c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

26 Januari 2023

20:45 WIB

Salah Sasaran Startup Pertanian

Perubahan perilaku pelanggan membuat startup pertanian tumbuh pesat, lalu tumbang. Banyak usaha ini hanya memperpanjang rantai distribusi

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Salah Sasaran Startup Pertanian
Salah Sasaran Startup Pertanian
Kurir mengisi paket box sayur dan buah di salah satu dropship startup sayur dan buah di Depok, Jawa Barat. Rabu (25/1/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Imbauan pemerintah untuk berdiam diri di rumah selama pandemi covid-19 pada 2020 dan 2021 lalu, menjadi angin segar dan berdampak positif pada usaha rintisan atau startup pertanian berbasis teknologi aplikasi smartphone

Pasalnya, saat pagebluk menerpa Tanah Air, perilaku pelanggan (customer behaviour) seketika berubah. Warga lebih beralih membeli berbagai kebutuhan secara daring. Tak terkecuali dalam berbelanja produk pangan. Oleh karena itu, layanan e-grocery cukup populer dan menjadi pilihan berbelanja mudah selama pandemi. 

Pengguna hanya mengandalkan aplikasi dalam ponsel. Kemudian, memilih apa yang akan dibeli mulai dari bahan makanan, sayur, hingga buah-buahan. Tak perlu menunggu lama, semua yang dipesan akan segera sampai di rumah.

Bak semut merubung gula, peluang cuan dari layanan e-grocery pun menumbuhkan banyak pemain baru. Persaingan layanan ini di Indonesia kian ramai. 

Sebelumnya, sudah ada nama besar seperti Sayurbox, Happy Fresh, TaniHub, dan Segari. Saat pandemi, pendatang baru bermunculan.

Sayangnya, belum sempat mencicip laba lebih lama, satu per satu startup mulai tumbang. Pengurangan karyawan pun terpaksa dilakukan. Bahkan, ada pula yang sampai menutup operasional. 

Pemain besar seperti TaniHub, misalnya, pada Februari 2022 lalu turut terdampak. Startup pertanian ini menghentikan operasional dua gedung di Bandung dan Bali. 

Alasannya, perusahaan ingin mempertajam fokus dan meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan business to business (B2B), yaitu horeka, ritel modern, grosir UMKM, dan mitra startegis.

Masih pada waktu yang sama, TaniHub juga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dampak dari ditutupnya operasional dua gudang tersebut.

TaniHub bukan satu-satunya startup groceries yang goyah. Pada 27 Mei 2022, Brambang turut memutuskan untuk menutup layanannya. 

Layanan Brambang yang sebelumnya bergerak di sektor groceries beralih ke marketplace smartphone dan elektronik bernama BrambangElektronik. Perusahaan sendiri tak menyinggung alasan penutupan layanan.

Tak berhenti sampai di situ, kabar teranyar datang dari Bananas. Baru berusia 10 bulan, Bananas telah mengumumkan penutupan operasionalnya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menguraikan sejumlah biang kerok yang membuat startup e-grocery tumbang. 

Menurutnya, masalah di sektor pertanian terkait naik turunnya harga pangan dan panjangnya rantai distribusi, berkontribusi terhadap tumbangnya layanan tersebut. 

Dia menyimpulkan, kegagalan startup e-grocery adalah tidak mampu memastikan harga jual dan rantai logistik. Akibatnya, harga jadi lebih mahal. 

"Akibatnya, investor mulai tidak percaya. Seolah e-grocery memotong rantai pasok. Tapi, karena skalanya ke konsumen akhir dan ritel, alhasil biaya tetap mahal," kata Bhima saat dihubungi Validnews, Selasa (24/1).

Di sisi lain, konsumen juga terlalu dimanjakan oleh promo dan diskon berlebihan selama pandemi. Begitu pandemi reda dan promo tak lagi begitu banyak, masyarakat memilih untuk belanja lagi di warung dan pasar tradisional. Di pasar, konsumen bisa menawar. 

Bhima menilai, banyak startup terlalu percaya diri alias “pede” akan terus tumbuh dan startup di bidang pertanian dengan model business to consumer (B2C) tidak punya rencana keberlanjutan yang realistis.

Kembali Semula
Realitanya apa yang dikatakan Bhima benar terjadi di lapangan. Sebagian besar masyarakat yang tadinya bergantung belanja pangan melalui daring saat masa pandemi, kini kembali beralih belanja secara langsung ke pasar tradisional maupun supermarket. 

Hal itu seiring dengan keputusan pemerintah yang resmi mencabut kebijakan PPKM.

Salah satunya adalah Sari (27). Ibu satu anak ini mulai menggunakan startup e-grocery pada tahun 2021. Tak hanya satu aplikasi, Sari mencoba berbagai startup, seperti Sayurbox, Segari, hingga Shopee Segar. Sari mencoba berbagai startup tersebut demi mendapatkan harga terbaik.

"Sisi positifnya belanja praktis, barang yang dijual berkualitas, dan sangat membantu saat tidak sempet belanja, karena hanya tinggal pesen lewat aplikasi. Tapi sayangnya, kadang harganya memang lebih mahal dibanding harga pasar," ujar Sari saat berbincang dengan Validnews, Senin (23/1).

Persoalan harga membuat Sari kembali menyambangi pasar tradisional meski tak sepenuhnya. Godaan diskon, atau produk yang dicari tak tersedia di pasar, membuatnya kembali berbelanja lewat aplikasi. Begitu pula saat waktu mepet di sela kesibukannya bekerja.

Senada dengan Sari, kepada Validnews, Senin (23/1), Dita (28) juga menjadi salah satu pelanggan startup e-grocery sejak pandemi muncul di Indonesia dan membatasi pergerakan ke luar rumah.

"Saya pakai aplikasi sejak pandemi karena pandemi tidak berani ke mana-mana, jadi mulai cari-cari buah waktu itu di Segari. Dan waktu itu kalau belanja nominal tertentu, ada bonus minyak goreng," ucap Dita.

Menurut Dita, berbelanja menggunakan startup e-grocery sangat memudahkan dirinya. Sebab, waktu pengiriman sangat cepat. Bisa tiba di rumah maksimal 1x24 jam. 

Namun demikian, dia menyayangkan tidak bisa mengetahui apakah sayur dan buah yang dipesannya masih segar atau tidak sebelum membeli melalui aplikasi. 

Dia mengaku lebih ingin melihat produk yang dibeli. Maka dari itu, kini Dita lebih memilih untuk belanja offline.

Ke depan, Dita berharap agar startup e-grocery bisa mengutamakan sistem cash on delivery (COD) atau foto di fitur chat sebelum membeli. Tujuannya, agar memastikan barang yang akan dibeli kualitasnya bagus dan terjamin.

Untuk menyiasati konsumen yang beralih ke offline, Bhima mengatakan bahwa model B2C akan terasa berat jika masih diterapkan oleh startup pertanian atau agritech

Oleh karena itu, dia menyarankan agar startup agritech dapat beralih fokusnya dari yang semula B2C menjadi B2B. Sebab, model agritech B2B dinilai masih memiliki prospek yang positif.

"Akan makin potensial, apalagi pangan kebutuhan pokok dan setidaknya 75% ritel didominasi warung dan pasar tradisional," jelas Bhima.

Dia memberikan contoh model agritech B2B dapat dengan memberikan layanan efisiensi bisnis peternakan dan pertanian. Atau, bisa juga dengan menghubungkan perusahaan supermarket dengan supplier pangan.

"B2B juga tidak perlu beri promo dan diskon, karena loyalitas dibentuk dari kebutuhan konsumen bukan iming-iming promo," imbuhnya.

Fenomena startup agritech yang mulai melirik model B2B juga diamati oleh Ketua Umum Indonesia E-Commerce Association (idEA) 2018-2020 sekaligus Penasihat idEA, Ignatius Untung. 

Ignatius menyebutkan B2B secara risiko lebih kecil dibanding B2C. Begitu pula dengan biayanya juga lebih kecil.

“Dan kalau mau berkaca sama offline, offline grocery B2B supplier juga relatif lebih low risk dibanding B2C,” tuturnya kepada Validnews, Kamis (26/1).

Potensi Startup Agritech
Dorongan dari pemerintah terhadap bisnis ini diungkap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Dia mendorong para pelaku usaha rintisan atau startup untuk berani menangkap peluang di sektor pangan yang dinilai masih terbuka begitu lebar. 

Bahkan, peluang ini membesar karena krisis pangan dampak agresi militer Rusia ke Ukraina.

Presiden menjabarkan dalam sektor pangan terdapat setidaknya tiga aspek yang bisa disasar oleh para pelaku usaha rintisan Indonesia. Yakni produksi, distribusi, dan pemasaran.

Jokowi juga sempat mengingatkan potensi ekonomi digital Indonesia yang pada 2020 sebesar Rp632 triliun, bisa tumbuh delapan kali lipat hingga sekira Rp4.531 triliun pada 2030 nanti.

"Masalah krisis pangan, urusan pangan ke depan ini akan menjadi masalah besar yang harus dipecahkan oleh teknologi dan itu adalah kesempatan, peluang, opportunity, dan agrikultur hanya 4% (dari startup Indonesia.red)," kata Presiden dalam pembukaan yang disiarkan kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden, Senin (26/9/2022).

Kenyataannya, berdasarkan populasi startup Indonesia, saat ini hanya 4% saja yang berkecimpung di sektor agrikultur. Porsi 4% itu jelas masih tertinggal jauh dibandingkan sektor fintech yang mendominasi populasi startup Indonesia dengan 23% atau ritel sebesar 14%.

Dari sisi investor, East Ventures punya keyakinan sama. Perusahaan meyakini bahwa masih terdapat banyak peluang yang dapat digali dari ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara, termasuk dari sektor pertanian. 

Principal East Ventures, Yinwei Liang mengatakan, sebagai perusahaan venture capital sector-agnostic, East Ventures terbuka untuk melakukan investasi di sektor apa pun selama perusahaan tersebut menyediakan solusi digital.

"Kami yakin teknologi berfungsi sebagai sarana untuk mendorong dampak positif bagi masyarakat," ujar Yinwei kepada Validnews, Rabu (25/1).

Pada 2023 ini, pihaknya yakin bahwa tren tidak hanya akan berpusat di e-commerce. Namun, juga akan ada lebih banyak inovasi di sektor lain, seperti D2C, agritech, dan climate tech.

Dia menjelaskan, hingga saat ini, East Ventures telah menginvestasikan lebih dari US$40 juta ke startup agritech. East Ventures juga tetap aktif dalam mencari startup yang menjanjikan. 

"Perusahaan portofolio kami telah berkinerja baik, dengan banyak yang telah mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas. Mereka juga telah menunjukkan kinerja yang tangguh, meskipun terdapat hambatan dari covid dan perlambatan ekonomi global," katanya.

East Ventures melihat berbagai peluang bagi perusahaan yang menyediakan platform terpusat untuk membantu penemuan produk, pergerakan logistik, serta pembongkaran hasil panen. 

Hal ini membuat East Ventures memimpin putaran pendanaan untuk Gokomodo sebagai solusi pengadaan input dan logistik dan Pasarnow sebagai solusi panen offtake.

Menurut Yinwei, pihaknya tertarik memberi pendanaan ke startup agritech karena termasuk pasar yang besar dan terfragmentasi, dengan adopsi teknologi dan digitalisasi yang relatif lebih rendah. East Ventures pun melihat peluang yang besar bagi para pendatang pemula.

Namun investor ini juga memberikan saran kepada para startup agritech untuk dapat melihat peluang dalam menyediakan produk dan solusi guna membantu meningkatkan produktivitas para perusahaan.  

Adapun, produktivitas yang dimaksud mencakup aspek pengelolahan rantai pasokan, dengan menyediakan layanan dari penemuan produk panen (produk discovery), logistik, hingga pemenuhan (fullfilment)  serta pembongkaran (offloading) hasil panen. 

Pasalnya, East Ventures melihat lahan pertanian selalu terletak jauh dari kota-kota besar. Sementara itu, penemuan produk panen, logistik, dan hasil panen adalah hal-hal yang dapat dan mudah untuk digarap oleh para pemula. 

"Dalam jangka panjang, kami melihat potensi dari penggunaan alat untuk meningkatkan produktivitas di lapangan, seperti penggunaan drone serta perangkat lunak pemetaan drone. Salah satu perusahaan portofolio East Ventures yang bergerak di bidang ini adalah ARIA," pungkas Yinwei. 

Tak Lupakan Petani
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa di kesempatan berbeda, mengamini banyaknya hal yang belum digarap startup berbasis pertanian. 

Dia mengungkapkan perlu perubahan dari bisnis startup di sektor pertanian. Pasalnya, dilihat dari dampak keseluruhan, belum terlihat sama sekali fungsi startup atau teknologi terhadap petani. 

"Karena kami pernah melakukan kajian untuk melihat survei jaringan di AB2TI untuk melihat peran startup, peran IT terhadap petani, hasil kerjanya apa. Ternyata tidak berperan sama sekali, nol persen. Dalam arti bahwa IT belum memiliki dampak apapun terhadap petani. Itu hanya dimanfaatkan oleh kelompok orang koperasi, usaha, atau apapun yang justru bertujuan untuk keuntungan mereka sendiri," ujar Dwi kepada Validnews melalui sambungan telepon, Senin (23/1).

Dwi menilai, startup tak beda dengan tengkulak, pedagang, dan lainnya. Startup merupakan pihak ketiga yang orientasinya bisnis. Jadi, perusahaan hanya mau mencari untung dengan cara mengganti sistem yang sudah ada.

"Hanya mereka berlindung seolah-olah mereka memotong rantai pasok, mereka akan memberikan harga yang baik untuk petani dan lain sebagainya, tapi kenyataannya tidak demikian," terangnya.

Berdasarkan pantauan Dwi di lapangan, kebanyakan startup justru mengambil produk dari pasar, bukan dari petani langsung. Dengan begitu, konsumen harus menanggung akibatnya. 

Konsumen mendapatkan harga lebih tinggi, yang mestinya bisa mendapat harga lebih rendah. Startup lebih berperan sebagai elemen di rantai distribusi. Padahal, selayaknya di sektor produksilah yang layak dicermati. 

Untuk memajukan pertanian, Dwi menilai solusi terbaik adalah para petani berhimpun bersama-sama dalam satu koperasi. Lalu, mereka menghimpun barang sendiri bersama rekan usaha tersebut. 

Namun demikian, dia mengakui bahwa hal tersebut juga bukan perkara mudah untuk diterapkan. Banyak aral untuk menerapkan. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar