03 Juni 2025
12:34 WIB
Surplus Dagang April Anjlok 96,53%, BI: Masih Positif Jaga Ketahanan Eksternal RI
BI menilai surplus neraca dagang Indonesia April 2025 yang merosot ke US$160 juta masih positif menopang ketahanan eksternal ekonomi. Capaian surplus ini jadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Foto udara aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (17/1/2025). Antara Foto/Andry Denisah
JAKARTA - Bank Indonesia menilai, capaian surplus dagang RI pada April 2025 yang terpantau anjlok dalam masih berdampak positif pada ketahanan eksternal perekonomian nasional. Asal tahu, neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatat surplus sebesar US$160 juta.
"Bank Indonesia memandang surplus neraca perdagangan ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny dalam keterangan resmi, Senin (2/6).
Baca Juga: Surplus 60 Bulan, Neraca Dagang Indonesia Ditopang Surplus Dari AS
Sebelumnya, BPS melaporkan, neraca dagang April 2025 yang surplus US$160 juta terpantau anjlok parah hingga 96,53% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) yang masih mencapai US$4,33 miliar.
Bahkan, capaian tersebut juga menjadi capain surplus dagang terendah Indonesia sejak Mei 2020 saat masa pandemi covid-19 hingga kini. Adapun capaian surplus dagang Indonesia sudah bertahan selama 60 bulan berturut-turut alias 5 tahun terakhir.
Menurut BPS, rendahnya neraca perdagangan Indonesia kali ini disebabkan oleh penurunan nilai ekspor sebesar 10,77% dibanding Maret 2025. Sementara nilai impor meningkat 8,80% (mtm).
Berdasarkan data BPS, surplus neraca perdagangan yang lebih tinggi terutama bersumber dari surplus neraca perdagangan nonmigas.
Neraca perdagangan nonmigas pada April 2025 mencatat surplus sebesar US$1,51 miliar, seiring dengan ekspor nonmigas yang meningkat menjadi sebesar US$19,57 miliar.
Kinerja positif ekspor nonmigas tersebut didukung oleh ekspor komoditas berbasis sumber daya alam, seperti logam mulia dan perhiasan/permata.
Selain itu, juga didukung oleh ekspor produk manufaktur, seperti seperti mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya.
Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke China, Amerika Serikat (AS), dan India tetap menjadi kontributor utama ekspor Indonesia.
Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas tercatat menurun menjadi sebesar US$1,35 miliar pada April 2025.
"Hal itu sejalan dengan penurunan impor migas yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan ekspor migas," jelas Ramdan.
Baca Juga: Industri Pengolahan Dominan, Nonmigas Dongkrak Ekspor RI April 2025
Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain untuk mempertahankan torehan positif kegiatan ekonomi dalam mendukung pertumbuhan.
"Hal itu guna meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan," katanya.
Alarm Nyata Diversifikasi Ekspor
Sebelumnya, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menekankan, surplus dagang Indonesia April 2025 yang anjlok tajam menjadi US$160 juta jauh di bawah ekspektasi pasar sebesar US$3,04 miliar. Menurutnya, kondisi ini mencerminkan kombinasi tekanan eksternal dan kelemahan struktural dalam sektor perdagangan luar negeri.
Baca Juga: Sentuh US$87,36 M, Ekspor Indonesia Januari-April 2025 Naik 6,65% Dari Tahun Lalu
Dia menggarisbawahi, lonjakan impor sebesar 21,84% (yoy) yang dipicu oleh arus barang modal dari China dan Singapura terjadi di tengah ekspor yang tumbuh moderat 5,76% (yoy) dan terhambat oleh lemahnya harga komoditas serta pemberlakuan tarif 10% dari AS.
"Sementara itu, inflasi yang mereda ke level 1,60% (yoy) dan inflasi inti 2,4% (yoy) memang memberi ruang bagi pelonggaran moneter, tetapi juga mengindikasikan lemahnya permintaan domestik," terang Syafrudin, Senin (2/6).
Kondisi tersebut, ekonom ingatkan, agar Indonesia dapat mempercepat diversifikasi ekspor, memperkuat substitusi impor, dan mengadopsi diplomasi dagang yang lebih agresif dalam menghadapi kebijakan proteksionis seperti tarif Trump.
"Agar ketahanan eksternal dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga di tengah ketidakpastian global," jelasnya.