05 April 2022
19:01 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA – Industri susu nasional masih menghadapi pada tantangan pemenuhan bahan baku. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan pasokan bahan baku industri susu, masih tertinggal jauh dibanding pertumbuhan permintaan dari industri.
“Dalam periode lima tahun terakhir, pasokan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) tumbuh rata-rata 0,9% per tahun, sedangkan kebutuhan industrinya tumbuh hingga 6% per tahun,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada Bimbingan Teknis Transformasi 4.0 untuk Koperasi dan Tempat Penerimaan Susu (TPS), Jakarta, Selasa (5/4).
Sampai saat ini, lanjutnya, sekitar 0,87 juta ton atau 21% bahan baku merupakan SSDN. Sedangkan bahan baku lainnya masih didatangkan dari luar negeri, di antaranya dalam bentuk skim milk, whole milk, anhydrous milk fat, butter milk, dan whey.
Berdasarkan catatan kemenperin, sebagian besar produksi SSDN berasal dari Pulau Jawa, terutama Jawa Timur sebesar 534 ribu ton (56% dari total produksi SSDN). Kemudian dari Jawa Barat 293 ribu ton (31%); dan Jawa Tengah 100 ribu ton (11%). Ketiga provinsi tersebut menyumbang produksi susu segar sebesar 98% dari produksi susu segar nasional.
Saat ini, Kemenperin terus berupaya untuk meningkatkan konsumsi susu masyarakat Indonesia yang masih sebesar 16,9 kg per kapita per tahun setara susu segar. Seiring meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat dan makin tumbuhnya kelas menengah, Agus yakin hal tersebut akan memicu terjadinya transformasi gaya hidup masyarakat menjadi lebih sehat.
“Yang berdampak terjadinya peningkatan permintaan terhadap produk bernutrisi tinggi termasuk produk olahan susu. Sehingga kami meyakini peluang pasar dan tingkat konsumsi produk susu olahan akan terus tumbuh tinggi ke depannya,” papar Agus.
Asal tahu saja, Kemenperin mengaku terus mendorong industri makanan-minuman, demi mengurangi impor dan mendorong ekspor. Karenanya, dalam peta jalan Making Indonesia 4.0 yang diluncurkan tahun 2018, Kemenperin telah memprioritaskan pengembangan industri mamin.
“Tujuannya untuk mengembangkan sektor industri manufaktur di Tanah Air, agar bisa mengadopsi teknologi digital sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan berdaya saing global,” tandasnya.
Ilustrasi Pabrik pengolahan susu.dok.shutterstock
Transformasi Digital
Salah satu yang dilakukan adalah memacu industri pengolahan susu melakukan rintisan pembinaan dalam penerapan transformasi digital, di tempat penerimaan susu. Untuk diketahui, saat ini, transaksi yang terjadi antara para peternak dengan industri pengolahan susu (IPS) di tempat penerimaan susu (TPS) atau koperasi, pada umumnya dilakukan secara manual atau konvensional.
"Sehingga, banyak memakan waktu dan perlu antrean panjang yang dapat berdampak terhadap kualitas susu yang disetor oleh para peternak. Terlebih lagi untuk TPS-TPS yang belum dilengkapi dengan cooling unit yang memadai," kata Agus.
Efeknya, lanjut Menperin, dapat menyebabkan harga pembelian susu menjadi tidak maksimal atau bahkan kualitas susu yang disetor tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh industri pengolahan susu.
Beberapa IPS melakukan rintisan pembinaan dalam penerapan transformasi digital di TPS-TPS dan dihubungkan dengan koperasinya. Antara lain Koperasi SAE Pujon Malang (binaan PT Nestle) dan TPS-TPS di bawah KPBS Pengalengan (binaan PT Frisian Flag Indonesia).
"TPS di kedua koperasi susu tersebut telah dilengkapi dengan timbangan digital dan peralatan pencatatan data peternak secara digital pula, sehingga proses transaksi setoran susu dapat berjalan lebih cepat dan transparan," jelas Agus.
Bagi peternak, imbuhnya, diyakini akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari peningkatan kualitas susu yang disetor dan meningkatnya transparansi yang akan meningkatkan trust peternak kepada koperasi atau industri. Di sisi lain, bagi IPS akan mendapatkan bahan baku susu dengan kualitas yang lebih baik sehingga akan berpengaruh terhadap produk olahan susu yang dihasilkan.
"Dari digitalisasi koperasi dan TPS ini, lebih jauh dapat dimungkinkan untuk dilakukan kajian pemberian input (pakan dan perlakuan) vs output (produktivitas dan kualitas susu) yang dihasilkan, sehingga ke depan diharapkan dapat diketahui jenis dan komposisi pakan yang optimal untuk menghasilkan SSDN dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi," imbuhnya.
Saat ini, dari jumlah TPS sebanyak 949 unit, terdapat 338 unit yang sudah memiliki cooling unit dan 24 unit yang telah melakukan digitalisasi.
"Kami akan mengakselerasi untuk dapat melakukan digitalisasi koperasi susu dan TPS secara nasional. Sementara itu, program digitalisasi TPS, baru dapat dilakukan, apabila TPS tersebut telah memiliki cooling unit yang memadai," tegas Agus.
Guna mengukur kesiapan perusahaan dalam penerapan industri 4.0, Kemenperin telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pengukuran Tingkat Kesiapan Industri dalam Bertransformasi Menuju Industri 4.0.
Berdasarkan hasil asesmen terhadap 706 perusahaan dari 11 subsektor industri (industri makanan dan minuman, tekstil, kimia, otomotif, elektronika, dan lain-lain) yang dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia dengan menggunakan INDI 4.0 (Indonesia Industry 4.0 Readiness Index), diketahui bahwa angka rata-rata INDI 4.0 sebesar 1,9 atau berada pada tingkat kesiapan "sedang".
Artinya sebagian besar perusahaan sudah aware dengan industri 4.0 dan ingin segera mengimplementasikannya untuk membuat perusahaannya menjadi lebih efektif, efisien dan lebih kompetitif.
Pekerja memerah susu sapi di peternakan Fresh Milk Farm, Kampung Kebon Pedes, Tanah Sareal, Kota Bog or, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). Antara Foto/Arif Firmansyah
Motor Penggerak
Sekadar informasi, industri mamin merupakan salah satu motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini didukung oleh sumber daya alam yang berlimpah dan permintaan domestik yang terus meningkat.
“Walau terdampak pandemi covid-19, PDB industri mamin masih mampu tumbuh positif sebesar 2,54% pada 2021,” ungkapnya.
Bahkan, pada periode yang sama, industri mamin berkontribusi sebesar 38,05% terhadap PDB industri pengolahan nonmigas. Capaian tersebut menjadikan industri mamin sebagai subsektor dengan kontribusi PDB paling besar.
Pada 2021, nilai pengapalan industri mamin mencapai US$44,82 miliar atau berkontribusi sebesar 25,3% terhadap ekspor industri pengolahan nonmigas. Adapun neraca perdagangan industri mamin pada 2021 surplus sebesar US$31,52 miliar.
“Di sisi lain, minat investasi di bidang industri mamin di Indonesia juga masih cukup besar, yaitu mencapai Rp58,9 triliun di 2021,” sebut Agus
Memperkuat Kemitraan
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian mengapresiasi pelaku industri pengolahan susu di tanah air yang berkomitmen untuk memperkuat kemitraan dengan koperasi dan peternak sapi perah lokal. Terutama demi menjaga pasokan bahan baku yang terintegrasi, sehingga bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas susu segar dalam negeri (SSDN).
“Misalnya, kami mengapresiasi komitmen dan upaya Nestlé Indonesia untuk terus mengembangkan dan memperkuat kemitraan dengan koperasi dan peternak sapi perah di Jawa Timur yang sudah dijalin selama bertahun-tahun,” papar Plt Dirjen Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika beberapa waktu lalu.
Berbagai program dan pola kemitraan yang telah dilakukan Nestlé Indonesia, antara lain rearing anakan sapi perah, pendampingan peternak, subsidi pakan, modernisasi dan standardisasi TPS serta pembinaan Good Dairy Farming Practices (GDFP).
Setiap hari, PT Nestlé Indonesia membeli lebih dari 750.000 liter susu segar dari 27.000 peternak sapi perah yang tergabung di 40 koperasi dan kelompok peternak di 16 kabupaten di Jawa Timur.
“Diharapkan, kontribusi berkelanjutan Nestlé Indonesia terhadap sektor peternakan sapi perah rakyat dapat membantu mengatasi berbagai kendala persusuan di sektor hulu, sehingga dapat mendorong kuantitas dan kualitas susu segar di dalam negeri,” papar Putu.
Selain itu, kemitraan PT Nestlé yang semakin baik diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak sapi perah, sehingga semakin termotivasi untuk meningkatkan produksi susu segar dan jumlah sapi perah yang dimilikinya.
“Kami mengharapkan akan ada lebih banyak industri pengolahan susu lain yang mengikuti jejak PT Nestlé Indonesia untuk terus mengembangkan dan meningkatkan kemitraan dengan koperasi susu dan peternak sapi perah di Indonesia,” imbuhnya.
Presiden Direktur Nestlé Indonesia Ganesan Ampalavanar mengemukakan selama 50 tahun beroperasi, perusahaan berpegang teguh pada komitmen untuk berinvestasi di Indonesia, dengan fokus untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Termasuk menggunakan sebanyak mungkin bahan baku setempat, termasuk susu segar.
“Setiap tahun, Nestlé Indonesia membayar sekitar Rp1,6 triliun untuk pembelian susu segar kepada para peternak sapi perah di pedesaan, yang mendukung pembangunan ekonomi pedesaan dan penghidupan para peternak sapi perah,” ujarnya.
Di lokasi yang berbeda, PT Indolakto juga melakukan program strategis pemberdayaan mitra peternak sapi perah lokal. Perusahaan ini turut berperan aktif dalam peningkatan SDM peternak dan koperasi, peningkatan populasi sapi perah, sarana dan prasarana, dan manajemen pakan yang berkelanjutan.
“Program prioritas yang kami lakukan, antara lain Good Farming Practices dan penanganan susu segar yang baik, peningkatan kepemilikan sapi di peternak, serta feed sustainability,” kata Anang Suprianto Factory Manager PT Indolakto Purwosari.