c

Selamat

Jumat, 19 April 2024

EKONOMI

27 September 2022

14:08 WIB

SPI: Pemerintah! Kondisi Pertanian Indonesia Tak Baik-Baik Saja

Dalam tuntutannya, SPI menilai, pemerintah keliru menjaga ketahanan pangan lewat food estate dan kedelai GMO, begitu pula diskriminasi petani di luar Poktan dan Gapoktan

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

SPI: Pemerintah! Kondisi Pertanian Indonesia Tak Baik-Baik Saja
SPI: Pemerintah! Kondisi Pertanian Indonesia Tak Baik-Baik Saja
Foto udara areal lumbung pangan nasional 'food estate' komoditas singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. ANTARA FOTO/Makna Zaezar

JAKARTA – Ratusan massa yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) kembali melakukan demonstrasi ke Kementerian Pertanian RI pada Selasa (27/9). Aksi ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Tani Nasional ke-62 di 2022. Adapun Hari Tani Nasional diperingati pada 24 September setiap tahunnya.

Ketua Departemen Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Angga Hermanda menyebutkan saat ini kondisi pertanian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Menurutnya, hal ini dapat dilihat dari kondisi objektif sektor pertanian nasional.

“Kendati situasi pandemi covid-19 sudah mulai terkendali, namun kita dihadapkan pada ancaman lainnya yang mengintai, yakni krisis pangan,” sebut Angga yang juga menjadi koordinator lapangan dalam aksi di Jakarta, Selasa (27/9). 

Di tingkat global, lanjutnya, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah mencatat, Indeks Harga Pangan Dunia sempat mencapai level tertinggi sepanjang sejarah pada Maret 2022. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya peningkatan angka kemiskinan dan kelaparan di dunia. 

Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World-SOFI 2022 yang mencatat kenaikan angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang di 2021.

Angga kembali mengingatkan, kondisi gejolak harga berbagai komoditas pangan juga terjadi di Indonesia. Selama 2022, semua pihak telah menyaksikan sendiri harga-harga komoditas yang bergejolak. 

Mulai dari kelapa sawit dan produk turunan seperti minyak goreng, sampai dengan bahan pangan pokok seperti cabai, bawang merah, dan lainnya. 

“Belum lagi kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), yang berpotensi memperparah situasi karena memicu kenaikan biaya modal yang dikeluarkan petani,” jelasnya.

Dalam kaitannya dengan kemiskinan, SPI menganggap kondisi yang ada juga mesti diatasi pemerintah di sisi pertanian. Mengingat, pangan memberikan sumbangan besar terhadap garis kemiskinan Indonesia, baik di perkotaan maupun perdesaan.

Berdasarkan situasi di atas, SPI menilai, pemerintah seharusnya mengantisipasi gejolak tersebut dengan memberikan perlindungan dan insentif lebih kepada petani di Indonesia. Angga menegaskan, sektor pertanian terbukti tangguh ketika menghadapi krisis kesehatan akibat pandemi covid-19 lalu.

“Hal tersebut yang seharusnya menjadi fokus pemerintah, yakni terus mendorong sektor pertanian dengan melindungi dan menjamin hak-hak petani, serta produsen pangan skala kecil lainnya di Indonesia,” tegasnya.

Kebijakan Yang Merugikan Petani
Hanya saja, SPI menyorot, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian sejauh ini justru mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan petani di Indonesia. Angga mencontohkan, Kementan masih mendiskriminasi terhadap para petani yang tergabung di luar dari bentuk kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan).

Padahal, terangnya, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 87/PUU-XI/2013 pada 5 November 2014, upaya perlindungan hak-hak petani yang diatur dalam UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) harus bersifat utuh, tidak boleh terbatas hanya pada poktan dan gapoktan saja. 

Dia menilai, sudah delapan tahun Kementerian Pertanian hanya bergeming membiarkan situasi ini. Bahkan, di dalam Permentan 67/2016 tentang Kelembagaan Petani, pemerintah masih membiarkan masalah diskriminasi tersebut berlanjut.

"Akibatnya jelas, banyak petani yang kesulitan mengakses berbagai program, subsidi maupun bantuan hanya karena bentuk kelembagaan bukan bernama poktan dan gapoktan. Kementerian Pertanian, jelas-jelas mengabaikan eksistensi dari beragam bentuk organisasi petani yang ada di Indonesia, yang selama ini telah berjuang keras sebagai penghasil pangan di Indonesia,” tegasnya. 


Tolak Food Estate dan Pengembangan GMO
SPI juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang keliru dalam mendorong pendekatan ketahanan pangan, untuk mengatasi persoalan pangan dalam negeri dan ancaman krisis pangan yang mengintai. Hal ini dilihat dari upaya pemerintah untuk terus mendorong program seperti Food Estate sampai dengan pengembangan Produk Rekayasa Genetika (Genetic Modified Organism/GMO) di Indonesia.

Kepala Pusat Perbenihan Nasional (PPN) DPP SPI Kusnan menyampaikan, SPI kembali mengingatkan pemerintah bahwa pendekatan ketahanan pangan, yang menggantungkan diri pada pasar dan kekuatan swasta, tidak akan menyelesaikan masalah pangan yang ada. 

Secara khusus, SPI menyoroti kebijakan pemerintah untuk Food Estate dan GMO. Menurut Kusnan, sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa food estate tidak terbukti efektif untuk mengatasi masalah produktivitas komoditas pangan di Indonesia. 

“Hal yang terjadi justru Food Estate membuat masalah-masalah baru, yakni konflik agraria dan yang paling parah adalah ketergantungan petani terhadap korporasi, seperti benih, pupuk, sampai ke pemasarannya,” ungkapnya.

Sementara untuk GMO, pada 2021 lalu, SPI telah berhasil mendesak melalui aksi massa ke Kementan untuk tidak mengedarkan benih kapas transgenik. Namun, ia menyayangkan peluang pembukaan GMO oleh pemerintah di tahun ini berupa pengembangan benih kedelai. 

SPI menolak dengan tegas, rencana pemerintah untuk mengembangkan benih kedelai GMO dengan dalih peningkatan produktivitas. Hal tersebut justru akan menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati, seperti benih kedelai lokal yang ada di Indonesia. 

“Dan lagi-lagi, penggunaan GMO hanya akan membuat petani tidak berdaulat akan benih dan semakin tergantung pada korporasi,” urai Kusnan.

Belum usai, ia menyebut, upaya pemerintah mendorong penggunaan bibit GMO juga bertentangan dengan desain pembangunan pertanian Indonesia ke depan. Di mana pemerintah memiliki program 1.000 Desa Berdaulat Benih dan 1.000 Desa Organik.

“Kami ingin mengingatkan kembali janji-janji yang sudah diusung oleh pemerintah terkait kedaulatan pangan di Indonesia, yakni program 1.000 Desa Berdaulat Benih dan 1.000 Desa Organik,” jelasnya. 

“Logikanya, bagaimana mungkin kemandirian benih bisa tercapai kalau benih GMO perusahaan terus didorong. Ini adalah kemandirian palsu, karena petani ditempatkan sebagai konsumen benih,” pungkasnya.

Tuntutan SPI
Karena itu, SPI mengajukan beberapa tuntutan kepada Menteri Pertanian RI dalam peringatan Hari Tani Nasional kali ini. Pertama, Menteri Pertanian diminta untuk memperkuat koperasi petani dan kelembagaan petani lainnya, untuk kemajuan pertanian dan perdesaan. Kedua, Menteri Pertanian juga diminta untuk merevisi Permentan 67/2016 tentang Kelembagaan Petani.

Berikutnya adalah SPI menolak food estate dan mendorong kawasan daulat pangan yang berbasis Pertanian Keluarga Petani; serta menolak rencana penggunaan benih/bibit GMO di Indonesia;

Menteri Pertanian juga dituntut untuk menggunakan benih/bibit lokal yang dimuliakan dan ditangkar oleh petani.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar