c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

24 Juni 2024

20:23 WIB

Ritel Lebih Teriak Daripada Produsen Soal Utang Rafaksi Migor, Kenapa?

Aprindo mengaku selama dua tahun ini pengusaha ritel lebih banyak bersuara soal utang rafaksi migor daripada produsen. Salah satunya, karena ritel merasa paling dirugikan dalam kasus ini.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Ritel Lebih Teriak Daripada Produsen Soal Utang Rafaksi Migor, Kenapa?</p>
<p id="isPasted">Ritel Lebih Teriak Daripada Produsen Soal Utang Rafaksi Migor, Kenapa?</p>

Petugas merapikan minyak goreng yang berada dietalase di salah satu pusat perbelanjaan Jakarta, Jumat (22/3/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan

JAKARTA - Para pengusaha ritel kerap paling kencang menyuarakan perihal utang rafaksi minyak goreng (migor) yang belum dibayarkan pemerintah kepada produsen serta peritel hingga saat ini.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menjelaskan selama ini peritel gencar bersuara dibandingkan pihak produsen mengenai pembayaran utang rafaksi, lantaran menurutnya pengusaha ritel paling banyak menderita kerugian.

"Memang alasan Aprindo yang bersuara karena kami yang sangat menanggung kerugian atas hal ini (dibandingkan produsen)," ujarnya kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Untuk diingat, pada 2022 lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 3/2022 yang mengatur soal pemberlakuan satu harga minyak goreng, yakni seharga Rp14.000/liter. Kebijakan itu digulirkan guna mengatasi krisis migor di dalam negeri.

Secara teknis, pemerintah meneken perjanjian dengan produsen untuk memastikan ketersediaan migor domestik. Kemudian peritel, berdasarkan peraturan tersebut, harus menjual migor dengan kebijakan satu harga di toko-toko.

Baca Juga: Utang Rafaksi Minyak Goreng Dibayar ke Produsen, Ini Tanggapan Aprindo

Dengan demikian, pemerintah akan membayarkan utang rafaksi migor kepada produsen selaku pihak yang meneken kontrak. Lalu produsen yang akan membayarkan utang selisih harga migor kepada pengusaha ritel.

Roy menjelaskan pihak peritel merugi lantaran utang rafaksi migor tidak dibayarkan. Padahal, menurutnya pembayaran seharusnya sudah diselesaikan dalam kurun maksimal satu bulan setelah serah terima data, seperti yang dijanjikan dalam Permendag 3/2022.

Namun sejak 2022 sampai 2024 ini, pemerintah melalui BPDPKS belum membayarkan utang rafaksi kepada produsen. Otomatis, peritel juga tidak menerima pembayaran utang selisih harga migor tersebut dari produsen.

Oleh karena itu, Roy menuturkan pihaknya tetap menyuarakan sekaligus memantau perkembangan terkait pengembalian utang rafaksi ini. Memang, dia mengaku peritel berbeda sikap dengan para produsen migor yang tampaknya lebih santai menghadapi hal ini.

"Kenapa kami berteriak terus, karena kami yang merasa mengalami kerugian akibat pemberlakuan migor satu harga," tuturnya. "Kami sudah melakukan kewajiban, tapi hak kami ditahan pemerintah. Nah kalau produsen mungkin mereka bisa mensubstitusi dengan ekspornya," imbuh Ketum Aprindo.

Roy berpandangan para produsen migor bisa mensubstitusi penjualan migor di domestik dengan cara menggencarkan ekspornya. Penjualan ke mancanegara alias ekspor bisa lebih tinggi daripada penjualan ke dalam negeri.

Produsen Telah Menerima Pembayaran
Satu lagi, lanjut Roy, produsen migor sudah lebih dulu menerima pembayaran migor dari ritel. Otomatis, dua faktor ini, menurutnya, membuat produsen cenderung merasa tidak terlalu dirugikan.

Melihat hal itu, dia pun mengeklaim kondisi tersebutlah yang membuat produsen sekaligus eksportir migor tidak terlalu bersuara lantang soal utang rafaksi migor yang tak kunjung dibayarkan pemerintah itu.

"Jadi mereka merasa bahwa domestic sales atau penjualan domestik, termasuk yang di pasar rakyat itu tidak seberapa dengan ekspor yang memang mereka lakukan. Sebagai produsen kan penghasil sekaligus pengekspor, jadi mereka (produsen) memilih tidak bersuara gitu," kata Roy.

Baca Juga: Masalah Rafaksi Migor, Dulu Pemerintah Teken Kontrak Dengan Produsen

Ketum Aprindo menambahkan, pengusaha ritel itu sudah jauh-jauh hari memasok minyak goreng, sebelum kebijakan satu harga diterapkan. Mengenai harganya, peritel membeli migor dengan harga 'normal' dari produsen.

Namun sejak ada kebijakan baru saat krisis minyak goreng pada awal 2022, peritel harus menjual migor dengan harga lebih rendah daripada harga belinya. Itu sebabnya, menurut Roy, pengusaha ritel paling dirugikan dalam kasus ini.

"Kita sudah beli minyak goreng di November 2021. Jadi kita sudah beli mahal, udah bayar total, tiba-tiba disuruh rafaksi Rp14.000 jadi satu harga. Ya, yang paling mengalami kerugian adalah ritel," tutup Ketum Aprindo.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar