite dan Solar. Ia menyebut, hal ini sebagai langkah strategis pemerintah dalam menghadapi dampak kenaikan harga minyak mentah dunia.
"Dalam (strategi) jangka menengah dan panjang...penyesuaian harga Pertalite, minyak Solar, dan mempercepat bahan bakar pengganti (kendaraan listrik, bahan bakar gas, bioetanol, maupun BioCNG)," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu (13/4).
Arifin menjelaskan, ketegangan geopolitik global yang terbaik saat ini telah menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Hal tersebut menyebabkan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) Maret 2022 mencapai US$98,4 per barel.
"Adapun rata-rata crude price Aramco untuk elpiji telah mencapai US$839,6 per metrik ton, di mana asumsi awal kami di tahun 2022 hanya sebesar US$569 per metrik ton," jelas Arifin.
Selain menyesuaikan harga Pertalite dan Solar, pemerintah telah menyiapkan strategi jangka pendek untuk menambah kuota dua jenis BBM bersubsidi tersebut, agar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemerintah berencana menambah kuota Pertalite sebanyak 5,45 juta kiloliter menjadi 28,50 juta kiloliter, karena kelebihan kuota realisasi penyaluran sebesar 14 persen pada periode Januari sampai Maret 2022.
Sementara itu, kuota solar diusulkan bertambah sebanyak 2,28 juta kiloliter menjadi 17,39 juta kiloliter. Pemerintah menambah kuota solar subsidi karena BBM jenis ini juga mengalami kelebihan kuota realisasi penyaluran sebanyak 9,49% di periode Januari sampai Maret 2022.
Hal ini tak terlepas dari peningkatan aktivitas pertambangan dan perkebunan sejalan dengan harga komoditas global yang meningkat.
Pada APBN 2022, volume kuota Pertalite tercatat sebanyak 23,05 juta kiloliter dengan angka realisasi 6,48 juta kiloliter sampai dengan 2 April 2022, sehingga menyisakan kuota Pertalite sebanyak 16,57 juta kiloliter. Adapun volume kuota Solar subsidi sebanyak 15,10 juta kiloliter, dengan realisasi penyaluran mencapai 4,08 juta kiloliter dan menyisakan kuota sebanyak 11,02 juta kiloliter.
Konsumsi Meningkat
Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Ekonomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Maxensius Tri Sambodo Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di dalam negeri saat ini menunjukkan tren peningkatan. Padahal produksi minyak nasional tidak ikut naik sehingga menyebabkan beban subsidi APBN untuk biaya impor energi terus bertambah.
"Subsidi akan terus naik. Kalau tidak dikendalikan, bisa lebih parah lagi,” ujarnya.
Max mengungkapkan, subsidi energi, termasuk listrik, estimasi angkanya tinggi sekali. Sekalipun pinya manfaat bisa meredam inflasi, kemiskinan, pengangguran. Namun ini tidak hanya dialami Indonesia yang mencoba meredam dampak global tingginya harga minyak.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperlihatkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp131,5 triliun, naik 19%dari target 2021 Rp110,5 triliun. Pemerintah menyebutkan kenaikan subsidi energi disebabkan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi.
Petugas SPBU melayani pengisian BBM ke pelanggan. dok. Antara Foto
Lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yakni Rp83,7 triliun dari target awal Rp 56,9 triliun, sedangkan subsidi listrik turun jadi Rp47,8 triliun dari target Rp53,6 triliun. Bila dibandingkan 2020, realisasi subsidi energi pada 2021 ini melonjak 37,4%.
Sementara realisasi subsidi energi pada 2020 mencapai Rp95,7 triliun. Terdiri dari subsidi BBM dan LPG Rp47,7 triliun dan subsidi listrik Rp48 triliun.
Tahun 2022 subsidi energi ditargetkan naik menjadi Rp134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG Rp77,5 triliun dan subsidi listrik Rp56,5 triliun. Jika tidak dikendalikan dengan penyesuaian harga BBM, LPG dan listrik, subsidi energi tahun ini bakal meroket seiring kenaikan harga minyak global, katanya.
Max menyatakan, kenaikan konsumsi BBM bisa jadi karena kesejahteraan masyarakat membaik sehingga bisa membeli kendaraan. Di sisi lain, transportasi publik juga masih belum bagus.
"Ini harusnya direm seperti dengan menaikkan pajak kendaraan dan menaikkan harga BBM," kata pakar ekonomi energi dan sumber daya alam lulusan Australian National University (ANU) ini.
Kenaikan konsumsi BBM yang tidak diikuti dengan kebijakan penyesuaian harga energi membuat masyarakat terus berburu BBM yang murah. Tidak hanya di transportasi, di sektor industri juga ternyata banyak yang menyalahgunakan selisih harga.
Max menyarankan pemerintah untuk memperbaiki strategi komunikasi tentang harga minyak dan dampak yang ditimbulkan. Hal ini harus dibangun dengan berbasis pada data, guna memberikan informasi mengenai besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah dan beban badan usaha akibat kenaikan harga minyak.
“Komunikasi yang dibangun harus bisa menunjukkan setiap rupiah konsekuensi dari kenaikan harga minyak. Mudah-mudahan melalui literasi yang baik, kita bisa mengubah perilaku masyarakat. Ini subsidi sayang uangnya,” kata Max.
Dia mengungkapkan beberapa studi menunjukkan subsidi komoditas justru membuka jurang pendapatan yang makin lebar. Ada satu risiko ketimpangan yang makin besar.
Menurut Max, uang hanya dihabiskan untuk memberikan subsidi energi, sedangkan Indonesia kehabisan uang untuk membangun energi baru terbarukan.