08 Agustus 2022
15:47 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Konflik antara China dan Taiwan dapat berdampak kepada dunia, tak terkecuali Indonesia. Kepala Ekonom BRI Anton Hendrata mengatakan, pemerintah harus berhati-hati terhadap situasi ini dan belajar dari kasus Rusia dan Ukraina.
“Kaitan dengan dampak geopolitik, tensinya makin naik antara China dan Taiwan ini memang harus hati-hati. Situasi ini saya kira kita perlu belajar dari kasus Rusia dan Ukraina,” katanya dalam Taklimat Media: Tanya BKF-Capaian Perekonomian dan Mitigasi Risiko Global ke Depan, Jakarta, Senin (8/8).
Anton mengatakan, hingga saat ini pemerintah Indonesia masih cukup bisa mengatasi kondisi terkini. Dia berharap dampak dari ketegangan ini tidak separah apa yang disebabkan Rusia dan Ukraina.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, mesti bisa menjaga kebutuhan dasar (basic needs) dari masyarakat dalam negeri. Pasalnya, perdagangan Indonesia dengan China terbilang cukup besar.
“Kemungkinan masalah chip yang kemungkinan akan mahal. Itu kan kaitannya dengan hi tech, sementara yang paling krusial buat Indonesia kebutuhan basic needs-nya yang perlu dijaga dalam hal ini,” katanya.
Konflik China dan Taiwan memanas setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi berkunjung ke pulau itu pada pekan lalu.
Setelah kunjungan Pelosi, untuk pertama kalinya, militer China menembakkan rudal di atas Taipei dan menerbangkan drone di atas pulau-pulau lepas pantai Taiwan.
Selain itu, pemerintah China memerintahkan kapal perang untuk berlayar dengan melintasi garis tengah Selat Taiwan dan mengepung pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu.
Kementerian Luar Negeri Indonesia memastikan sekitar 300 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan dalam kondisi aman. “Saat ini kondisi WNI di Taiwan masih tetap tenang dan aman. Insya Allah, tidak ada eskalasi lebih lanjut,” kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu Judha Nugraha dalam konferensi pers secara daring, Jumat (5/8).
Namun, Kementerian Luar Negeri terus bekerja sama dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei untuk memonitor situasi keamanan di wilayah Taiwan. “KDEI, sebagaimana perwakilan RI lainnya, telah membangun rencana kontingensi untuk mengantisipasi jika terjadi eskalasi konflik,” ujarnya.
Sementara itu, Juru bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah menjelaskan, Indonesia telah mengantisipasi kunjungan Pelosi sebagai hal yang akan menciptakan kondisi tidak kondusif dan berpotensi menimbulkan ketegangan.
Indonesia juga menyampaikan kekhawatiran tentang meningkatnya rivalitas di antara kekuatan besar dunia, justru di saat negara-negara sedang menata kembali ekonomi mereka yang terdampak pandemi covid-19.
Pantau Efek Rambatan
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan akan terus memantau dampak yang sifatnya rambatan (spillover) bagi perekonomian Indonesia. Dia menyebutkan konflik ini sebagai risiko yang bersifat eksogen atau di luar kendali pemerintah.
“Ini konteksnya geopolitik. Tentunya dari sisi perekonomiannya kita pantau risiko yang sifatnya eksogen. Ini adalah di luar kontrol dari perekonomian Indonesia sehingga dampak yang kita perkirakan itu adalah dampak yang sifatnya spillover, bagaimana kita lihat kalaupun ada kondisi yang memanas, kita lihat potensi dampaknya terhadap mobilitas perdagangan, mobilitas investasi,” katanya.
Dia menambahkan, sejauh ini memang belum terlihat dampak yang cukup signifikan. Akan tetapi, pemerintah akan tetap mewaspadai kondisi tersebut.
Febrio juga mengatakan, pemerintah sudah melihat yang terjadi antara Rusia dan Ukraina serta dampak yang dirasakan Indonesia yang membuat pemerintah menyesuaikan beberapa kebijakan.
Diharapkan, terjadi deeskalasi baik di antara Rusia dan Ukraina maupun China dan Taiwan sehingga pertumbuhan ekonomi global dan regional dapat tetap terjaga. Untuk itu, pemerintah akan mengedepankan diplomasi ekonomi. Sebab, konflik yang ditimbulkan akibat ketegangan geopolitik dapat menyebabkan negara miskin sudah terkena dampak yang sangat besar.
“Akan tetapi, untuk konteks Indonesia memang sejauh ini kita lihat cukup terbatas tapi tentu ini harus kita waspadai ke depan,” ujar Febrio.
Lebih lanjut, Febrio juga mengatakan pemerintah akan mewaspadai perlambatan ekonomi di China. Sebab, ekonomi di China saat ini terkoreksi cukup dalam. Sebab, Indonesia memiliki hubungan yang cukup intens dengan China.
Untuk mengantisipasi hal itu, Indonesia disebut telah melakukan diversifikasi dari aktivitas ekonomi sehingga tidak hanya bergantung pada China. “Dan ini sudah mulai terjadi misalnya ekspor kita belakangan ini selain ke China kita juga perkuat ke India dan beberapa negara-negara lainnya.Ini yang harus terus kita pantau ke depan,” ucapnya.
Seperti diketahui, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari–Juni 2022, China merupakan negara tujuan ekspor non-migas yang memiliki peranan terbesar dengan nilai US$27,89 miliar atau 20,92% dari total ekspor Indonesia. Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode ini adalah besi/baja, batu bara, dan lignit.
Sementara, ekspor non-migas ke Taiwan pada periode yang sama mencapai US$3,80 miliar, naik 52,39% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, peranan terhadap ekspor non-migas Indonesia hanya 2,86% dari total ekspor.
Dari sisi impor, dilihat dari peranannya terhadap total impor non-migas Januari–Juni 2022, kontribusi tertinggi juga masih didominasi oleh China sebesar US$32,07 miliar atau 33,17% dari total impor Indonesia. Sementara itu, impor non-migas dari Taiwan sebesar US$2,34 miliar atau hanya 2,42% dari total impor-non migas Indonesia.