c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

EKONOMI

28 Juni 2021

16:55 WIB

Sampai Juni, Pemerintah Kumpulkan Rp2,25 Triliun Dari Pajak Digital

Saat ini ada sekitar 75 perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN Digital

Penulis: Rheza Alfian

Editor: Faisal Rachman

Sampai Juni, Pemerintah Kumpulkan Rp2,25 Triliun Dari Pajak Digital
Sampai Juni, Pemerintah Kumpulkan Rp2,25 Triliun Dari Pajak Digital
Warga membeli barang secara online melalui gadget miliknya di Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/11/2020). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA – Kementerian Keuangan mencatat, sampai dengan 16 Juni 2021, ada 50 perusahaan yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) telah menyetor PPN PMSE dengan nilai Rp2,25 triliun. 

Bendahara Negara tersebut merinci, setoran yang berasal dari tahun 2020 tercatat sebesar Rp0,73 triliun. Sementara untuk setoran dari awl tahun 2021 sampai 16 Juni sebesar Rp1,52 triliun.

"Penerimaan yang dikumpulkan sebesar Rp2,25 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (28/3).

Sri Mulyani mengatakan, dengan era digital yang semakin menjadi suatu platform utama di dalam berinteraksi, termasuk di bidang ekonomi maka pemerintah perlu melakukan kesetaraan.

Adapun kesetaraan itu dimaksud dalam pemungutan PPN antara produk yang digital dalam negeri dengan produk digital dari luar negeri. Ani, sapaan akrabnya bilang, kesetaraan tersebut dibangunkan melalui perdagangan melalui saluran elektronik.

"Di mana asing maupun domestik yang menjual produk digital yang berasa dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia sebagai pemungut PPN," tuturnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, reformasi perpajakan terutama terlihat dalam bentuk pemberian fasilitas dan kemudahan perpajakan. Tidak hanya itu, Kementerian Keuangan menyatakan tetap berprinsip kepada mereka yang lemah, yakni akan tetap diberikan pemihakan dan mereka yang kuat diharapkan memberikan kontribusi.

Sampai dengan bulan Juni 2021, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menunjuk 75 PMSE sebagai Pemungut PPN PMSE. Perusahaan-perusahan tersebut yaitu Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International BV, dan Spotify AB.

Kemudian Facebook Ireland Ltd, Facebook Payments International Ltd, Facebook Technologies International Ltd, Amazon.com Services LLC dan Audible Inc. Selanjutnya, Alexa Internet, Audible Ltd, Apple Distribution International Ltd, Tiktok Pte. Ltd, The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte. Ltd dan LinkedIn Singapore Pte. Ltd.

Lalu, McAfee Ireland Ltd, Microsoft Ireland Operations Ltd, Mojang AB, Novi Digital Entertainment Pte Ltd, dan PCCW Vuclip (Singapore) Pte Ltd. Selain itu, ada Skype Communications SARL, Twitter Asia Pacific Pte Ltd, Twitter International Company, Zoom Video Communications Inc, PT Jingdong Indonesia Pertama, dan PT Shopee International Indonesia.

Perusahaan lainnya, Alibaba Cloud (Singapore) Private Limited, GitHub, Inc, Microsoft Corporation, Microsoft Regional Sales Pte Ltd, UCWeb Singapore Pte Ltd, Coda Payments Pte Ltd, dan To The New Private Limited. Kemudian Nexmo Inc, Cleverbridge AG Corporation, Hewlett-Packard Enterprise USA, Softlayer Dutch Holdings BV, PT Ecart Webportal Indonesia, PT Bukalapak.com, Valve Corporation, dan PT Tokopedia.

Lalu, PT Global Digital Niaga, beIN Sports Asia Pte Limited, Etsy Ireland Unlimited Company, Proxima Beta Pte Ltd, Tencent Mobility Limited, Tencent Mobile International Limited, dan Snap Group Limited. Ada juga Netflix Pte Ltd, eBay Marketplace GmbH, Nordvpn S.A, Amazon.com.ca, Inc, Image Future Investment (HK) Limited, Dropbox International Unlimited Company dan Freepik Company SL.

Selanjutnya, Epic Games International S rl, Bertrange, Root Branch, Expedia Lodging Partner Services Srl dan Hotels.com LP, BEX Travel Asia Pte Ltd, Travelscape, LLC, TeamViewer Germany GmbH, Scribd Inc, dan Nexway Sasu. Kemudian, TunnelBear LLC, Xsolla (USA), Inc., Paddle.com Market Limited, Pluralsight, LLC, Automattic Inc, Woocommerce Inc, Bright Market LLC, dan PT Dua Puluh Empat Jam Online.


Konsumen menunjukkan aplikasi belanja online Shopee melalui gawai di Jakarta, Rabu (16/9/2020). Dire ktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai 1 Oktober 2020 akan memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk setiap produk digital baik barang maupun jasa dari luar negeri yang dibeli melalui Shopee. Antara Foto /Puspa Perwitasari 

 


Harmonisasi Regulasi
Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menilai, pemerintah perlu melakukan harmonisasi kerangka regulasi dan melakukan pembagian tanggung jawab dalam implementasi pajak digital. Pingkan mengatakan, sejak diberlakukan pada 1 Agustus 2020, barang dan jasa yang dijual perusahaan internasional berbasis digital wajib membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%. 

Pengenaan PPN tersebut dibebankan kepada konsumen yang berlangganan layanan mereka. Untuk memperkuat payung hukum implementasi pajak digital, pemerintah perlu melakukan beberapa hal, salah satunya adalah mengamandemen Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 28 Tahun 2007).
 
Urgensi untuk mengamandemen UU itu adalah karena UU Nomor 28 Tahun 2007 tidak melihat badan usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk pemungutan pajak di Indonesia. Hal tersebut akan menjadi masalah dalam kasus-kasus kepatuhan pajak di masa yang akan datang.
 
"Kewajiban pajak perlu diakui dalam UU jika pihak yang tidak menjalankan kewajibannya tersebut akan dikenakan sanksi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengonsiderasi amandemen atas UU tersebut," ujarnya.
 
Berikutnya, Pingkan menyatakan, perlu adanya pembagian wewenang antarinstitusi yang jelas terkait implementasi pajak digital. Kebijakan perpajakan Indonesia umumnya tetap menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak konvensional yang sulit untuk diterapkan dalam ranah ekonomi digital.
 
UU Nomor 2 Tahun 2020 sendiri berisi penalti untuk pemungut PPN yang tidak patuh, termasuk pemutusan akses operasional oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Namun, tidak ada peraturan lebih lanjut tentang implementasi aturan tersebut oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
 
Terakhir, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dan efektif. Hal tersebut tentu membutuhkan dialog antara pemerintah dan swasta atau public-private dialogue (PPD) dengan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan secara luas. Cara tersebut akan membantu menyediakan kepastian hukum untuk subjek pajak dan pemungut PPN.
 
Proses itu juga akan membantu membangun kepercayaan dan menjembatani jarak antara Kemenkeu dan pelaku usaha. Selain itu, cara tersebut juga akan membantu Kemenkeu beradaptasi dengan model bisnis digital yang kerap kali berubah sesuai dengan perkembangan sektor digital.
 
"Ekonomi digital terus bergerak dinamis dan hal ini perlu direspon oleh regulasi yang juga responsif dan mampu menjawab permasalahan yang muncul," kata Pingkan.



Ilustrasi Pajak Digital. dok. Antara Foto

 

Sebelum Pandemi
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sendiri, pada kesempatan berbeda menyatakan, penerimaan pajak sudah loyo jauh sebelum pandemi dengan pertumbuhan rata-rata 2,9% per tahun.

“Kondisi kesehatan APBN kita sudah sangat tidak baik sebelum Pandemi. Jadi jangan menjadikan Pandemi ini sebagai kambing hitam terhadap ambruknya atau menurunnya kinerja APBN kita,” kata Kepala Food Center Sustainable Food Development INDEF Abra Talattov dalam diskusi daring, Senin (28/6) seperti dilansir Antara.

Bahkan, lanjut Abra, pertumbuhan perpajakan tahun 2019 hanya tumbuh 1,8%. Buruknya kinerja perpajakan juga tercermin dari rasio perpajakan yang terus turun dalam lima tahun terakhir. 

Tax rasio 2019 sebesar 9,6% dan berlanjut turun pada 2020 dengan 8,3%. Begitu juga dengan dan tax buoyancy yang selalu di bawah 1.

“Artinya kita satu persen pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 menciptakan 0,27 persen penerimaan pajak. Artinya masih belum optimal penerimaan pajak kita,” ujar Abra.
 
Selain itu, ia mengatakan, APBN sudah dimasuki “parasit” melalaui bunga utang. Ia menyebut, secara nominal nilai bunga utang terus membengkak dan secara proporsi terhadap penerimaan perpajakan pembayaran bunga utang Indonesia terus menanjak.
 
Ia mencatat pada 2014 beban bunga utang terhadap penerimaan perpajakan baru 11%, kemudian bertambah menjadi 17,24% pada 2020.
 
“Jumlah ini berpotensi terus meningkat karena kebutuhan pembiayaan hutang kita semakin besar kemudian bunga utang masih tinggi dibandingkan negara negara lain dan ini juga pada gilirannya akan meningkatkan beban bunga utang kita,” tutur Abra.
 
Hal tersebut berdampak pada alokasi belanja negara ke pos-pos lain seperti belanja modal, belanja subsidi, dan bantuan sosial.
 
“Yang paling ketara adalah belanja subsidi terhadap penerimaan pajak yang di 2014 porsinya 34 persen kemudian trendnya menurun dan menjadi 15,27% pada 2020 dan ini pun sebenarnya karena ada pandemi ditambah,” ungkapnya.
 
Lebih lanjut Abra mengatakan, alih-alih memungut PPN sembako untuk menggenjot penerimaan pajak, ia menyarankan pemerintah untuk melakukan reformasi penerimaan pajak. 

Karena rasio kepatuhan wajib pajak per April 2021 baru 64,5% dan rasio kepatuhan wajib pajak badan hanya 51,5%. Termasuk juga mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta menagih kontribusi BUMN terhadap PNBP.
 
“Optimalisasi pajak masih bisa dilakukan dengan menjawab berbagai potensi penerimaan pajak dari permasalahan mendasar perpajakan,” tuturnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar