c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

03 September 2025

15:10 WIB

Sudah Terserap 71,58%, Bappenas Butuh Tambahan Anggaran Tahun 2025

Tambahan anggaran diperlukan untuk gaji serta tunjangan pegawai baik untuk ASN dan tenaga kontrak serta sewa peralatan dan ruang kerja.

Penulis: Siti Nur Arifa

<p id="isPasted">Sudah Terserap 71,58%, Bappenas Butuh Tambahan Anggaran Tahun 2025</p>
<p id="isPasted">Sudah Terserap 71,58%, Bappenas Butuh Tambahan Anggaran Tahun 2025</p>

Akademisi Rachmat Pambudy tiba di kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). Antara Foto/Aprillio Akbar/sgd/Spt.

JAKARTA – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy mengungkap, pihaknya masih membutuhkan tambahan anggaran di tahun 2025 melalui relaksasi tahap II, bersamaan dengan telah terserapnya 75% anggaran yang telah ditetapkan di awal tahun.

“Anggaran Bappenas tahun 2025 sampai hari ini, menurut catatan yang kami dapat, sudah terserap 71,5%, namun masih diperlukan tambahan untuk beberapa kegiatan yang penting lainnya,” ujar Menteri Rachmat dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Gedung Parlemen, Rabu (3/9).

Sebagai catatan, Bappenas menjadi salah satu Kementerian/Lembaga yang mengalami efisiensi anggaran cukup besar di tahun 2025, yakni menjadi Rp968,05 miliar dengan pagu indikatif di angka Rp1 triliun, dari pagu awal yang mencapai Rp1,97 triliun.

Baca Juga: Menteri Bappenas: RAPBN 2025 Untuk Kesejahteraan Sosial

Namun, pihaknya kemudian mendapatkan relaksasi tahap pertama sehingga pagu infikatif naik menjadi Rp1,23 triliun. Dari nilai tersebut, anggaran telah terserap sekitar 71,5% atau setara Rp921,7 miliar per tanggal 31 Agustus 2025.

“Perlu kami sampaikan bahwa pagu anggaran 2025 mengalami blokir. Dari pagu awal Rp1,97 triliun, setelah relaksasi tahun pertama pagu efektif kami menjadi Rp1,23 triliun, dan realisasi serapan per 31 Agustus mencapai 71%,” urai Rachmat.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, Rachmat berharap penambahan anggaran dapat dilakukan dengan relaksasi tahap kedua. Sejauh ini, sisa anggaran yang ada akan dipakai untuk beberapa keperluan dukungan manajemen termasuk membiayai gaji dan tunjangan pegawai baik ASN dan tenaga kontrak, serta sewa peralatan dan ruang kerja.

Anggaran yang sama juga akan digunakan untuk pengelolaan pavilion Indonesia, koordinasi bagi pakai data sosial ekonomi nasional (DTSEN) dan pemerintah, serta yang mendapat bagian dari tambahan pekerjaan adalah tambahan kegiatan cultural performance pavilion Indonesia di Osaka, serta kebutuhan beasiswa lanjutan.

Adapun tambahan anggaran melalui relaksasi tahap II rencananya akan digunakan untuk koordinasi dan pengawalan kegiatan proyek strategis nasional serta pengendalian (debottlenecking) program Presiden.

Bahkan guna memastikan kelancaran program tersebut, Rachmat mengatakan pihaknya membutuhkan tambahan fasilitas kerja berupa pegawai ASN baru.

“Kami masih membutuhkan (anggaran) kegiatan yang sifatnya pengawalan, pengendalian termasuk pengendalian program-program Presiden, serta kebutuhan operasional pegawai ASN baru,” imbuhnya.

Implementasi DTSEN Dikritik
Adapun terkait koordinasi bagi pakai data DTSEN seperti yang disampaikan Rachmat, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi NasDem Thoriq Majiddanor mengkritisi penggunaan anggaran untuk aspek tersebut. Ia juga menyorot fungsinya yang dinilai masih menimbulkan ketidaksesuaian dan keraguan bagi masyarakat, salah satunya dalam hal data yang dijadikan tolak ukur laporan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 yang sebesar 5,12%.

Jiddan mempertanyakan peran Bappenas dalam mengimplementasikan DTSEN, untuk memastikan akurasi data perencanaan di tengah sorotan bahwa validitas data pemerintah sering diragukan publik.

“Data pertumbuhan ekonomi triwulan II/2025 sebesar 5,12% yang diumumkan BPS dikritik karena tidak sejalan dengan indikator di lapangan atau indeks manufaktur melemah, PHK, masalah meningkat. Sejumlah ekonom mendesak transparansi metodologi karena khawatir data yang terlalu optimis bisa menyesatkan kebijakan,” ujar Jiddan.

Selain itu, dirinya juga menyorot metode pengukuran kemiskinan BPS yang dipersoalkan sebagai dokumen usang, sehingga diduga tidak menggambarkan kondisi nyata.

Baca Juga: Kepala Bappenas Ungkap 3 Fokus Pengembangan Produk Halal Di RPJMN 2025-2029

Jiddan menyebut, sebuah kajian independen bahkan menemukan 42,9% penduduk atau sekitar 118 juta jiwa hidup dalam kondisi tidak layak pada 2023 menurut pendekatan hak dasar, atau jauh di atas angka kemiskinan resmi yang sekitar 8-9%.

Berkaca dari kondisi yang ada, dirinya menegaskan penting bagi Bappenas untuk memastikan implementasi data yang dimiliki tepat untuk menjadi acuan dalam menentukan program penanganan dan ketepatan sasarannya.

“DPR ingin memastikan implementasi Satu Data Indonesia ini oleh Bappenas benar-benar mengatasi ego sektoral dan tumpang tinggi data lintas instansi yang selama ini menghambat ketepatan sasaran program,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar