c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

22 September 2021

19:15 WIB

Sistem Energi Perlu Mempertimbangkan Pilihan Teknologi Rendah Karbon

Secara umum, pakar energi internasional tidak merekomendasikan Indonesia untuk fokus pada PLTN dan CCUS.

Penulis: Zsasya Senorita

Editor: Dian Kusumo Hapsari

Sistem Energi Perlu Mempertimbangkan Pilihan Teknologi Rendah Karbon
Sistem Energi Perlu Mempertimbangkan Pilihan Teknologi Rendah Karbon
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

JAKARTA – Sejumlah pakar bidang energi internasional mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan secara matang pilihan teknologi rendah karbon, dalam upaya mencapai netral karbon pada 2060. Sebab, masing-masing teknologi mempunyai karakter dan tingkat risiko yang berbeda.

Berbagai pilihan teknologi rendah karbon dapat menjadi opsi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Di antaranya energi terbarukan, Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), bahkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Ditinjau dari segi perkembangannya di dunia, seorang analis independen kebijakan dan energi nuklir, Mycle Schneider mengatakan bahwa perkembangan PLTN stagnan dalam sepuluh tahun terakhir. Berbanding jauh dengan energi terbarukan yang justru meningkat pesat.

Ia mencontohkan bahwa di Prancis, bauran listrik dari nuklir mencapai rekor terendahnya pada 2020, selama 30 tahun terakhir. Penyebabnya adalah keberadaan opsi pembangkitan energi baru terbarukan (EBT) yang lebih murah.

“Berinvestasi pada PLTN bahkan dapat menggagalkan tercapainya target perubahan iklim karena seharusnya pendanaan yang ada dialokasikan kepada opsi teknologi yang sudah tersedia, murah, dan dapat diimplementasikan dengan cepat,” jelas Schneider pada Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang disampaikan, Rabu (22/9).

Konsultan Independen Transisi Energi Craig Morris menambahkan, sulit untuk memprediksi harga listrik dari PLTN, mengingat PLTN tidak terlalu merespons harga pasar.

“Jika kita kembali ke tahun 2000 dan memproyeksikan pengembangan energi padan 2050 maka kita sudah berada di tahun 2050 dengan mengandalkan energi terbarukan dan penyimpanan energi. Namun bila kita memutuskan untuk menggunakan nuklir dan CCS, maka kita akan kembali ke tahun 2000,” tutur Morris.

Di sisi lain, penggunaan teknologi CCS/CCUS juga menjadi salah satu strategi global untuk menekan emisi karbon. Head of CCUS Technology, International Energy Agency, Samantha McCulloch mengatakan bahwa CCS/CCUS dapat menjadi salah satu solusi di Asia Tenggara untuk memperbaiki infrastruktur energi yang ada di kawasan.

Meski demikian, Samantha menyebutkan bahwa energi terbarukan akan menjadi pilihan utama dalam melakukan dekarbonisasi dalam waktu dekat. Sementara, pengembangan CCS/CCUS akan berperan untuk menghindari penguncian (lock in) emisi akibat infrastruktur yang baru dibangun dan memungkinkan opsi mitigasi emisi di masa depan.

Peluang lain untuk CCUS di wilayah ASEAN adalah seputar produksi hidrogen rendah karbon dari gas dan CCUS. Saat ini, opsi tersebut dapat lebih murah dibandingkan produksi hydrogen menggunakan elektrolisis air di lokasi produksi gas alam yang bisa menjadi storage karbon di saat yang bersamaan.

Keekonomian opsi ini perlu tetap memperhatikan potensi produksi hidrogen menggunakan elektrolisis, yang juga diekspektasikan mengalami penurunan harga signifikan dalam beberapa tahun ke depan.

Mempunyai pandangan serupa dengan Samantha, Dosen Senior Fakultas Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Rachmat Sule memandang pengembangan CCUS dapat membantu penurunan emisi. Contohnya pada PLTU batubara yang berdekatan dengan lapangan migas.

Namun ada keterbatasan dalam pengembangannya, agar bisa lebih ekonomis maka selayaknya lokasi sumber emisi (source) dan lokasi tampungan (sink) mesti berdekatan. Selain itu, perlu penerapan strategi lainnya seperti hub clustering atau menggunakan infrastruktur dukungan CCUS seperti pipa gas bersama-sama untuk menekan biaya CAPEX.

Pada kesempatan yang berbeda, Program Manager Transformasi Energi, IESR, Deon Arinaldo mendorong pemerintah untuk lebih memprioritaskan teknologi energi terbarukan untuk melakukan dekarbonisasi mendalam di sektor energi.

Ditegaskan bahwa upaya dekarbonisasi sektor energi perlu terjadi dengan cepat dan dimulai sekarang juga agar sesuai dengan Persetujuan Paris. Sama seperti narasumber lain, Deon turut menyatakan, teknologi rendah karbon yang sudah siap secara komersial dan cepat dibangun di Indonesia adalah energi terbarukan.

“Sedangkan teknologi yang lain seperti PLTN dan CCS masih dalam tahap pengembangan dan pilot. Waktu yang kita punya tidak banyak untuk memitigasi krisis iklim ini,” tandasnya.

Menyikapi ragam teknologi rendah karbon dalam kerangka EBT, Zaki Su’ud dari Fakultas Matematika dan Sains ITB merekomendasikan beberapa kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah. Guna mendukung tercapainya target dekarbonisasi Indonesia pada 2060 atau lebih cepat.

Pertama, semua sumber daya energi harus dimanfaatkan secara optimal dengan mengutamakan kualitas dan keamanan energi di Indonesia. Kedua, kebijakan bauran energi harus dilaksanakan dan dievaluasi dengan baik terhadap ketersediaan energi yang andal, murah, berkelanjutan, dan harus mematuhi isu lingkungan global, khususnya perubahan iklim.

Ketiga, pemerintah perlu mengalokasikan dana penelitian terkait EBT yang cukup serta mengintegrasikan secara optimal seluruh elemen potensial EBT Indonesia.

“Energi baru terbarukan masih terus berkembang dan membutuhkan kebijakan yang tepat dan konsisten dari pemerintah supaya bisa mendukung keamanan energi nasional dan tercapainya target dekarbonisasi Indonesia,” jelas Zaki pada IETD 2021.

IETD 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), berlangsung selama lima hari yakni 20-24 September. Acara ini bekerja sama dengan Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar