03 November 2025
21:00 WIB
Sagolicious; Catatan Perjalanan Jenny Widjaja Sebagai The Queen of Sago
Pandemi menyimpan 'luka' bagi banyak pihak, tak terkecuali pebisnis. Berupaya cari sehat, Jenny Widjaja mantap mengganti bisnis mi terigu jadi mi sagu bernama Sagolicious.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Jenny Widjaja memamerkan variasi produk Sagolicious. Dok Sagolicious
JAKARTA - Siapa yang tak suka mi? Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mi jadi panganan favorit anak-anak hingga dewasa tanpa terkecuali. Entah karena rasanya yang enak, pembuatannya yang instan, sampai harga yang terjangkau buat kocek, bisa menjadi alasannya. Kini, juga hadir berbagai macam bahan baku mi yang paling umum dari tepung gandum sampai yang melokal dari sagu.
Di tangan Jenny Widjaja, tepung sagu yang akrab dimakan masyarakat timur Indonesia dibuat lebih familiar berupa nasi sampai mi kwetiau di restoran. Menu yang sama juga dinikmati para karyawan di kafenya sendiri yang beranggotakan hampir seratusan karyawan. Saking cintanya dengan sagu, sampai-sampai dia dijuluki 'The Queen of Sago'.
Kepada Validnews, ibu berusia 50 tahun ini bercerita. Semua berawal dari ketika ia pertama kali menggodok sagu jadi mi pada 2021 lalu. Saat itu, dirinya yang menyandang CEO menggandeng langsung sang putra, Charles Anderson (23), sebagai Chief Operating Officer (COO) untuk bersama merintis PT Sagolicious Indonesia Prima.
Sebenarnya, Sagolicious merupakan pivoting bisnis Jenny sebelumnya yang sudah menggeluti kuliner mi berbahan gluten atau tepung terigu. Namun, pandemi covid-19 yang sedang ganas-ganasnya kala itu membuka matanya untuk berupaya hidup lebih sehat dengan daya tahan tubuh prima, pilihan jatuh pada sagu yang bebas gluten.
“(Bahan baku tepung) yang paling baik dan melimpah di Indonesia adalah sagu. Di luar itu memang ada yang lain, tapi saya jatuh cintanya sama sagu. Saya dan putra saya sampai satu tahun mengadakan penelitian (produk pangan dari sagu),” tutur Jenny kepada wartawan, Jakarta, Kamis (30/10).
Baca Juga: Kenali Tanda Alergi Gluten
Dia mengingat betul momen peluncuran mi sagu buatannya saat acara Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua di tahun yang sama, via jalur undangan langsung Wali Kota Jayapura, Papua.
“Saya dijuluki The Queen of Sago saat pertama kali rilis mie dari Wali Kota Jayapura saat itu Bapak Benhur Tomi Mano,” serunya.
Dari titik itu, dia bersyukur usaha Sagolicious terus berkembang baik. Di tingkat nasional, Sagolicious juga sudah menyabet penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) selama tiga tahun berturut-turut karena mampu mengembangkan bahan baku sagu menjadi 100 varian produk.
“Saya mendapat tiga rekor MURI sebagai pelopor dan pionir sagu. Kita mampu menyediakan 4.000 porsi mi dalam waktu singkat 2 jam,” ungkapnya.
Setelah itu, Jenny mengaku malah dianugerahi banyak penghargaan atas pengembangan sagu menjadi produk makanan sehat. “Mudah-mudahan tidak hanya penghargaan saja, tetapi betul-betul dinikmati oleh masyarakat, terutama yang mau sehat,” imbuhnya.
Soal ketersediaan materi, dia menyampaikan, Indonesia diberkati pasokan sagu yang melimpah. Sagu ada di 5,5 juta hektare (ha) tanah di Indonesia. Selain itu, Jenny mengatakan, sagu merupakan makanan berkelanjutan (sustainable food) dan bisa berperan sebagai ketahanan pangan di tingkat dunia. Lantaran sagu diklaim mampu memberikan makan lebih dari 1 miliar manusia di bumi secara berkesinambungan.
Tanaman sagu juga tangguh menghadapi iklim yang ekstrem sekarang ini, baik kekeringan atau pun kebanjiran. “Tidak perlu ada perawatan dari manusia. Jadi Indonesia sudah begitu baik diberikan sagu,” ucapnya.
Sayangnya, bahan baku sagu belum banyak dikembangkan. Hal ini tak mengherankan karena masa pertanaman sagu yang membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 12-15 tahun sebelum bisa dipanen. Dia pun berharap, tanaman sagu tanah air bisa terus bertambah karena sifatnya yang bandel; tak rewel perlu dirawat saksama, tanpa perlu pupuk dan pestisida, hingga pengairan yang optimal.
“Di mana ada sagu, di situ tanah menjadi subur sekali karena mengikat air dan penyerap CO2 yang sangat baik,” ujarnya.
Tantangan Jualan Mi Sagu
Namanya usaha, meski mengantongi berbagai penghargaan atas inovasi sagu jadi makanan sehat, Jenny menyadari berdagang tidak selalu mulus, apalagi terus-terusan laris. Dia mengidentifikasi, meyakinkan dan mengenalkan keunggulan kesehatan mi sagu ke masyarakat cukup menantang karena punya selera masing-masing.
“Untuk menjadi pengganti karbohidrat yang aman untuk tubuh kita. Jangan lupa, sagu adalah makanan asli nenek moyang kita. Indonesia aslinya makannya sagu, dari Sabang sampai Merauke,” katanya.
Baca Juga: Beragam Makanan Olahan Sagu Baik Untuk Penderita Diabetes
Saat merintis di awal, Jenny juga tidak saklek langsung menjual mi sagu sepenuhnya. Sembari diselingi menu mi tepung terigu, dia pelan-pelan mencoba menawarkan mi sagu ke pelanggan kafe. Memang, awalnya konsumen cukup skeptis dengan produk sagu yang kadung lebih diketahui berbentuk lengket seperti lem papeda.
“Tapi setelah mereka makan, mereka datang lagi pesannya sudah mi sagu. Karena sudah merasakan gula darahnya tidak melonjak, asam lambungnya membaik, kemudian kenyang lebih lama, ya pasti lebih sehat,” ungkapnya.
Variasi mi sagu sehat Sagolicious. instagram.com/sagolicious_officialSelain berjualan fisik di restoran, Jenny juga tak mau ketinggalan memanfaatkan perkembangan teknologi digital dengan memasarkan produk mi sagunya lewat medsos maupun e-commerce. “Kita sudah ada seperti Tokopedia, Shopee. Tapi memang harus memperkuat medsosnya, masih banyak PR-PR kami,” akunya.
Kini, Jenny bangga menyampaikan, produk minya dibanding mi lain dengan konsisten membuat varian makanan sehat berbahan baku sagu terbaik yang dipanen pada usia cukup dari berbagai daerah. Dia juga mengklaim varian produk buatannya sebelum menjadi mi, pasta, beras, keripik dan sebagainya sudah melewati proses pemurnian secara ketat untuk menghasilkan sagu berkualitas.
"Jadi bukan tepung (sagu) begitu saja yang dari market, tapi kita proses lagi pemurniannya. Prosesnya juga higiene,” jelasnya.
Minta Dukungan Pemerintah
Meski usaha naik-turun, Jenny secara umum mengkalkulasi, tren penjualan mi sagu sejak berdiri 2021 hingga sekarang masih terhitung konsisten meningkat. Kini, Sagolicious juga tengah mengembangkan produksi varian produk sagu dengan menambah mesin, upaya pengembangan-inovasi formula produk menarik juga tak pernah mengendur.
“Dari segi rasa dan harga, (mi sagu) kita juga harus ditekan. Karena kita tahu, (bahan baku) sagu belum dapat subsidi. Jadi memang harganya masih di atas (produk berbahan baku) terigu,” sebutnya.
Karena itu, Jenny berharap, dukungan pemerintah lewat sejumlah kebijakan untuk mempermurah bahan baku sagu. Jika sampai kejadian, produk sagu menjadi makanan sehat di pasaran akan mengikuti juga jadi makin terjangkau.
“Kemudian offtaker-nya juga banyak, kita bisa produksi dalam jumlah besar, tentu cost-nya juga turun, baik dari packaging dan segala macam. Kalau kita pesan 1 juta (buag) dengan 100 ribu (buah) kan beda harganya,” ujarnya.
Baca Juga: Bisa Gantikan Beras, Kemenperin Dukung Hilirisasi Pangan Lokal Sagu
Namun demikian, Jenny tetap mengapresiasi andil pemerintah yang tetap konsisten mendukung produk UMKM termasuk memperkenalkan produk Sagolicious, misalnya kesempatan banyak pameran dari Kemenperin.
“Seperti tahun lalu, Kementerian Perindustrian mengadakan simposium sagu, dan seluruh hadirin disediakan makan buffet, prasmanan semua dari berbahan sagu. Mi goreng, kwetiau goreng, papeda, hingga nasi goreng bersama ikan-ikan dari timur,” ujarnya.
Paling spesial, dia juga mengapresiasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) yang memfasilitasinya untuk merilis buku Sagu Indonesia. Untuk memeriahkan peluncuran buku itu, katering Sagolicious dikerahkan untuk menjamu hadirin dengan konsumsi sagu.
“Saya berharap, pembelian (konsumen) yang selama ini berbahan lain, bisa juga (melirik) ke sagu, biar (pertanian-industri pengolahan) sagu ini bisa juga tumbuh dengan baik, ya diberikan kesempatannya. Mudah-mudahan dari pemerintah, kebijakan bisa lebih memberi peluang untuk sagu (berkembang),” imbuhnya.
Pelanggan Mi Sagu
Sejauh ini, pesanan mi sagu cukup banyak berasal dari komunitas anak pengidap autisme yang sama sekali tidak boleh mengonsumsi gluten dan menghindari gula. Begitu pula, pasien yang berupaya menjalani pola pangan lebih sehat setelah diberikan saran dokter untuk mengurangi bahkan menghindari produk gluten.
“Jadi, kafe dan resto Sagolicious mempunyai banyak pelanggan dari berbagai kalangan maupun komunitas,” ujar Jenny.
Secara khusus, Jenny juga membidik pelanggan rata-rata berusia di atas 30 tahun yang sedang menghindari makanan bergluten dan sudah mulai melek pentingnya hidup sehat. Salah satu di antaranya, Pendiri MURI Jaya Suprana yang dia 'tahbiskan' menjadi pelanggan tetap di Restoran Sagolicious.
“Jadi, (pelanggan) sudah menyadari kesehatan, sudah menyadari harus mulai menjaga gula dan sebagainya, itu market kami. Pak Jaya (Suprana) sekeluarga juga pelanggan kami di Restoran Kelapa Gading, karena beliau menghindari gluten,” jelas dia.
Baca Juga: Pemanfaatan Minim, Pemerintah Dorong Pengembangan Industri Sagu
Menu sagu yang disajikan pun beragam dari papeda tradisional sampai nasgor yang menggugah selera. Pelanggan pun bisa menikmati makanan berkuah, seperti sup ikan marlin dengan mi sagu spirulina.
“Kita mempunyai varian produk yang cukup beragam, jadi kita campurkan (mi sagu) dengan warna hijau yang indah dari spirulina. Yang sangat superfood itu dari moringa (kelor), buah naga, kunyit dan masih banyak lagi kreasi kami. Mudah-mudahan ini bisa bermanfaat untuk masyarakat luas,” harapnya.
Varian mi sagu sehat Sagolicious. instagram.com/sagolicious_officialHarga mi instan sagu dibanderol antara Rp10-20 ribu per porsi, sementara menu di restoran juga dijual terjangkau seperti mi ayam sagu yang dijual sekitar Rp35 ribu per porsi. Jenny menyampaikan, harga produk yang ditawarkan masih lebih bersaing dibanding impor yang dijual lebih mahal.
“Yang high-end juga memang sekitar Rp20-25 ribu, keripiknya juga. Apalagi kita memakai bahan-bahan terbaik kita. Tidak memakai pewarna, penambah perasa, sama sekali enggak ada. Jadi pure alami. Kita sudah halal dan BPOM, sudah ISO 22.000,” tegasnya.
Soal omzet, Sagolicious masih malu-malu mengungkap ke publik. Namun yang lebih penting, Sagolicious dapat menyerap tenaga kerja dan mendukung ekonomi karyawan hingga kini.
“Doain aja lebih baik. Yang penting bisa bayar gaji karyawan, bisa terus berkembang. Karyawan saya hampir 100 orang, dari pertama berdiri sekitar 20 karyawan,” paparnya.
Ekspansi Sekaligus Edukasi Sagu
Saat ini, Jenny sedang menyiapkan pembukaan makanan berbahan sagu yang lebih simpel dan membuka cabang di seluruh wilayah. Dia bercita-cita bisa membuka kafe dan booth Sagolicious di dalam mal dan pusat perbelanjaan.
“Rencana kami ingin membuka cabang, masyarakat harus langsung cobain dulu (mi dan makanan berbahan sagu lainnya). PR kita harus mengenalkan sagu kepada masyarakat, sehingga mengerti kenapa harus (konsumsi) sagu,” sambungnya.
Penjualan produk Sagolicous berbahan sagu sudah tersebar di beberapa supermarket seperti Farmers Market, Lucky Plaza, Sesa, Diamond, Papaya, Aeon dan lainnya. Di sisi lain, meski belum menggarap ekspor serius, produknya sudah pernah dikirim kecil-kecilan ke beberapa negara. “Kalau ekspor secara besar-besar belum, tapi mereka yang beli ratusan box kirim ke luar negeri sudah, dari trading. Mereka yang bermain trading itu sudah kirim-kirim, ratusan dus keluar. Cukup luas (negaranya), dari yang paling dekat Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Arab Saudi, China, Jepang, Korea juga,” bebernya.
Baca Juga: Selain Papeda, Ini Makanan Khas Raja Ampat
Dia optimistis, peluang penjualan produk pangan sehat ke depan akan lebih baik sejalan dengan kesadaran masyarakat yang naik. Tren ini pun sudah dimulai sejak pagebluk lalu. “Kita tahu sekarang banyak produk-produk kesehatan yang tiba-tiba setelah pandemi ini berkembang sangat baik. Saya pikir ini adalah waktu yang tepat,” ujarnya.
Untuk itu, Jenny mengajak masyarakat untuk lebih berani mengonsumsi makanan sehat asli buatan Indonesia, bebas gluten dengan harga bersahabat. Selain itu, Jenny juga sangat terbuka kepada masyarakat yang tertarik bekerja sama untuk menjadi agen, distributor atau kemitraan dengan Sagolicious.
“Saya sangat terbuka. Bisa menghubungi saya melalui instagram jennywidjaja_sagolicious, boleh datang ke restoran di Kelapa Gading dan sebagainya,” imbuhnya.
Di samping itu, Jenny juga sedang mengampanyekan panganan sagu, panganan khas Indonesia Timur, sedari dini kepada anak sekolah via tiga dapur Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Satu tujuannya, saya ingin sekali, anak-anak Jakarta, sekolah-sekolah ini juga dari kecil, dari dini mereka harus diberikan makanan yang baik. Sehingga ini akan mempengaruhi pendidikan, daya ingat, kecerdasan dan pertumbuhan,” serunya.
Baca Juga: Kapurung, Makanan Penuh Gizi Dari Sulawesi Selatan
Oleh karena itu, Jenny mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan panganan dengan kearifan lokal. Menurutnya, setiap daerah pasti memiliki produk pangan unggulan masing-masing.
“Jadi biarkanlah itu menjadi makanan mereka, yang lebih cocok alamnya, cocok dengan masyarakat di sana. Kan tidak semuanya harus makan nasi, ada ubi, singkong, sagu, jagung, dan sebagainya. Jadi jangan diganti,” pungkasnya.