c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

08 Mei 2021

17:18 WIB

Rekreasi: Kompromi Pada Masa Pandemi

Larangan mudik dianggap kontradiktif dengan pembukaan objek wisata, pemerintah berdalih aturan tersebut demi menjaga laju perekonomian sekaligus penahan laju kasus positif covid

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,Khairul Kahfi,

Editor: Nadya Kurnia

Rekreasi: Kompromi Pada Masa Pandemi
Rekreasi: Kompromi Pada Masa Pandemi
Wisatawan mengunjungi objek wisata Ke'te Kesu di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Spedy Paereng

JAKARTA – Larangan mudik Hari Raya Idulfitri 2021 yang resmi diberlakukan mulai 6–17 Mei menuai kontroversi yang seolah tak berkesudahan. Perdebatan yang mengemuka, tak lagi soal kepentingan ekonomi atau kesehatan yang harus diutamakan. Namun, seberapa efektif larangan mudik bisa mencapai tujuan, terkendalinya penyebaran kasus covid-19.

Publik pun terpaksa dibuat bingung dengan kebijakan yang paradoksal. Ketika mudik dilarang, lokasi wisata justru dibuka. Memang sih, katanya lokasi wisata tersebut hanya diperuntukkan buat orang-orang lokal di daerah tersebut.

Akan tetapi, apakah ada yang memastikan kerumunan yang tercipta benar-benar bebas dari covid-19?

Toh, sampai kini pun salat di masjid yang isinya orang-orang lokal pun masih diharuskan menjaga jarak. Bagaimana mungkin di lokasi wisata yang berpotensi dikunjungi lebih banyak orang, prinsip menjaga jarak bisa diterapkan?

Hal yang membuat publik makin bertanya-tanya adalah, ketika pergerakan antarprovinsi diperketat, akses transportasi internasional dari negara lain justru masih dibuka. Masih ingat soal datangnya ratusan warga negara India yang setelah diperiksa 49 di antaranya positif mengidap covid-19? Begitu juga dengan kabar sekian banyak warga negara China yang datang ke Indonesia.

Hampir setahun berlalu sejak lebaran tahun 2020 lalu, nyatanya memang relatif tak banyak perubahan kebijakan yang terjadi. Pelarangan mudik dan diperbolehkannya wisata lokal sudah dilakukan tahun lalu. Lihat saja, satgas menyebutkan, pada liburan Idulfitri pada tanggal 22–25 Mei 2020 terjadi kenaikan jumlah kasus harian dan kumulatif mingguan sekitar 69% sampai 93%. Kenaikan tersebut dihitung sejak hari libur lebaran dengan rentang waktu 10–14 hari.

Apa boleh dikata. Saat ditanya lebih jauh, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy hanya menjelaskan, kegiatan berwisata dibolehkan, namun hanya untuk wisata lokal saja.

“Ya, kalau orang tidak boleh pergi ke mana-mana, ya dibukalah wisata lokalnya agar dia bisa pergi ke tempat-tempat liburan tapi dengan kepatuhan yang terkendali, itu sebetulnya yang dimaksud,” katanya dalam webinar Ngobras BPKN: Untung Rugi Mudik di Tengah Pandemi, Jakarta, Selasa (20/4).

Ia juga berdalih, tempat wisata sengaja dibuka juga bertujuan agar roda ekonomi tetap berjalan. Menurut Muhadjir, saat ini tren daya beli dan indikator perekonomian sedang membaik. Nah, pemerintah berupaya mencari titik tengah untuk menjembatani penanggulangan pandemi covid-19 dan di saat yang bersamaan juga mempertahankan perputaran roda perekonomian.

“Tapi ketika covid ini bisa dikendalikan sebaliknya ekonomi juga tumbuh, seandainya tumbuhnya tidak terlalu optimal juga enggak apa-apa, yang penting jangan sampai defisit, yaitu malah ikut menaikan jumlah covid,” ujarnya.

Tak Sekadar Ekonomi
Dalih itu didukung oleh Juru Bicara Satuan Tugas atau Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito yang belum lama ini meminta kawasan wisata yang buka saat lebaran menerapkan protokol kesehatan, demi mencegah kawasan wisata menjadi klaster covid-19.

“Jadi tempat wisata yang buka saat Hari Idulfitri, diwajibkan memberlakukan protokol kesehatan yang ketat,” katanya dalam Keterangan Pers Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Jakarta, Kamis (6/5).

Ia juga mengingatkan, pengelola kawasan wisata harus mengatur jam operasional dan membatasi jumlah pengunjung agar tak terjadi kerumunan. Selain itu, satgas di daerah juga akan mengawasi dan mengambil tindakan tegas apabila ditemukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan.

Pemerintah resmi melarang mudik lebaran untuk mencegah penyebaran covid-19. Namun, tempat wisata tet ap dibuka. Alasannya, agar roda ekonomi tetap berputar.

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti kepada Validnews di Jakarta, Jumat (7/5) menambahkan, pembukaan tempat wisata saat pelarangan mudik lebaran, sejatinya tak semata-mata untuk menggairahkan perekonomian lokal saja. Namun, untuk mencegah masyarakat berlibur ke luar kota.

“Sebenarnya yang kita kejar bukan semata-mata dampak ekonomi. Tetapi lebih pada memberikan alternatif tempat hiburan untuk masyarakat agar mereka tidak berlibur ke luar kota,” serunya.

Ia menjelaskan, kebijakan yang diambil saat ini merupakan resultan dari berbagai pertimbangan. termasuk asumsi, pengelolaan pergerakan penduduk dan risiko yang menyertainya dapat dilakukan per wilayah.

“Kebijakan ini merupakan kompromi yang diharapkan untuk bisa dikelola lebih baik, dan sekaligus menyeimbangkan misi antara pengendalian penyebaran virus covid-19 dan pemulihan ekonomi yang harus berjalan seimbang, meskipun saat ini baru bisa dilakukan untuk masing-masing wilayah,” jelas Amalia.

Ia menegaskan, saat ini prioritas utama pemerintah tetaplah pada pengendalian penyebaran virus covid-19. Ia bilang, kebijakan yang diambil pemerintah didukung melalui program vaksinasi. Ia yakini, dengan segera menekan tingkat penyebaran virus, secara otomatis ekonomi dapat segera pulih.

Kendati lokasi wisata dibuka, ia pun meminta lokasi-lokasi wisata, hotel, kafe, dan restoran juga diimbau tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Di antaranya dengan menerapkan cleanliness (kebersihan), health (kesehatan), safety (keamanan), dan environment sustainability (kelestarian lingkungan) alias CHSE.

“Dengan adanya larangan mudik, namun disertai kesempatan bagi masyarakat untuk berwisata secara lokal dengan protokol yang terkelola lebih baik di setiap wilayah, setidaknya sektor pariwisata di wilayah tersebut dapat terbantu dan menerima manfaat perputaran ekonomi dari wisatawan lokal. Walaupun tentunya masih dalam skala ekonomi yang terbatas,” ucap Amalia.

Belum Menggantikan
Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata atau Asita sendiri memahami alasan pelarangan mudik yang dilakukan pemerintah. Meski demikian, tidak dilarangnya kegiatan wisata lokal saat lebaran disebut bukanlah hal yang mengejutkan.

Ketua Umum DPP Asita Budijanto Ardiansjah mengatakan, saran-saran untuk tempat wisata lokal tetap dibuka sudah lama dilontarkan. Ia menyebutkan kegiatan itu dengan roadtrip.

“Sudah mulai Agustus–September 2020 sudah dilakukan masyarakat, jadi enggak ada yang baru di situ,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Senin (3/5).

Menurutnya, larangan mudik lebaran merupakan hal yang positif. Untuk itu, ia juga meminta masyarakat mematuhi aturan tersebut dan tetap menjaga protokol kesehatan di tempat-tempat wisata.

Dengan laju kasus covid-19 yang landai dan ketiadaan klaster baru, diharapkan pemerintah dapat menetapkan langkah baru, misalnya, membuka pembatasan atau bahkan sekadar merelaksasi pembatasan perjalanan.

“Cuma ini mudah-mudahan menjadi yang terakhir, supaya ke depan enggak ada larangan-larangan lagi. Karena memang pariwisata terutama biro perjalanan wisata sudah lumpuh total dan memang harus sudah dibangkitkan lagi, kasihan sudah banyak yang kelaparan,” tutur Budijanto.

Apa yang disebutkan Budijanto memang benar. Saat ini, sektor biro perjalanan wisata masih belum ada pergerakan. Lain hal dengan sektor hotel, restoran, dan kafe serta destinasi wisata yang sebagian sudah bisa menghela napas. Walau belum benar-benar lega.

Sebagian restoran dan destinasi wisata telah mengalap rezeki dari roadtrip yang dilakukan perorangan. Untuk jenis wisata ini pun terbilang mudah; tidak memerlukan jasa biro perjalanan ataupun jasa pemandu wisata.

“Kalau roadtrip itu orang jarang menggunakan jasa biro perjalanan wisata atau guide transportasi wisata, tapi mereka masih kadang-kadang menginap di hotel atau makan di restoran pasti, dan masuk ke destinasi wisata,” ungkap Budijanto.

Senada, Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia atau Apkrindo memandang pembukaan tempat wisata belum bisa menyelamatkan bisnis hotel dan restoran dan keterpurukan. Akan tetapi, setidaknya dapat membuat keadaan bisnis lebih baik.

Meski tidak terpengaruh langsung dengan aturan tidak ditutupnya tempat wisata, namun Apkrindo menyatakan tetap mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah.

“Iya bagus, berart kan pemerintah memperhatikan seluruh sektor,” kata Ketua Umum Apkrindo Eddy Sutanto saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Jumat (7/5).

Menurutnya, pembatasan pengunjung sebesar 50%, masih belum bisa mengembalikan omzet seperti sediakala. Dalam catatan Apkrindo, keadaan bisnis sempat terjun bebas sampai dengan 75% pada tahun lalu.

Artinya, tahun lalu pengusaha kafe dan restoran hanya berhasil mengumpulkan pendapatan 25% dari kondisi normal. Padahal, jika musim libur lebaran tiba, omzet dapat meningkat 25–30% dari kondisi normal.

Kebijakan vaksinasi pemerintah memang sedikit membantu menaikan omzet bisnis. Saat ini, masyarakat disebut lebih nyaman untuk datang ke kafe dan restoran, tentu dengan protokol kesehatan yang ketat.

Pada musim libur lebaran kali ini, di tengah pelarangan mudik dan pembukaan tempat wisata penurunan omzet diproyeksi mencapai 30–40% saja. Ya, jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

“Lumayan membaik lah itu sekarang. Karena pemerintah juga sudah kerja keras dengan pemberian vaksin,” ujar Eddy.

Tergantung Daerah
Kebijakan pemerintah melarang mudik juga diprediksi akan membuat masyarakat mencari alternatif dengan makan di restoran, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Sementara, di luar DKI Jakarta juga diprediksi tidak sepi-sepi amat.

“Karena kan banyak yang pulang ratusan ribu, dari sebelum dilarang, dan itu kan mereka bawa duit,” sambungnya.

Di sisi lain, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI menyatakan kebijakan pemerintah meniadakan mudik lebaran dan membuka tempat wisata akan tergantung pada daerah masing-masing. Sekjen PHRI Maulana Yusran mencontohkan, di Bali jika destinasi wisata dibuka, tetap saja tidak ada orang yang melakukan pelesiran.

“Hotelnya mau dibuat staycation, orang Bali enggak ada yang mau menginap hotel, menurut mereka ngapain staycation? Jadi kita bisa lihat di situ,” katanya saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Jumat (7/5).

Berbeda dengan DKI Jakarta, menurut Maulana, akan ada tempat-tempat yang mungkin terdampak positif begitu objek wisata dibuka. Dengan banyaknya penduduk pendatang dan posisi tingkat ekonomi yang jauh lebih baik dari daerah, ibu kota negara bisa dimanfaatkan untuk staycation. Pelarangan mudik lokal pun juga dianggap akan membuat masyarakat lebih memilih staycation di hotel.

“Itu yang kita proyeksikan, nanti pada saat lebaran karena ada larangan mudik, di DKI dengan banyaknya inovasi-inovasi pengusaha, bisa berpotensi meningkatkan okupansi-okupansi. Karena kan lebaran nanti ada 2-3 malam yang bisa dikatakan masih libur. Itu satu hal,” ujarnya.

Sementara itu, restoran pun dianggap sebagai satu destinasi lain. Karena letaknya yang berada di mal, Maulana mengatakan restoran dan mal akan menjadi target kunjungan masyarakat.

“Nah, mall bisa jadi target juga sebagai satu destinasi untuk mereka window shopping, kuliner, dan lain-lain. Nanti bisa hiduplah sektor itu juga, untuk daerah tertentu, ya. Tapi enggak semua daerah,” katanya.

Tidak Optimal
Akan tetapi, bagi Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Tauhid Ahmad, perputaran ekonomi yang tercipta dari pembukaan tempat wisata saat lebaran nanti tidak akan besar. Pasalnya kondisi belum memungkinkan untuk bepergian.

“Bagi tingkat lokal mungkin ada, tapi tidak terlalu besar. karena kita harus membatasi, kita harus jaga protokol kesehatan, dan sebagainya,” kata Indef kepada Validnews di Jakarta, Kamis (6/5).

Tauhid meramal pembukaan wisata tidak akan berdampak maksimal ke dunia usaha. Ia memprediksikan, tidak akan sampai 50% tingkat optimal dari pembukaan wisata nanti. Ia menyebutkan, pengeluaran uang masyarakat yang melakukan pelesiran lebih besar dibandingkan masyarakat yang melakukan wisata di dalam kota.

“Ya, tidak akan bisa optimal. Pasti kecil, 50% itu saja belum bagus. Ini turun drastis, 30% rata-rata, 20%, bahkan sepi sama sekali, itu kelihatan,” tuturnya.

Ia melihat, kecenderungan masyarakat kelas menengah ke atas masih akan menahan konsumsinya, pun dalam berwisata. Masyarakat “berkantong tebal” ini disebut masih akan sulit untuk bepergian dengan kasus covid yang masih meningkat.

Hal tersebut terlihat dari tingkat penghunian kamar alias TPK hotel klasifikasi bintang di Indonesia. Pada Maret 2021 tercatat mencapai rata-rata 36,07% atau hanya meningkat 3,83 poin dibandingkan dengan TPK bulan yang sama 2020 yang tercatat sebesar 32,24%. Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, Februari 2021, TPK Maret 2021 mengalami kenaikan sebesar 3,67 poin.

Adapun rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel klasifikasi bintang selama Maret 2021 tercatat sebesar 1,65 hari, atau terjadi penurunan sebesar 0,18 poin jika dibandingkan dengan keadaan Maret 2020.

“Masih butuh waktu lama. Justru sektor pariwisata merupakan sektor yang pemulihannya jauh lebih lama dibandingkan sektor-sektor lainnya karena sensitif terhadap isu pandemi,” ujar Tauhid.

Ia menambahkan jika sekarang pariwisata dibuka, tetapi tidak ada arus liburan, peluang orang untuk melakukan perjalanan lebih sedikit. Di sisi lain jika ditambah waktu liburan, tempat wisata dibuka saat hari raya, peluangnya akan makin besar, namun dengan risiko penambahan kasus covid-19.

Selaras, Pengamat Pariwisata Universitas Jenderal Soedirman Chusmeru menambahkan, perputaran uang di sektor pariwisata akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain karena pembatasan sosial masih berlaku, masyarakat juga dinilai masih mendahulukan kebutuhan primernya di masa pandemi.

“Dengan demikian pengeluaran untuk kebutuhan pemanfaatan waktu luang dan rekreasi akan ditunda terkait kondisi finansial,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Jumat (7/5).

Chusmeru menilai, pembukaan pariwisata lokal tentu saja belum dapat mengembalikan keterpurukan pengusaha industri pariwisata di daerah setelah dihantam pandemi lebih dari satu tahun.

Apalagi, pembukaan sektor pariwisata daerah harus dibarengi dengan beberapa kebijakan yang diterapkan masing-masing daerah yang tidak sama. Misalnya, ada objek wisata yang menerapkan protokol kesehatan sangat ketat, seperti wajib menunjukkan hasil tes PCR negatif, atau memasang kuota pengunjung.

Dari sisi pengendalian penularan covid-19, kebijakan seperti ini dinilai memang bagus. Dari sisi ekonomi pendapatan objek wisata, tentu saja kurang menggembirakan.

Apalagi sambungnya, biaya operasional objek wisata yang cukup tinggi tentu tidak teratasi dengan adanya kuota atau pembatasan kapasitas pengunjung. Meski demikian, pembukaan objek wisata di daerah dapat memperpanjang napas pengelolanya.

“Paling tidak untuk biaya perawatan objek wisata. Selain itu, pembukaan objek wisata lokal juga dapat mempertahankan loyalitas wisatawan pada objek wisata di daerah,” ujar Chusmeru. (Rheza Alfian, Khairul Kahfi, Yoseph Khrisna, Zsasya Senorita, Fitriana Monica Sari)

 


 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar