10 Juli 2023
13:59 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Amira Natanegara menyatakan, kesenjangan digital antara perkotaan dan pedesaan masih lebar. Namun solusi untuk mengatasinya tidak bisa bersifat general, melainkan butuh solusi yang memperhatikan keragaman lanskap pedesaan.
"Pemerintah perlu memperhatikan keragaman kondisi daerah pedesaan. Untuk itu, pemenuhan kebutuhan dan arahan peta digital setiap daerah tidak dapat bersifat one-fits-all solution," katanya dalam pernyataan tertulis, Senin (10/7).
Ia menjelaskan, keberagaman ini didasari oleh sejumlah aspek atau faktor, yakni adanya perbedaan pada infrastruktur eksisting, perbedaan pada literasi dan kemampuan digital dan perbedaan pada kapasitas pemerintah daerah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya disparitas persentase individu yang menggunakan internet antar masyarakat kota dan desa dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2017, hanya sejumlah 19,87% masyarakat desa yang terkoneksi internet. Sementara, 43,36% dari masyarakat kota sudah menggunakan jasa internet di tahun tersebut.
Peningkatan begitu pesat hingga mencapai 71,81% terjadi pada jumlah masyarakat kota yang terhubung internet di tahun 2021. Hal ini juga terjadi pada masyarakat desa hingga mencapai 49,30%. Sayangnya peningkatan ini tetap belum mendekati tingkat penetrasi internet di perkotaan.
"Terdapat desa-desa yang berada di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (daerah 3T) dan desa yang menghadapi kondisi ekstrem secara geografis dan spasial. Tantangan ini juga membuat pembangunan jaringan internet sulit dan membutuhkan biaya besar karena belum memadainya infrastruktur penunjang atau infrastruktur dasar, seperti jalan raya, listrik, dan sebagainya," urai Amira.
Baca Juga: Kemenkop UKM: Kesenjangan Digital UMKM Masih Terasa
Sementara, ia juga melihat terdapat desa-desa yang sudah lebih berkembang dari sisi infrastruktur dan penyediaan pelayanan publik. Fokus pemerintah pada desa-desa semacam ini menurutnya sudah bisa beralih ke perluasan penetrasi internet dan pengadaan jasa internet yang terjangkau.
"Infrastruktur eksisting menentukan gap antar daerah pedesaan dalam penyelenggaraan layanan Telekomunikasi, Informatika dan Komputer (TIK) dengan internet bandwidth dan speed yang berbeda pada lokasi-lokasi tertentu sesuai dengan feasibility (dapat dilakukan) dan economic viability (menguntungkan secara ekonomi) masing-masing daerah," imbuhnya.
Kemudian, di samping itu ia juga menekankan bahwa tingkat literasi digital dan kemampuan digital antar daerah pedesaan juga berbeda. Perbedaan ini juga didasari atas tingkat pendidikan sumber daya manusia pada daerah tersebut.
Amira merekomendasikan beberapa hal untuk mempersempit kesenjangan digital kota dan desa. Yang pertama adalah dengan melakukan pendekatan partisipatori dengan merangkul pemda dan local actors di tingkat desa untuk menjadi bagian dari decision-making ketika pemerintah pusat menyusun strategi transformasi digital menyasar pada daerah pedesaan.
Selanjutnya, pemerintah pusat menjadi fasilitator dan memberi pedoman bagi Pemda melalui forum terbuka, tidak semata mendelegasikan kepada Pemda. Melalui pendekatan partisipatori, pemangku kepentingan dapat menentukan bersama titik-titik lokasi prioritas yang membutuhkan penetrasi internet, teknologi TIK yang mumpuni, dan seberapa jauh perlu ditingkatkan literasi dan kemampuan digital sumber daya manusia di daerah tersebut.
Pendekatan partisipatori ini menurutnya juga dapat diterapkan dengan penyelenggara telekomunikasi dan komunitas akar rumput dalam debottlenecking masalah spesifik yang ada di daerah sasaran. Output dari pendekatan ini dapat berupa roadmap masing-masing daerah yang terintegrasi dengan roadmap nasional yang memiliki perspektif nusantara.
Baca Juga: CIPS: Penggunaan Kecerdasan Buatan Perlu Dukungan Infrastruktur ICT
Selain itu, local actors sebagai penerima program-program BAKTI juga perlu dilibatkan dalam mekanisme monitoring and evaluation dampak setelah pembangunan infrastruktur TIK untuk mengukur efektivitas dari program serta menentukan rencana kelanjutannya.
"Terakhir, Aplikasi Permohonan Akses Telekomunikasi dan Informasi (PASTI) untuk melakukan permohonan dari masyarakat dan pemerintah daerah akan kebutuhan akses internet, BTS, satelit dan fiber optik dapat didayagunakan sebagai platform pengumpulan feedback kepada BAKTI dalam rangka evaluasi program," ucapnya.
Melansir dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun 2022 setidaknya di Indonesia telah terbangun jaringan fiber optic pita lebar sepanjang 363.000 Km di darat dan sub-sea atau dasar laut Indonesia. Meski begitu pihaknya mengakui masih ada beberapa kawasan wilayah komersial masih belum tersedia sinyal telekomunikasi (blankspot).
Menurutnya, terdapat 3.435 desa yang masih belum memiliki akses telekomunikasi.
Selain itu menurut laporan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (BAKTI), hingga semester pertama 2022, BAKTI telah membangun Base Transceiver Station (BTS) 4G di 3.816 titik. Rinciannya, sebanyak 1.682 titik merupakan BTS existing yang dibangun sejak 2015-2022 dan 2.134 lainnya adalah BTS di lokasi baru. Dan hingga akhir 2022, BAKTI menargetkan mampu membangun BTS 4G pada 7.482 titik berkategori 3T.