13 November 2024
20:50 WIB
Sri Mulyani Khawatirkan Rezim Tarif Impor Tinggi Trump Merembet Ke ASEAN
Sri Mulyani memprediksi, kebijakan proteksi perdagangan yang tadinya hanya fokus ke China, bisa merambat ke negara-negara ASEAN. Indonesia termasuk salah satunya
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan tiga wakil menteri keuangan menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2024). Antara Foto/Dhemas Reviyanto
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengkhawatirkan, Donald Trump yang kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat dapat membidik negara mitra dagang untuk dikenakan tarif impor tinggi. Negara-negara mitra tersebut termasuk negara-negara di Asia Tenggara atau ASEAN.
Menurutnya, potensi Trump menaikkan tarif impor merupakan upaya proteksi terhadap barang-barang yang masuk ke AS. Sri Mulyani membeberkan, saat menjabat sebagai presiden sebelumnya, Trump juga menaikkan tarif impor barang-barang yang terbukti surplus terhadap AS. Salah satunya, impor dari China.
"Selama ini mungkin target Amerika Serikat terhadap RRT yang memang membukukan surplus RRT. Namun sama seperti waktu Presiden Trump pertama dulu, US Treasury-nya melihat partner dagang yang surplus, dan mungkin akan melakukan (tarif impor lebih tinggi)," ujarnya dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11).
Sri Mulyani memprediksi, kebijakan proteksi perdagangan yang tadinya hanya fokus ke China, bisa merambat ke negara-negara ASEAN. Indonesia termasuk salah satunya.
"Jadi tidak hanya RRT saja yang kena, dan dalam hal ini Asean seperti Vietnam dan beberapa negara lain mungkin akan dijadikan poin untuk fokus perhatian terhadap pengenaan tarif impor ini (tinggi)," ucapnya.
Lebih lanjut, Menkeu mengungkapkan, perekonomian AS saat ini masih resilien lantaran pertumbuhan ekonominya relatif tinggi dibandingkan negara anggota G7. Kemudian, tekanan fiskalnya meningkat, dan nilai tukar dollar pun menguat.
Lalu, pasar tenaga kerja masih kuat dengan tingkat pengangguran per Oktober 2024 sebesar 4,1%. Inflasi AS juga mulai melambat (2,4%) dan ini menjadi dasar bank sentral AS The Fed untuk menurunkan suku bunga 25 basis poin pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada November ini.
Di sisi lain, Sri Mulyani menyampaikan, kebijakan fiskal AS di bawah pemerintahan Presiden Trump juga akan menimbulkan reaksi sekaligus antisipasi pasar global. Menurutnya, kebijakan fiskal Trump kemungkinan cukup ekspansif. Namun itu perlu ditinjau lagi ketika sudah menjabat pada awal tahun depan.
"Kemungkinan cukup ekspansif, tapi remain to be seen, karena mereka juga punya ambisi untuk memotong belanja US$1 triliun dalam waktu 10 tahun, berarti US$100 miliar per tahunnya," imbuh Menkeu.
Kemudian, untuk yield US-Treasury 10 tahun mengalami kenaikan karena APBN-nya AS relatif ekspansif. Sedangkan dolar AS menguat, terutama dipengaruhi arah kebijakan Trump yang berdampak pada global.
Contohnya, ada penurunan pajak korporasi, ekspansi belanja program strategis, kebijakan proteksionisme dengan menaikkan tarif impor, mendorong gencatan senjata, serta komitmen rendah terhadap isu perubahan iklim.
Ambil Keuntungan
Sebelumnya, Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky menilai Indonesia bisa mengambil benefit dari kebijakan proteksionisme Donald Trump yang kembali terpilih menjadi Presiden AS.
“Secara historis, Trump itu bersifat proteksionis. Tapi, ini sebetulnya tidak serta merta menjadi pertanda buruk untuk Indonesia. Justru Indonesia kemungkinan bisa menarik benefitnya dari ini kalau kita bisa mempersiapkan diri,” kata Riefky seperti dilansir Antara.
Menurutnya, bila Trump melanjutkan kebijakan proteksionismenya, sebagaimana yang ia lakukan pada periode pertama jabatannya sepanjang 2017-2021, maka akan muncul realokasi peta perdagangan global dan investasi.
Hal itu disebabkan sikap proteksionisme Trump bakal mengerek tarif impor terhadap negara-negara yang berdagang dengan AS, terutama China. Bila tarif impor naik, kemungkinan akan terjadi perubahan haluan mitra dagang.
“Misalnya, kalau tarif antara AS dan China naik, AS mengimpornya bukan dari China lagi, tapi dari Meksiko. Begitu pun dengan China, mungkin tidak mengimpor dari AS lagi, tapi dari Vietnam atau Eropa. Jadi, ada realokasi dari rantai pasok global,” jelasnya.
Sementara arus investasi bakal mengikuti arah perdagangan. Bila tarif antara AS dan China besar, maka bisa merealokasikan investasi ke negara-negara lain yang tarifnya tidak terlalu besar. Dia meyakini kondisi tersebut bisa dimanfaatkan oleh Indonesia.
Positif Dan Negatif
Sementara itu, CEO Citi Indonesia Batara Sianturi memaparkan efek positif dan negatif dari kemenangan Donald Trump pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024.
“Secara global, efeknya itu ada positif dan negatifnya,” kata Batara, Rabu.
Untuk dampak positif, dia melihat ada dua benefit dari kemenangan Trump. Pertama, potensi pemangkasan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) oleh Federal Reserve atau The Fed. Potensi ini diharapkan dapat memancing kondisi ekonomi global yang kondusif.
Kedua, China sedang melakukan stimulus, yang bisa memitigasi pelemahan nilai tukar mata uang negara berkembang terhadap dolar AS. Sementara potensi dampak negatif dari kemenangan Trump diperkirakan mencakup empat hal.
Pertama, kemenangan Trump juga diiringi dengan kemenangan besar Partai Republik. Hal ini akan memancing penguatan dolar AS dan berdampak pada pelemahan rupiah. Kedua, potensi kenaikan tarif impor, terutama terhadap China.
Bila AS mengenakan tarif impor hingga mencapai 60 persen terhadap produk China, sebagaimana yang Trump lakukan pada periode jabatannya yang lalu, kemungkinan akan memicu inflasi di Amerika dan pelemahan ekonomi China.
Sementara nilai tukar China selaras dengan nilai tukar negara berkembang. Artinya, bila nilai tukar China melemah, hal serupa juga terjadi pada nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ketiga, kebijakan dovish di Eropa juga bisa menguatkan dolar AS, dan berujung pada pelemahan rupiah. Terakhir, harga minyak dunia juga akan turut terdampak, terlebih dengan tensi geopolitik global yang masih belum mereda.
Adapun terkait dengan pasar modal Indonesia, Batara berpendapat dampaknya masih belum bisa dipastikan. Jika dolar AS menguat, lanjutnya, aliran investasi cenderung mengarah ke pasar negara maju seperti AS, dan ini dapat mengakibatkan pelemahan mata uang pasar berkembang.
Namun, kebijakan konkret dari Trump terkait tarif perdagangan dan strategi diplomasi masih belum jelas. “Belum ada kebijakan yang ofisial, apakah tarif benar-benar akan diterapkan atau hanya sebagai alat negosiasi dengan mitra dagang,” tuturnya.