c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

31 Juli 2023

15:18 WIB

Sri Mulyani Waspadai Ketidakpastian Harga Komoditas pada Kuartal II

Sri Mulyani Indrawati was-was kondisi ketidakpastian ini akan cenderung mirip dengan situasi 2022. Pemerintah juga menekankan, masalah inflasi di tingkat dunia masih belum usai di 2023.

Penulis: Khairul Kahfi

Sri Mulyani Waspadai Ketidakpastian Harga Komoditas pada Kuartal II
Sri Mulyani Waspadai Ketidakpastian Harga Komoditas pada Kuartal II
Ilustrasi. Aktivitas bongkar muat kontainer berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (16/9/2022). Antara Foto/Aditya Pradana Putra

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewanti, kondisi perekonomian paruh kedua 2023 masih tidak pasti akibat banyaknya dinamika global di sisi komoditas. Identifikasinya, kondisi ketidakpastian ini akan cenderung mirip dengan situasi di tahun lalu.

Dirinya menyoroti, keputusan Rusia yang mengakhiri perjanjian untuk distribusi komoditas biji-bijian di Laut Hitam atau black sea grain initiatives. Sebagai konteks, perjanjian ini merupakan lalu lintas komoditas utama macam gandum hingga bunga matahari di dunia. 

“Berarti pada paruh kedua tahun ini, (perekonomian) kita akan sangat dipengaruhi ketidakpastian dari komoditas hampir mirip seperti tahun 2022. Belum lagi (fenomena) El Nino, ini akan menjadi sesuatu yang harus kita waspadai pada paruh kedua 2023,” tegasnya dalam agenda yang dipantau secara daring, Jakarta, Senin (31/7).  

Dirinya mengingatkan, harga komoditas energi maupun pangan-pertanian memang mengalami lonjakan semenjak meletusnya perang Rusia-Ukraina di 2022. 

Meskipun, kondisi harga komoditas tersebut mulai mengalami koreksi dan normalisasi ke level bawah sepanjang tahun berjalan. 

Seperti komoditas gas alam yang turun drastis 38,4% (year-to-date/ytd) dari US$5,9/MMBtu menjadi US$2,7/MMBtu; begitu juga batubara yang turun 63,3% (ytd) menjadi US$140,3/MT; minyak Brent turun 2,8% (ytd) menjadi US$80,4/barrel; hingga minyak sawit/CPO turun 4,8% (ytd) menjadi US$864,7/ton. 

Baca Juga: Mendag: Juni 2023, Indonesia Punya Bursa Komoditas Untuk Sawit

Namun, Menkeu mengaku mulai was-was karena tren harga komoditas-komoditas tersebut per Juli 2023 mulai merangkak naik lagi. Jika berkaca dengan kejadian di Ukraina pada tahun lalu, hal ini bisa berdampak ke tingkat perdagangan di seluruh dunia.

“Jadi komoditas yang dihasilkan baik Ukraina maupun Rusia, karena perang maka distribusinya mengalami disrupsi. Salah satunya adalah distribusi dari berbagai perdagangan grain atau biji-bijian yang sangat menentukan dunia,” jelasnya.

Karena itu, gejolak yang berasal dari komoditas minyak biji bunga matahari secara tak langsung bisa mengganggu stabilitas minyak sawit di dalam negeri. Hal ini persis yang terjadi pada krisis minyak goreng yang terjadi di tahun 2022 atau pada saat awal dari perang di Ukraina.

“Ini yang saya sampaikan, bahwa fenomena global akan mempengaruhi dan merembes ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia yang harus kita waspadai,” sebutnya. 

Dirinya pun menekankan, pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini merupakan yang terendah. IMF memproyeksi pertumbuhan volume perdagangan global 2023 hanya akan mampu mencapai 2% (yoy), begitu jomplang dibandingkan dengan 2021 yang mencapai 10,7% (yoy).

Jika dunia tak saling berdagang, pasti ada bagian dunia yang membutuhkan barang/jasa terpaksa tidak mendapatkannya sehingga akan mendorong harga-harga menjadi naik. 

Pada gilirannya, disrupsi yang terjadi baik dari sisi suplai, perdagangan serta distribusi akan sangat menentukan pergerakan inflasi.  

Baca Juga: Sri Mulyani: Automatic Adjustment APBN 2023 Sebesar Rp50,23 T

Pada 2022, seluruh dunia mengalami kenaikan inflasi sangat tinggi di level 8,7%, dari yang tadinya berkisar 0% saja. Negara maju dari yang awalnya mengalami deflasi, inflasinya meloncat hingga 7,3%. Sementara inflasi negara berkembang lebih tinggi di 9,8%.

Karena itu, pergerakan inflasi dunia di 2023 yang relatif sudah turun di kisaran 5,2% masih belum cukup. Pasalnya, inflasi dunia hari ini masif relatif tinggi dilihat dalam perspektif historis atau jangka waktu panjang.

”Jadi masalah inflasi (dunia) belum selesai, inflasi yang tinggi menyebabkan banyak sekali komplikasi… (Entah) menggerus daya beli masyarakat, kemudian menyebabkan demand menurun, permintaan menjadi turun, dan kalau permintaan turun maka kegiatan produksi juga akan mulai menurun,” jabarnya. 

Bertahan Positif Enam Kuartal Terakhir
Meski situasi ekonomi dunia yang runyam, Menkeu bersyukur bahwa Indonesia mampu bertahan dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5% selama enam kuartal terakhir. Pertumbuhan ekonomi ini cukup sehat didukung oleh sisi demand dan supply.

“Sisi suplai termasuk PMI manufaktur yang positif dan sektor-sektor lain yang juga mulai pulih,” ungkapnya. 

Bahkan, sektor-sektor ekonomi yang terpukul hebat akibat pandemi mulai berangsur pulih saat ini. Seperti sektor transportasi bertumbuh dari -15,1% menjadi 15,9%; sektor akomodasi dan mamin dari yang tumbuh -10,3% menjadi 11,6%, serta sektor ekonomi lainnya.

“Ini menggambarkan pertumbuhan ekonomi (Indonesia) sudah pulih dari yang tadinya mengalami scarring effect atau efek luka yang dalam. Banyak negara yang belum mengalami pemulihan ekonomi,” ujarnya. 

Dirinya pun cukup bahagia karena proses pemulihan ekonomi ini terjadi merata di semua daerah, baik di Pulau Jawa maupun Luar Pulau Jawa. Dengan demikian, performa kinerja ekonomi Indonesia relatif baik dan stabil secara berkelanjutan.

“Karena ada (negara) yang (ekonominya) perform satu kuartal atau satu semester dan kemudian jatuh lagi. Nah, Indonesia dalam enam kuartal beruntun pada saat dunia mengalami guncangan yang luar biasa, baik dari sisi inflasi, pertumbuhan, kemudian dihantam dengan suku bunga tinggi, kita masih bisa menjaga stabilitas,” sebutnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar