20 November 2023
19:08 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
JAKARTA - Pemerintah menerbitkan UU 17/2023 tentang Kesehatan dan mengatur ulang ketentuan hasil tembakau alias rokok. Adapun rokok masuk ke dalam kategori zat adiktif yang memerlukan pengamanan.
Pengelompokan dan pengaturan produk tembakau sebagai zat adiktif tercantum mulai dalam Pasal 149 sampai Pasal 152 UU Kesehatan.
Melalui UU Kesehatan, pemerintah mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan individu, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
"Zat adiktif ... termasuk semua produk tembakau yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat," bunyi Pasal 149 ayat (2) UU 17/2023.
Aturan itu memerinci produk tembakau meliputi 6 jenis. Itu terdiri dari rokok, cerutu, rokok daun, tembakau iris (TIS), rokok elektrik dan shisha, serta hasil pengolahan tembakau lainnya.
Baca Juga: Industri Rokok Terkontraksi Dipicu Naiknya Cukai dan RPP Kesehatan
Lebih lanjut, dalam bagian penjelasan Pasal 149 ayat (1), diatur zat adiktif juga mencakup produk yang tidak mengandung tembakau dalam bentuk padat, cair, gas, yang penggunaannya menimbulkan kerugian kesehatan.
"Bentuk lain yang bersifat adiktif, antara lain, berupa rokok elektronik dan permen yang mengandung nikotin," tulis penjelasan Pasal 149 ayat (1) UU Kesehatan.
Secara keseluruhan UU Kesehatan terdiri dari 458 pasal, dan beleid itu diundangkan pada 8 Agustus 2023. Saat ini, pemerintah tengah membahas isi aturan pelaksana atau Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).
Regulasi mengenai pengamanan zat adiktif, termasuk rokok, juga akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Saat ini, pemerintah pun masih menggodoknya.
"Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif, berupa produk tembakau, diatur dengan Peraturan Pemerintah," bunyi Pasal 152 ayat (1).
Regulasi Rokok Harus Ada PP Sendiri
Dalam periode penyusunan RPP Kesehatan ini, pelaku industri hasil tembakau (IHT) teriak paling kencang.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi meminta regulasi pengamanan zat adiktif, termasuk rokok, diatur melalui PP tersendiri. Dengan kata lain, tidak digabung dengan klaster lain.
"Kalau bicara zat adiktif, ya klasternya kan berbeda. disitu ada petani, ada penerimaan negara (cukai), mungkin ada orang sakit juga di situ karena rokok, tapi keseluruhan merupakan bagian yang sangat besar," ujarnya kepada Validnews, Senin (20/11).
Oleh karena itu, Benny kurang berkenan dan menyarankan agar regulasi produk tembakau berdiri sendiri. Selama ini, menurutnya, industri rokok juga sudah punya aturan khusus, yakni PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Kami melihat penanganan zat adiktif seyogyanya diatur dalam PP sendiri, seperti yang selama ini diatur melalui PP 109/2012," imbuh Ketum Gaprindo itu.
Benny juga menyoroti banyaknya larangan dan pengetatan aturan terkait rokok dalam RPP Kesehatan.
Dia mengatakan, pengetatan aturan makin memberatkan industri rokok, dan berpotensi menyebabkan penurunan produksi.
Adapun contoh perubahan aturan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengusulkan pasal mengenai pengurangan waktu tayang iklan rokok. Tadinya berdurasi 7,5 jam menjadi 4 jam saja.
Baca Juga: Kemenkes Minta Masukan Aturan Turunan UU Kesehatan
Dalam PP 109/2012, pemerintah menyatakan iklan rokok boleh disiarkan mulai 21.30-05.00 waktu setempat. Sementara usulan untuk RPP Kesehatan baru, iklan rokok tayang pada rentang 23.00-03.00 waktu setempat.
Contoh lain, produsen, importir, pengedar produk tembakau dan rokok elektrik dilarang mengiklankan produk di media luar ruang, situs, aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan toko.
"Hal-hal tersebut (pengetatan larangan) sebenarnya terus terang sangat memberatkan kami, karena kami dihadapkan dengan penurunan produksi," kata Benny.
Dia menuturkan jika pelaku IHT dalam negeri tertekan, pihak yang justru merasa senang adalah para produsen rokok ilegal. Itu karena tidak terikat aturan, tidak memenuhi ketentuan kesehatan, dan tidak membayar cukai ke negara.
"Dengan banyaknya pengaturan terhadap rokok legal, mereka (produsen rokok ilegal) kan lebih senang, karena rokok ilegal tidak bayar cukai, tidak pasang iklan, enggak apa-apa mereka kan," ucapnya.
Benny juga mengatakan penurunan produksi IHT atau rokok resmi tidak serta merta mengurangi peredaran jumlah rokok di masyarakat. Dengan demikian, prevalensi merokok tidak otomatis ikut turun.
Dia pun menambahkan ada banyak pihak yang dirugikan jika produksi hasil tembakau turun. Antara lain, penerimaan cukai menurun, dan pendapatan petani tembakau serta perusahaan pun berkurang.
"Dengan rokok legal yang makin ketat pengaturannya, tentu berdampak kepada kami, sedangkan pihak rokok ilegal makin meningkat, juga dampaknya ke kesehatan belum tentu sesuai yang pemerintah harapkan," tutur Benny.
Pembahasan RPP Harus Holistik
Ketum Gaprindo menilai penting menyusun RPP Kesehatan terkait pengamanan zat adiktif secara holistik. Untuk itu, pembahasannya pun membutuhkan waktu, agar lebih komprehensif.
Benny mencontohkan UU Kesehatan yang lama terbit pada 2009. Kemudian, aturan turunannya berupa PP baru terbit 3 tahun setelahnya, pada 2012. Tidak perlu selama itu, tapi dia berharap pemerintah mendengar masukan semua pihak dalam menyusun RPP kesehatan.
"Kalau ada PP sendiri, ya waktu pembahasannya juga bisa lebih panjang, lebih komprehensif, lebih mendengarkan banyak stakeholder, termasuk industri hasil tembakau," katanya.
Sebagai informasi, aturan pelaksana turunan UU 17/2023 tentang Kesehatan harus ditetapkan maksimal 1 tahun setelah UU Kesehatan diundangkan. Artinya PP harus terbit paling lambat Agustus 2024.
"Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan," bunyi Pasal 456 UU Kesehatan.