c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

07 September 2022

11:48 WIB

Presiden: Ekonomi Bisa Jeblok -17% Jika Terapkan Lockdown

Awal pandemi, ada hampir 70 negara yang melakukan lockdown. Di sisi internal, 80% kabinet juga meminta pemerintah untuk melakukan karantina wilayah.

Editor: Fin Harini

Presiden: Ekonomi Bisa Jeblok -17% Jika Terapkan <i>Lockdown</i>
Presiden: Ekonomi Bisa Jeblok -17% Jika Terapkan <i>Lockdown</i>
Presiden Joko Widodo (kiri) saat memantau langsung Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM di Pasar Pasir Gintung, Kota Bandar Lampung. BPMI Setpres/Laily Rachev

JAKARTA – Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bersyukur tidak melakukan karantina wilayah (lockdown) pada saat awal pandemi covid-19 lalu. Ia menjelaskan, jika melakukan lockdown, ekonomi Indonesia bisa anjlok -17%.

"Dan ternyata betul, saya enggak bisa membayangkan kalau saat itu kita lockdown, mungkin kita bisa masuk ke minus lebih dari 17%," katanya dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia: Normalisasi Kebijakan Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia, Jakarta, Rabu (7/9).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 tercatat terkontraksi -2,07%. Setahun berikutnya, ekonomi tumbuh 3,69%. Pada tahun ini, hingga kuartal II/2022, ekonomi tumbuh 5,54%. Indonesia, sebutnya, beruntung tidak melakukan lockdown di awal pagebluk.

Jokowi menuturkan, pandemi membuat dunia berubah sangat luar biasa. Pada awal mula pandemi saat itu, tidak bisa diperkirakan dampak ekonomi, sosial, dan politik seperti apa jika lockdown dilakukan. Ia juga mengungkapkan desakan untuk melakukan lockdown datang dari berbagai macam lini.

Di sisi internal, 80% kabinet juga meminta pemerintah untuk melakukan karantina wilayah. Tidak sampai di situ, survei juga menunjukkan 80% rakyat menginginkan adanya lockdown. Sebagai informasi, pada awal pandemi ada hampir 70 negara yang melakukan lockdown.

"Tapi saat itu saya semedi. Saya endapkan betul, maka benar kita harus lakukan itu, dan jawabannya saat itu saya jawab tidak usah lockdown," ucap Mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Lebih lanjut, Presiden mengatakan pandemi juga membuat pemerintah belajar menghadapi guncangan-guncangan yang ada. 

Pagebluk, katanya, juga mengajarkan pemerintah caranya untuk mengonsolidasikan negara, baik dari pusat, provinsi. Mulai dari organisasi masyarakat (ormas), TNI, Polri, hingga masyarakat untuk bergerak bersama-sama 

Menurutnya, konsolidasi seperti itulah yang harus diteruskan dalam menghadapi situasi pascapandemi, yaitu dengan adanya perang, krisis energi, krisis langan hingga krisis finansial.

"Yang paling penting kita bisa mengkonsolidasi dari atas sampai ke bawah, karena saya meyakini lanskap politik global akan berubah dan bergeser, lanskap ekonomi juga akan berubah dan bergeser ke arah mana ini yang belum ketemu," ucap Jokowi.

Oleh karena itu, Presiden meminta ekonom untuk tidak menggunakan pakem-pakem yang ada alias tidak menggunakan standar yang biasa karena situasi yang sangat tidak normal.

Menurutnya, dibutuhkan pemikiran "abu nawas" dan seperti "kancil". Ia bilang, bekerja saat ini tidak bisa secara makro saja, tapi juga dari sisi mikro. 

"Dibutuhkan pemikiran yang abu nawas, yang kancil-kancil, agak melompat-lompat tapi memang harus seperti itu, bekerja sekarang pun tidak bisa secara makro saja, ditambah mikro pun mungkin masih juga belum dapat. Sehingga makro iya, mikro iya. Detail, fokus, ketemu nanti, satu-satu, karena sekali lagi keadaannya sangat tidak normal," tutur Jokowi.

Ia juga menambahkan, instrumen-instrumen yang dimiliki pemerintah seperti fiskal, moneter, juga kadang bisa luput dari perhatian karena keadaan yang tidak normal. "Betul-betul kita diuji karena geo politik globalnya memang juga tidak jelas. Sangat tidak jelas," ucap Jokowi.

Situasi Masih Penuh Ketidakpastian
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan saat ini situasi masih dalam ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, risiko stagflasi, serta ketidakpastian pasar keuangan menjadi realitas yang tak terhindari.

"Apalagi sekarang krisis Rusia Ukraina memiliki dampak berkepanjangan. Harga komoditas di level tinggi disertai gangguan rantai pasokan dan aksi proteksionisme di berbagai negara," kata Tauhid.

Ia menambahkan, implikasi tersebut dirasakan dalam negeri dalam satu tahun terakhir. Harga komoditas yang tinggi telah mendorong kinerja perdagangan dan surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang semakin baik, serta pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di kuartal II/2022.

Meski demikian, komoditas minyak dunia masih menjadi ketidakpastian di perekonomian. Tauhid menjelaskan, meski pemerintah telah mengalokasikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat, namun harga BBM Bersubsidi tetap harus naik karena tingginya harga di tingkat internasional.

Sebagai akibatnya, terdapat potensi inflasi dan dampak lainnya juga perlu diantisipasi dengan baik. Untuk itu perlu kerja sama yang kuat antara berbagai stakeholder. "Perlu aksi nyata dalam proses normalisasi dengan melihat tantangan dan peluang yang terjadi," ucap Tauhid.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar