08 Maret 2025
18:00 WIB
Relevansi Pertumbuhan Ekonomi Di Tengah Efisensi Anggaran
Efisiensi anggaran belanja pemerintah pada APBN TA 2025 memicu pro dan kontra. Masihkah relevan kah sasaran pertumbuhan ekonomi?
Penulis: Yoseph Krishna, Siti Nur Arifa, Aurora K MÂ Simanjuntak, Erlinda Puspita
Editor: Rikando Somba
Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat terbatas dan taklimat bersama jajaran kabinet Merah Putih di Halaman Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, (4/3/2025). Dok BPMI Setpres
JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan efisiensi anggaran APBN Tahun Anggaran (TA) 2025. Langkah penghematan ditujukan di banyak sektor, direalokasi sebagai pembiayaan program unggulan pemerintah lainnya.
Keseriusan efisensi ditegaskan lewat keluarnya beleid, Inpres 1/2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 dengan total anggaran mencapai Rp306,69 triliun. Konsekuensinya, seluruh K/L wajib melaporkan rekonstruksi pagu anggaran yang telah diefisiensi ke Kemenkeu. Tenggatnya 25 Februari lalu.
Dari seluruh K/L yang merekonstruksi anggarannya, diketahui K/L yang menetapkan efisiensi terbesar ada di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp81,38 triliun atau 73,34%, dari pagu awal Rp110,95 triliun tersisa Rp29,57 triliun.
Tak berselang lama, besaran efisiensi tersebut direvisi menjadi lebih kecil lagi, yaitu Rp60,46 triliun atau setara 54,49%. Hasilnya, sisa anggaran Kementerian PU 2025 sebesar Rp50,49 triliun.
Meski efisiensi anggara terbaru itu jumlahnya mengecil, tetap saja Kementerian PU mendapat efisiensi anggaran yang terdampak paling besar atas kebijakan ini.
Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PU Triono Junoasmono mengaku, pihaknya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh rencana pembangunan proyek pasca adanya efisiensi anggaran belanja di instansinya.
"Evaluasi menyeluruh rencana pembangunan proyek mempertimbangkan tingkat urgensi, nilai strategis, dan dampak sosial-ekonomi. Kami akan fokus pada pencapaian Misi Asta Cita 2 yang mendukung swasembada pangan dan ekonomi kreatif, melalui optimalisasi pemanfaatan bendungan, khususnya untuk irigasi dan air minum,” jelasnya kepada Validnews, Jakarta, Jumat (7/3).
Untuk mengatasi keterbatasan anggaran, sambungnya, proyek yang akan digarap nanti akan dilaksanakan melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KBPU). Fokus utama pembangunan infrastruktur adalah proyek KPBU yang bersifat user-charge friendly dan tanpa membutuhkan dukungan konstruksi.
Di sisi lain, dia mengaku Kementerian PU tidak akan mengurangi komitmen dalam penyediaan infrastruktur untuk masyarakat. Namun, skala prioritas tetap memperhatikan skala prioritas pembangunan infrastruktur yang mendukung ketercapaian Asta Cita melalui 'target 608'.
Target tersebut berarti, capaian Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kurang dari 6, pengentasan kemiskinan menuju persentase 0%, serta mendukung pertumbuhan ekonomi menjadi 8%.
Sementara itu, sisa anggaran Kementerian PU 2025 yang telah terefisiensi, menurut Triono, akan diprioritaskan untuk operasi dan pemeliharaan atau revitalisasi bendungan dan jaringan irigasi, maupun preservasi jalan nasional.
Selain itu, fokus anggaran hasil efisiensi juga untuk penanggulangan bencana dan mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui pemenuhan infrastruktur ketahanan pangan, konektivitas logistik, serta air minum dan sanitasi yang layak.
Sementara itu, untuk pembangunan infrastruktur yang melalui pembiayaan non-APBN, pihaknya akan memprioritaskan proyek KPBU yang layak finansial dengan tingkat bankability tinggi. Dengan demikian, tidak perlu dukungan konstruksi, serta proyek dengan pengembalian investasi melalui tarif pengguna.
”Adapun proyek-proyek yang tidak termasuk prioritas, sementara dilakukan penundaan dan dialihkan pelaksanaannya pada tahun berikutnya,” sambungnya.
Rambatan Efiensi Belanja Negara Ke Konsumsi
Beragam pihak menanggapi efisiensi ini. Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, isu utama efisiensi anggaran Kementerian PU adalah pelambatan pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Yang pada akhirnya, menurutnya, bisa memperlambat aktivitas konsumsi masyarakat keseluruhan maupun dunia usaha.
Merujuk data BPS, Riefky menggarisbawahi, sektor yang paling signifikan menopang pertumbuhan ekonomi adalah manufaktur dan pengolahan. Adanya efisiensi anggaran belanja negara turut berpotensi memengaruhi kompetensi sektor tersebut.
Baginya, kurangnya pembangunan infrastruktur akan menghambat program pemerintah sendiri. Jika sudah begitu, performa dan aktivitas manufaktur bisa dikatakan dapat terganggu. Tak berhenti di situ, kondisi ini juga bisa berujung pada pelemahan daya beli di tingkat pekerja.
“Sektor pengolahan ini sangat bergantung dari daya beli masyarakat. Kalau efisiensi mengganggu daya beli masyarakat, tentu performa manufaktur ini akan terus menurun,” terang Riefky kepada Validnews, Kamis (6/3).
Namun, dia kembali mengingatkan, potensi negatif perubahan struktur manufaktur-pengolahan terhadap PDB bukan saja bisa terjadi pasca efisiensi anggaran belanja negara. Beberapa waktu belakangan, sektor ini sudah mengalami tantangan deindustrialisasi prematur.
“Artinya, kontribusi manufaktur terhadap perekonomian nasional cenderung menurun. Sekarang yang mulai tumbuh adalah sektor-sektor jasa bernilai tambah,” ujarnya.
Soal isu terakhir, pemerintah sendiri akui, saat ini kondisi sektor manufaktur RI justru alami kemerosotan dan sulit untuk kembali mendapatkan momentum pertumbuhan tinggi.
Peluang Menurunkan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam jangka pendek, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto justru berpendapat, konsekuensi yang akan Indonesia peroleh usai mengefisiensi anggaran berpotensi menekan bahkan sampai menurunkan pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, selisih penurunannya tak terlalu besar dari target yang ditetapkan.
Pada pertimbangan sebelumnya, APBN 2025 awal sudah secara gamblang menetapkan alokasi anggaran untuk pendapatan, belanja, sampai pembiayaan sehingga dapat ditargetkan untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% di tahun ini.
Namun setelah efisiensi anggaran, pemerintah belum memublikasikan pos mana saja yang memperoleh pembiayaaan hasil efisiensi, sehingga pertumbuhan ekonomi pun bisa saja turun dari target tesebut.
Eko memperkirakan, dua program prioritas yakni program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Danantara, akan muncul sebagai pos penyerap utama hasil efisiensi anggaran.
“Kita harus lihat alokasinya secara legal, draft, dan keterangan pemerintah harus jelas. Sejauh ini, kan yang kita dengar ada dua program prioritas untuk hasil realokasi Rp306 triliun, yaitu MBG dan Danantara,” tutur Eko yang berbincang dengan Validnews via telepon, Kamis (6/3).
Kendati begitu, Eko meyakini, pengaruh efisiensi anggaran belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tak terlalu signifikan. Alasannya, ekonomi Indonesia saat ini lebih bertumpu pada pertumbuhan swasta, daripada belanja pemerintah yang kontribusinya masih di bawah 10% ke PDB.
BPS mencatat, kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB atau pertumbuhan ekonomi masih berkisar 7-9% selama 2020-2024, dengan kecenderungan terus menurun dari tahun ke tahun. Kontribusinya sempat menyentuh 9,66% di 2020; 9,25% di 2021; 7,69% di 2022; lalu 7,45% di 2023, dan 7,73% di 2024.
BPS mengidentifikasi, tingginya kontribusi belanja pemerintah pada PDB di 2020-2021 bisa terjadi karena kebutuhan menghadapi pandemi covid-19. Kala itu, belanja pemerintah digelontorkan untuk menanganani covid-19 maupun imunisasi hingga vaksinasi.
Hitungan kasar Eko, rata-rata total nominal PDB Indonesia per tahun mencapai Rp20.000-an triliun, sementara belanja negara yang diefisienkan hanya sekitar Rp300 triliun. Artinya, kebijakan efisiensi anggaran hanya 'mendisrupsi' sekitar 1,5% dari PDB nominal.
Secara realistis, dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dapat tetap di kisaran 5%. Lantaran biaya-biaya insentif yang diterima Aparatur Sipil Negara (ASN), efek rambatan program kerja K/L dan pemerintah daerah (pemda) yang seharusnya bisa meningkatkan konsumsi, terpaksa ikut terhenti.
“Kalau nanti di triwulan I-2025 hanya tumbuh 5% pas atau sedikit lebih rendah, ya itu hal yang harus diterima. Karena memang efisiensi ini kan pada praktiknya mengurangi insentif-insentif yang diterima ASN, upaya-upaya yang bisa menjadi enabler dalam kinerja K/L dan pemda, misalnya vendor banyak yang belum dapat insentif. Mereka akhirnya harus putar otak mencari pekerjaan lain. Ini kemudian akan berpengaruh sedikit banyak ke ekonomi mereka sehari-hari,” imbuhnya.

Bisa Dukung Pertumbuhan 8%?
Baik Riefky maupun Eko, keduanya kompak menilai efisiensi anggaran belanja pemerintah tidak menjamin pertumbuhan ekonomi 8% dapat tercapai. Dengan catatan, alokasi anggaran hasil efisiensi tak tepat sasaran.
Riefky mengakui, efisiensi anggaran sejalan dengan target pencapaian pertumbuhan ekonomi 8%. Sayangnya, dia justru menilai, sementara ini penggunaan hasil efisiensi anggaran terkesan tidak dialokasi untuk mencapai target tersebut.
“Kita enggak melihat ini digunakan untuk program yang sifatnya produktif atau men-generate aktivitas ekonomi yang masif,” tutur Riefky.
Di persepsinya, sejauh ini tak ada program yang bisa mendongkrak target pertumbuhan ekonomi 8%, seperti halnya program yang meningkatkan iklim investasi hingga menumbuhkan lapangan pekerjaan.
Senada, Eko beranggapan, efisiensi anggaran belanja bisa saja mendongkrak pertumbuhan ekonomi, jika ditujukan untuk pos belanja produktif lainnya. Seperti pembiayaan insentif bagi sektor industri, sektor pertanian, dan sektor perdagangan, karena sektor-sektor ini menurutnya berkontribusi paling besar terhadap PDB.
Paling krusial, dia berharap, jangan sampai efisiensi anggaran belanja pemerintah tersentuh korupsi sedikit pun.
“Kalau saya lihat, sulit ya (pertumbuhan ekonomi) 8% itu dengan atau tanpa efisiensi. Selama industri tidak tumbuh double digit akan lebih sulit lagi mencapai 8%” jelas Eko.
Sementara kehadiran Danantara yang digadang sebagai game changer, dia menyebut, pemerintah harus menjamin tata kelola yang benar agar kepercayaan masyarakat tumbuh.
Pasalnya, jika manajemen Danantara gagal, tentu saja berimbas pada sulitnya menghasilkan investasi-investasi besar, bahkan investasi asing untuk menambah likuiditas.
Optimisme Dan Siasat Pemerintah
Sebaliknya, pemerintah menilai, pencapaian pertumbuhan ekonomi tak terpengaruh. Deputi Bidang Perencanaan Makro Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Eka Chandra Buana menegaskan, adanya efisiensi anggaran belanja negara melalui Inpres 1/2025 sama sekali tak menimbulkan perubahan peta jalan pembangunan nasional Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang.
Apalagi target pertumbuhan ekonomi 8% tertuang dalam RPJMN 2025-2029 dan mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi 8% akan berjalan melalui delapan strategi dan satu langkah kebijakan.
Kedelapan strategi tersebut antara lain, peningkatan produktivitas pertanian menuju swasembada pangan; industrialisasi dan hilirisasi yang berorientasi ekspor, padat karya, dan berkelanjutan; implementasi ekonomi hijau dan ekonomi biru; serta pengembangan ekonomi pariwisata dan kreatif.
Kemudian, wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; transformasi digital; investasi yang fokus pada investasi asing langsung (FDI) berorientasi ekspor dan investasi non-APBN; hingga belanja negara untuk kegiatan produktivitas seperti MBG dan pembangunan 3 juta rumah.
"Satu langkah kebijakan berupa deregulasi perizinan yang diiringi dengan kebijakan fiskal dan moneter yang pro-growth," papar Eka kepada Validnews, Jumat (7/3).
Selain target pertumbuhan ekonomi 8%, pemerintah juga menetapkan target Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$8.000, tingkat kemiskinan turun menjadi 4,5-5,0%, dan Human Capital Index (HCI) sebesar 0,59.
Lalu, Chandra menguraikan ada lima indikator untuk RPJPN 2025-2045 dalam mencapai Indonesia Emas 2045 sesuai mandat UU 59/2024. Mencakup transformasi ekonomi, yakni sains, teknologi, inovasi, dan produktivitas ekonomi; implementasi ekonomi hijau; transformasi digital; integrasi ekonomi global dan domestik; serta wilayah pedesaan dan perkotaan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.
Pemanfaatan Anggaran Pasca Efisiensi
Lebih lanjut, Chandra menyampaikan, sisa anggaran APBN yang tak terdampak efisiensi salah satu sasaran utamanya tetap untuk percepatan pertumbuhan ekonomi.
Di 2025, pemerintah mengelola fiskal sisa tahun anggaran akan difokuskan pada pertahanan semesta, percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan pengentasan kemiskinan, swasembada pangan, energi, dan air, serta pendidikan dan kesehatan.
"Strategi tersebut tentu didukung oleh pengelolaan fiskal yang adaptif terhadap situasi global dan nasional, pemusatan kapasitas fiskal untuk belanja prioritas, serta identifikasi dan penghentian belaja pemerintah tidak esensial, tidak berdampak, dan bocor,” papar Chandra.
Bahkan, ia menegaskan, efisiensi anggaran yang diatur sesuai Inpres 1/2025 sifatnya adalah realokasi anggaran kepada kegiatan yang lebih bernilai tambah atau produktivitas tinggi. Bukan bersifat pemotongan anggaran.
Hasil efisiensi anggaran tersebut, sesuai arahan presiden, akan dialokasikan untuk menambah anggaran MBG serta menambah dana atau aset kelola Danantara sebagai program investasi. Hitungan Bappenas, kedua program 'jumbo' tersebut mampu menambah pertumbuhan ekonomi cukup signifikan.
Misalnya, pada MBG, diperkirakan akan ada potensi peningkatan konsumsi rumah tangga berupa barang atau jasa lain seperti penyediaan akomodasi dan makan minum melalui jasa katering, seiring berkurangnya tanggungan orang tua untuk membelikan makanan, karena telah disediakan pemerintah.
Lalu pada pengelolaan dana/aset Danantara, diperkirakan berpotensi adanya peningkatan investasi, terutama yang diarahkan ke sektor-sektor berdampak besar pada perekonomian.
“Potensi peningkatan dua komponen terbesar dalam perekonomian yakni konsumsi rumah tangga dan PMTB/investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025,” sambungnya.
Chandra pun menyampaikan, pihaknya masih terus menghitung pelemahan kontribusi sejumlah sektor ekonomi pasca efisiensi anggaran. Namun yang diperkirakan bakal terpengaruh signifikan adalah sektor perhotelan dan konstruksi. Anggaran di sektor konstruksi akan direalokasi melalui pembangunan dapur umum untuk kebutuhan penyediaan MBG.
Upaya Menjaga Daya Beli Masyarakat
Menurut Chandra, beberapa program telah memperhitungkan peningkatan daya beli dan efek domino lainnya. Pertama, MBG diproyeksikan akan memberikan tambahan pertumbuhan ekonomi hingga 0,86% bps terhadap baseline, dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 1,5 juta orang.
”Program MBG pada 2025 menargetkan 82,9 juta orang dengan difasilitasi oleh 30 ribu unit dapur, dengan asumsi ada tambahan Rp100 triliun ke program MBG,” ucap Chandra.
Kedua, optimalisasi pengelolaan BUMN melalui Danantara, dengan nilai aset yang besar di kisaran Rp14 ribu triliun akan memberikan investasi yang tinggi.
Ketiga, program kredit investasi padat karya. Keempat, program 3 juta rumah. Kelima, kebijakan fiskal dan moneter yang pro-growth dan pro-stability. Keenam, deregulasi peraturan pusat dan daerah untuk mempercepat perizinan.
Soal inflasi, Chandra mengaku sudah diantisipasi. Bappenas bekerja sama dengan K/L lain dalam mengendalikan inflasi nasional melalui Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN) melalui implementasi kebijakan 4K (Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi Efektif).
Lalu, untuk menjaga daya beli pasca efisiensi anggaran, ada pemberian subsidi energi, pemberian bantuan sosial berupa BLT dan PKH, dan pemberian insentif bagi pelaku UMKM. Lantas, ada pula pemberian bantuan usaha, mempermudah akses pembiayaan melalui Pembiayaan UMi dan KUR, penyediaan hunian terjangkau, serta peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan.
Semuanya diyakini kian mempertebal rasa percaya diri pemerintah. Efisensi anggaran takkan berdampak negatif. Semoga!