27 September 2025
18:00 WIB
Prospek Mengigit Di Bisnis Layanan Kesehatan Gigi
Ceruk bisnis layanan kesehatan gigi RI terbuka lebar. Beragam praktik dokter gigi mandiri hingga klinik bermunculan saling bersaing, terdorong kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penampilan.
Penulis: Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita, Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Dokter gigi memeriksa kondisi gigi seorang pasien dalam kegiatan Bulan Kesehatan Gigi Nasional 2025 di Fakultas Kedokteran Universitas Moestopo, Jakarta (23/9/2025). Validnews/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Pembahasan bisnis di Indonesia nampaknya tak akan ada habisnya. Bicara soal pasar, per Juni 2025 saja, BPS mendata tanah air sudah dihuni 284,43 juta orang. Di bidang kesehatan, kejadian pandemi covid-19 barangkali jadi pemicu perbaikan gaya hidup masyarakat hari ini.
Namun dari semua penyakit yang menghinggapi tubuh, persoalan mulut dan gigi biasanya cenderung diabaikan. Buktinya, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Kemenkes 2023 menunjukkan, ada sekitar 56,9% penduduk Indonesia di atas 3 tahun dominan mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, seperti karies, gigi berlubang, gigi tanggal, hingga radang gusi.
Buat gambaran mudah, berdasarkan data-data di atas, ada sebanyak 161,84 juta orang yang saat ini punya masalah mulut-gigi di tanah air. Mungkin anda salah satunya? Meski begitu, kondisi ini bisa sedikit dipahami, WHO menyatakan biaya perawatan kesehatan gigi Indonesia di 2023 hanya kalah dari Singapura yang mencapai US$1.160 atau Rp19,37 juta (kurs Rp16.703 per dolar AS).
“Beban keuangan negara akan meningkat tiap tahunnya. Selain karena biaya perawatan gigi yang tinggi, biaya kehilangan akibat hilangnya produktivitas kerja sehingga bisa diperkirakan kerugian perekonomian negara sangat luar biasa bila tidak ditangani sejak dini,” tulis laporan WHO, dikutip Jumat (26/9).
Baca Juga: Kesehatan Rakyat Tergerus Persoalan Gigi
Bukan bermaksud menakuti, nampaknya penyakit di sekitar mulut-gigi harus mulai dipantau serius oleh masyarakat sedini mungkin. Pasalnya, infeksi dan peradangan gigi yang diabaikan dapat memicu masalah kesehatan serius, termasuk penyakit jantung, stroke, diabetes, komplikasi kehamilan seperti bayi lahir prematur atau berat rendah, hingga kanker mulut.
Sejumlah siswa sekolah dasar menggosok gigi bersama dalam rangka peringatan Bulan Kesehatan Gigi Nas ional 2025 di Fakultas Kedokteran Universitas Moestopo, Jakarta (23/9/2025). Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran anak-anak akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sejak dini. Validnews/Hasta AdhistraBalik lagi soal bisnis, kondisi tersebut merupakan calon pasar yang seksi untuk bisa digarap klinik gigi dan semacamnya. Potensinya membesar lantaran masyarakat yang mencari pengobatan sakit mulut-gigi baru mencapai 11,2% dari total penduduk di atas 3 tahun yang 'divonis' punya masalah kesehatan 'pintu tubuh' ini.
Insight10 memperkirakan, pangsa pasar perawatan gigi 2022 di Indonesia sudah mencapai US$215,28 juta. Capaian ini diproyeksi terus meningkat secara tahunan sebesar 6,4% (CAGR) sepanjang 2022-2030 dan mencapai US$353,62 juta di 2030.
Sementara itu, Ken Research di 2023 melaporkan, pertumbuhan pendapatan pasar layanan kesehatan gigi di Indonesia 2018-2021 sebesar 11,3% (CAGR), diikuti potensi pendapatan klinik gigi untuk layanan kesehatan gigi sebesar 11,8% (CAGR) di periode yang sama.
Peluang Bisnis Klinik Gigi Masih Menganga
Ngomong-ngomong soal peluang bisnis, hal ini diamini salah satu dokter gigi yang bekerja di sebuah klinik gigi di Jakarta, Ainna. Menurutnya, bisnis klinik gigi saat ini mengalami perkembangan pesat.
“Kalau untuk di Jakarta saja, menurut saya sudah ada ribuan klinik gigi yang biasanya lokasinya sangat berdekatan. Jadi memang untuk pertumbuhan klinik gigi di Indonesia sangat signifikan, terutama di kota besar,” tutur Ainna kepada Validnews, Selasa (23/9).
Testimoni serupa pun diutarakan oleh Mohammad Mutawalli Makhbubi, dokter gigi yang membuka praktik mandiri Cheers Dental Care di Tegal, Jawa Tengah. Meski baru menampaki bisnis ini setahun belakangan, Makhbubi tak meragukan peluang pasar yang ada.
Bahkan, dirinya mengaku tak gentar berkompetisi dengan puluhan unit praktik serupa seantero Tegal, yang bahkan beberapa di antaranya sudah berusia lebih dari 10 tahun. Belum lagi dua unit klinik gigi yang sudah lebih dahulu mejeng beroperasi.
“Data SKI 2023 itu menunjukkan hanya 11,2% orang bermasalah gigi yang mencari pengobatan. Jadi ruang untuk berkembangnya masih sangat besar menurut saya untuk jasa praktik dokter gigi ini. Makanya saya putuskan untuk buka praktik mandiri,” ucap Makhbubi saat bebincang dengan Validnews, Jumat (26/9).
Baca Juga: Dilema Tukang Gigi; Antara Batasan Kerja Dan Kebutuhan Masyarakat
Buat awam, dia menjelaskan, praktik mandiri dokter gigi berbeda dari klinik gigi. Umumnya, praktik mandiri dokter gigi hanya dijalankan 1-2 dokter dengan izin praktik pribadi, tergantung aturan masing-masing daerah sesuai lokasi praktik.
Sedangkan klinik gigi merupakan layanan kesehatan gigi yang lebih besar, terdiri dari praktik dokter gigi umum serta dokter gigi spesialis ortodontik dengan izin operasional sebagai fasilitas kesehatan.
Makhbubi memperkirakan, rata-rata pasien yang datang memeriksakan gigi di praktiknya berkisar 250-300 orang/bulan. Artinya, jumlah cakupan praktik pemeriksaannya saja masih di bawah 1% dari total penduduk Kabupaten Tegal yang mencapai 1,43 juta jiwa, atau hanya sekitar 0,017-0,021% dari total penduduk setiap bulannya.
Setali tiga uang, optimisme yang sama juga dirasakan Oni yang membuka praktik di drg. Oni Dental Clinic, Depok, Jawa Barat sejak 2022 yang menyampaikan pertumbuhan bisnis sekitar 30%-an. Oni menilai, prospek bisnis klinik gigi masih potensial ke depan, sejalan dengan masyarakat yang makin sadar pada kesehatan gigi dan mulut.
Dirinya pun bersyukur, area klinik praktiknya masuk dalam cakupan masyarakat Jabodetabek yang dinilai punya kesadaran kesehatan yang sedang naik drastis. “Sudah mulai banyak yang peduli dengan kesehatan gigi dan mulut. Sudah banyak yang bawa anaknya periksa gigi sedari kecil,” tutur Oni kepada Validnews, Kamis (25/9).
Tren Perawatan dan Kualitas Pelayanan
Hasil Cek Kesehatan Gratis (CKG) Kemenkes 2025 menunjukkan, ada sebanyak 31% balita dan anak prasekolah peserta mengalami masalah gigi; siswa Sekolah Rakyat yang punya masalah gigi tembus 49%; orang dewasa yang mengalami masalah gigi sekitar 45,7%; dan lansia yang punya masalah gigi mencapai 64%.
Pada pengecekan tersebut, umumnya masalah gigi berupa gigi berlubang, gigi goyang, gigi hilang, hingga penyakit periodontal yang menyerang jaringan penyangga gigi seperti gusi.
Penuturan Ainna, pasien di kliniknya sampai saat ini lebih banyak memilih perawatan-pembersihan karang gigi (scaling). Langkah ini diyakini efektif membersihkan gigi dan mulut sebelum berbagai penyakit bermunculan akibat penumpukan karang gigi.
Ainna meyakini, meningkatnya kesadaran masyarakat menjaga kesehatan mulut-gigi didukung peran medsos yang masif, infrastruktur yang mempermudah akses layanan kesehatan, serta variasi pilhan jasa layanan kesehatan gigi terkemuka di kota besar seperti Jakarta. Sayangnya hal ini belum terjadi di kota lain yang cukup terpencil atau kota kecil lainnya.
Baca Juga: Perawatan Sejak Dini Untuk Gigi Sehat, Mengapa Penting?
Sedikit berbeda, pasien Makhbubi lebih sering melakukan tindakan scaling, penambalan gigi atau perawatan saluran akar, dan dan cabut gigi. Bisnis praktik giginya moncer berkat ulasan langsung pasien reguler serta pengalaman pasien di dokter lain. Peran media sosial cenderung masih minim.
Tak jarang, pasien yang berkunjung kembali lantaran kapok dengan perawatan gigi yang jauh lebih murah di tempat lain, yang harus kompromi dengan kualitas pelayanan.
“Jadi yang datang ke sini akhirnya lebih mengutamakan kualitas. (Pasien) datang, langsung dilayani, enggak perlu antre lebih lama, kalau ada pertanyaan langsung dijawab. Jadi walaupun ada yang harga murah, pada akhirnya kualitas yang akan membentuk pasar,” sebut Makhbubi.
Untuk biaya pengobatan, biaya dipatok dari Rp50.000 untuk sekali konsultasi hingga Rp4 juta untuk tindakan restorasi mahkota atau crown gigi.
Cocok-cocokan Perawatan Gigi
Kepada Validnews, Ayu Rachma (27) bersedia menceritakan pengalamannya memasang kawat gigi alias behel dan perangkat ortodontik lantaran gigi gingsulnya membuat tak nyaman. Pada 2018, dia memilih salah satu klinik gigi kenamaan setelah sempat membandingkan biaya-layanan seabrek klinik.
“Pilih klinik ini karena rekomendasi teman. Awalnya mau ke puskesmas atau klinik biasa, tapi tidak meyakinkan. Jadi saya pilih klinik yang saya pakai,” cerita Ayu, Jumat (26/9).
Untuk pemasangan behel gigi bagian atas-bawah, Ayu mesti merogoh kocek sekitar Rp4,5 juta dari harga asli sebelum promo Rp7 juta. Adapun, dia mesti mengeluarkan biaya sekitar Rp3,5 juta untuk melepas behel setelah 4 tahun konsisten pemakaian.
Selama itu pula, Ayu rela membayar biaya sekitar Rp250-500 ribu untuk sekadar mengganti breket yang lepas atau kawat gigi. “Rata-rata dari November 2018-Januari 2023 periksa tiap bulannya Rp500 ribu, kecuali tahun 2020 karena covid-19 jadi tidak perawatan. Untuk ketentuan ganti bracket dan kawat tergantung dokternya,” jelas dia
Baca Juga: Sering Dianggap Sepele, Ini Dampak Biarkan Gigi Ompong
Jika dihitung-hitung, Ayu mengeluarkan total dana sekitar Rp26 juta selama 4 tahun untuk merapikan 'si gingsul'. Tak cuma itu, dia juga cukup rajin scaling gigi per enam bulan sekali sampai sekarang. Jika diingat-ingat Ayu tidak menyesal sama sekali dan merasa puas dengan hasil dan pelayanan klinik gigi pilihannya.
Cerita berbeda dialami Euis Lestasi (26), pasien gigi di Bekasi yang malah beralih ke praktik dokter gigi mandiri dari yang sebelumnya menjalani perawatan di klinik gigi yang sama dengan Ayu. Perpindahannya dikarenakan ketidakcocokan perawatan dan biaya yang membengkak. Serba-serbi perawatan giginya pun dimulai sejak 2016 di tukang gigi
“Dulu saat perawatan di klinik gigi, saya heran kenapa setiap bulan harus ganti bracket atau kawat. Entah ini permainan kliniknya atau gimana. Kalau lemnya kuat, kan enggak mungkin goyang. Eh giliran pindah praktik ke dokter gigi yang pribadi justru jarang banget lepas,” keluh Euis kepada Validnews, Jumat (26/9).
Dia pun merasa perawatan gigi di dokter gigi mandiri jauh lebih hemat dengan perapihan gigi yang lebih cepat. “Selama ini full pakai dana pribadi tanpa BPJS, dan akan lepas behel di akhir tahun ini karena sudah rapi,” imbuhnya.
Meski tak ingat jelas total biaya yang Euis keluarkan, dia menegaskan bahwa perawatan gigi di klinik ternama tak melulu akan memberikan hasil yang sama baiknya. Bahkan Rp32 juta lebih dana yang dikeluarkan di klinik gigi ternama tersebut, hasilnya belum bisa sebaik di praktik mandiri dokter gigi.
Infrastruktur Perawatan Gigi Indonesia
Oni pun tak menampik ketatnya kompetisi bisnis gigi di Jabodetabek. “Di sini bisa saja jarak antar klinik hanya 200 meter. Banyak klinik baru membuat pasien makin memiliki banyak pilihan,” ungkap Oni.
Oni memutar otak mempromosikan klinik miliknya melalui media sosial, dan menawarkan berbagai layanan yang berbeda dari klinik lain. Di sisi lain, perlu biaya operasional yang cukup besar untuk menjalankan klinik gigi dengan fasilitas dan peralatan yang modern sehingga bisa memberikan layanan berkualitas.
Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Usman Sumantri mengungkapkan, infrastrtuktur dan petugas medis di Indonesia membuat pertumbuhan klinik maupun praktik mandiri dokter gigi masih timpang dan cenderung terpusat di wilayah tertentu, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan kota besar lainnya.
Saat ini, Indonesia mempunyai 53-54 ribu orang dokter gigi se-Indonesia. Sayangnya, dari jumlah ini, hanya ada sekitar 5.300 orang yang mempunyai gelar dokter spesialis gigi, sisanya dokter umum.
“Apalagi dokter spesialis yang hanya 5.300 orang itu harus melayani 280 juta lebih warga Indonesia. Maka dokter gigi yang memiliki Surat Izin Praktik (SIP) juga belum terdistribusi dengan baik, hanya ada di kota-kota besar, persebaran belum merata,” jelas Usman saat dihubungi Validnews, Sabtu (27/9).
Usman juga melihat prospek atau peluang bisnis layanan kesehatan gigi di Indonesia masih besar dan menjanjikan, mengingat jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang luas.
Baca Juga: Hal Yang Harus Diperhatikan Sebelum Lakukan Implan Gigi
Hitungan Usman, rerata besaran investasi klinik gigi di Indonesia dengan standar alat modern dan lengkap memerlukan biaya sekitar Rp2-3 miliar/unit.
Besar kecilnya modal tersebut menurut bergantung dari kecanggihan alat praktik, mulai dari CT SCAN, Cone Beam Computed Tomography (CBCT), Computer-Aided Design (CAD), Panoramic X-Ray, dan masih banyak lagi. Sudah tentu semakin canggih alat, semakin besar juga modal investasinya.
Sejumlah pelajar yang sedang menunggu giliran pemeriksaan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Univers itas Moestopo, Jakarta (23/09/2025). Kegiatan Bulan Kesehatan Gigi Nasional (BKGN) ini mengusung tema 'Senyum Sehat, Tanpa Cemas dan Tanpa Ribet' dengan target pasien (Pedodonsia) atau anak-anak di targetkan kurang lebih 100 anak dan pasien Dewasa di targetkan 1000 pasien. Validnews/Hasta AdhistraSementara pembangunan klinik atau praktik mandiri dokter gigi standar berkisar Rp300 juta ke bawah. Estimasi ini sesuai dengan penuturan Makhbubi yang mengungkap modal pembukaan tempat praktiknya di Kabupaten Tegal tak mencapai Rp100 juta, yang bisa saja lebih hemat bila didirikan di atas tanah dan bangunan milik sendiri.
Bicara soal alat, dia menyoroti kebutuhan alat dan bahan praktik dokter gigi RI masih cukup mahal karena mesti diimpor dari Jepang, Jerman, Eropa, AS, hingga Pakistan. Kondisi ini bisa makin berat manakala ketika rupiah ambrol di hadapan dolar AS.
“Hampir semuanya alat dan bahan praktik itu impor dari luar negeri. Jadi untuk biaya ini naiknya signifikan. Misalnya saja di tahun lalu contoh ada bahan yag harganya per unit sekitar Rp900 ribu, sekarang sudah Rp1,1 juta,” keluh Makhbubi.
Modal Mahal, Biaya Perawatan Mahal
Dengan kondisi itu, PDGI tidak menyalahkan calon pasien yang kerap keberatan atas besarnya biaya perawatan kesehatan gigi dan mulut di Nusantara.
Oleh karena itu, Usman membeberkan model bisnis di klinik gigi maupun praktik mandiri didominasi melalui kerja sama dengan asuransi swasta. Apalagi, penawaran layanan kesehatan gigi di klinik dan praktik mandiri juga kebanyakan untuk estetika daripada kebutuhan dasar kesehatan.
“BPJS kesehatan itu untuk mengover pelayanan kesehatan gigi dasar (mengembalikan fungsi kunyah gigi), sementara orthodonti (kawat gigi/behel) tidak. Tapi kalau asuransi (swasta) memang untuk kebutuhan dasar estetik. Dan model-model seperti ini yang sekarang mulai berkembang bagus di klinik. Karena klinik tanpa asuransi juga repot,” jelas Usman.
Baca Juga: Selisik Manfaat Estetik Dan Kesehatan Dari Gigi Palsu
Lebih lanjut terkait tenaga medis yang masih belum merata dan minim, Usman pun mengungkap bahwa peminat profesi dokter gigi masih rendah di Indonesia. Bilapun ada, para dokter akan lebih memilih membuka klinik atau praktik di wilayah yang ramai calon pasien.
Oleh karena itu, PDGI mendukung upaya pemerintah yang gencar membuka banyak fakultas kedokteran gigi, seperti di Jawa Timur, Ambon, Palopo, dan Medan. Pihaknya berharap, hal ini bisa makin meningkatkan persebaran dokter gigi ke seluruh wilayah. Bahkan dia turut menyinggung potensi pasar layanan kesehatan gigi RI yang membesar, seiring arah pemerintah menuju wisata kesehatan gigi (dental tourism), terutama di Bali.