13 Juni 2025
19:52 WIB
Ping Emping; Cuan Dari Mengubah Jajanan Jadul Jadi Kekinian
Meyakini masyarakat Indonesia doyan nyemil, Johan mampu membuka pasar buat jajanan jadul, Ping Emping.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Rikando Somba
Produk emping beragam rasa dengan jenama Ping Emping yang diproduksi sebuah UMKM di Semarang, Jawa Tengah. Sumber: Ping Emping
JAKARTA - Apakah Anda mengetahui emping? Biasanya emping disajikan sebagai teman makan masakan, mulai dari yang berkuah seperti sop, soto, opor, atau bahkan gado-gado. Namun, rasanya yang unik dengan tekstur renyah membuat emping tak hanya cocok menjadi pelengkap. Makanan ini juga bisa dinikmati sebagai camilan sendiri.
Emping memiliki rasa yang khas, yakni sedikit pahit dan gurih. Rasa pahit ini berasal dari biji melinjo atau belinjo yang digunakan sebagai bahan dasar emping.
Biji melinjo ini diolah dengan metode manual, dipukul dengan alat khusus untuk mendapatkan bentuk pipih tipis, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari atau oven khusus hingga kering dan renyah.
Umumnya, warga Indonesia mengetahui sajian emping yang hanya ditaburi garam hingga menghasilkan rasa gurih asin. Varian lainnya yang jamak ditemukan di pasaran adalah manis atau pedas manis.
Keterbatasan varian emping ini diendus Johan Prapta Wijaya sebagai peluang bisnis. Di tangan Johan, camilan ini dimodifikasi dengan rasa kekinian yang bisa diterima oleh pasar.
"Emping kan istilahnya snack, salah satu snack dari Indonesia yang cukup digemari, jadi saya buat yang versi premiumnya dan bisa diterima di pasar," kata Johan setengah berpromosi kepada Validnews, Jakarta, Rabu (11/6).
Memakai jenama Ping Emping, Johan menawarkan emping premium dan varian rasa baru.
Selain ingin mendulang untung, Johan ingin sekaligus mengenalkan ciri khas Indonesia berupa produk emping ke kancah global. Terlebih, emping tidak dapat ditiru di negara lain dan asli buatan dari Indonesia.
Ciri Khas
Rasa original asin gurih tentu tak ketinggalan dari daftar rasa yang ditawarkan Ping Emping. Bedanya, Johan memakai Himalayan salt pink. Garam impor ini tak sekadar memberikan rasa asin, tapi juga ragam mineral untuk tubuh.
“Walaupun memiliki cita rasa asin, namun emping ala Ping Emping ini tidak asin berlebih dan memiliki kandungan mineral tinggi,” tuturnya.
Varian berikutnya adalah rasa manis pedas, dari emping yang ia padukan dengan gula jawa.
Sebagai gongnya, tak hanya menawarkan rasa original dan pedas manis, lelaki asal Semarang ini juga menawarkan varian rasa balado hingga rasa unik berupa black summer truffle.
"Kita pakainya bahan-bahan premium, seperti himalayan pink salt, black summer truffle yang saya rasa di pasaran masih belum ada," ujar dia meyakinkan.
Selain menawarkan rasa yang bervariasi, lelaki berusia 28 tahun ini menjamin Ping Emping hanya menggunakan emping melinjo kualitas terbaik dan bebas pengawet.
Emping melinjo yang digunakan Ping Emping diproduksi sendiri di pabrik pengolahan di Limpung, Jawa Tengah. Dia memberikan contoh, dari 40 kg emping melinjo, akan disortir lagi sehingga hanya menghasilkan sekitar 20 kg emping melinjo saja yang bisa diolah untuk Ping Emping.
“Kita produksi sendiri, jadi kita pakai bahan baku yang kualitasnya juga pasti yang tipis, jadi orang makan enggak akan kecewa. Jadi enggak mudah ditiru orang lain, karena kita produksi Ping Emping sendiri,” jelasnya.
Demi memikat konsumen, produknya pun sudah mengantongi sertifikat halal MUI dan izin edar Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
Umumnya, produk emping buatan Johan dapat bertahan selama 1,5 bulan hingga 2 bulan. Selain itu, produknya praktis serta dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja.
Buah dari Pandemi
Perjalanan Ping Emping bermula saat Johan menyelesaikan pendidikan. Mengantongi ijazah S1 Manajemen pada 2019 dan S2 International Master Managemen di tahun 2020 dari Universitas Pelita Harapan (UPH). Usai rampung kuliah, Johan mulai mencari ide bisnis.
Ia, yang lantas kembali ke kampung halaman di Semarang usai sekolah, memang tak ingin menjadi pegawai kantoran. Kala itu, ia tertarik untuk menekuni usaha camilan. Apalagi masyarakat Indonesia terkenal doyan mengudap.
Namun dia memang berniat tak ingin menjual produk yang sudah banyak pesaing. Setelah menimbang, pilihannya jatuh pada emping.
"Saya cari ide bisnis enaknya apa ya. Terus saya lihat di pasaran, kok kebanyakan yang lain jual keripik kentang, keripik singkong, keripik pisang. Nah, kok belum ada ya emping melinjo yang proper dengan kemasan bagus, dengan berbagai varian rasa," ungkap Johan.
Meski tak memiliki basic di kuliner, Johan mengaku memiliki privilege. Pasalnya, keluarganya sudah memiliki usaha produksi emping melinjo dan menjual produk emping melinjo mentahan sejak lama. Karena itu ia sudah paham betul mengenai kualitas emping melinjo yang baik.
Selain itu, Johan juga memiliki kemampuan berdagang. Maklum, sejak masih duduk di bangku sekolah, dia sudah beberapa kali mencoba peruntungan dengan menjual tas dan baju.
Setelah ide bisnis didapat, Johan pun lantas mengeksekusinya dengan modal sekitar Rp10-Rp20 juta untuk membeli bahan baku utama emping, minyak, bumbu-bumbu, dan kemasan. Pada pertengahan tahun 2020, di tengah pandemi covid-19 yang menerpa tanah air, Ping Emping lahir.
Di awal merintis usaha, Johan menawarkan emping dengan rasa original dan pedas manis. Produk awal dikenalkannya kepada orang-orang terdekat, seperti teman, sahabat, hingga keluarga. Dari mereka, Johan menjaring berbagai masukan.
Dari itu, Johan berhasil menemukan racikan produk terbaik. Namun, penjualan tak langsung tancap gas seperti yang ia inginkan.

Terus Berinovasi
Disadari Johan, banyak orang menilai emping melinjo hanya makanan tradisional yang ada di warung-warung.
Karena itu, ia mencari cara memperkenalkan Ping Emping ke pasar. Ia mulai menggandeng influencer untuk memperkenalkan Ping Emping lewat sosial media. Ia juga berkolaborasi dengan beberapa brand dengan masuk ke beberapa hampers.
Terakhir, Johan rajin mengikuti bazar kuliner. Dalam bazar tersebut biasanya Ping Emping akan memberikan tester kepada masyarakat dan kemudian menerima ulasan.
"Saya kan ambilnya di kelas lumayan middle up, jadi untuk pengenalannya orang harus banyak coba dulu," tutur dia.
Beberapa orang yang sudah mencicip produk Ping Emping dan ternyata cocok di lidah mereka, akan langsung membelinya untuk dibawa pulang. Branding Ping Emping juga dipikirkan secara matang oleh Johan agar mampu menarik masyarakat lebih luas.
Hasilnya, Ping Emping mulai dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, Ping Emping mampu balik modal hanya dalam kurun waktu satu tahun.
Sukses dengan dua varian rasa, tak membuat Johan lantas berpuas diri. Pada tahun berikutnya, ia pun berinovasi dengan rasa lainnya, seperti balado dan black summer truffle. Produk Ping Emping dihargai Rp27.500 per pcs.
"Sekitar 2021, karena ada permintaan dari pasar, terus kita coba buat rasa-rasa yang lainnya," beber dia.
Racikan baru ini juga cocok di lidah masyarakat.
Hasilnya Ping Emping saat ini menerima pesanan hingga 1.500 hingga 2.000 pcs per bulannya. Bahkan, di momen tertentu seperti Lebaran dan Natal saat banyak orang bertukar hampers, pesanan bisa melonjak hingga dua kali lipat.
Johan tak lagi memproduksi secara sendiri. Masih dibuat secara tradisional dan rumahan, dia kini telah dibantu oleh tiga karyawan yang menempati posisi bagian produksi dan bagian media sosial.
Dengan begitu, untuk produksinya sendiri, Ping Emping sudah mampu menghasilkan 160 hingga 200 pcs dalam sehari.
Meski Ping Emping kini telah menuai sukses, namun Johan mengakui tetap terdapat beberapa tantangan dalam merintis usaha ini. Salah satunya adalah terkait bahan baku utama.
Lantaran, emping sendiri merupakan hasil bumi dengan produksi yang tak merata sepanjang tahun.
"Jika waktu enggak musim, emping melinjonya juga cukup sulit sih... cari bahan baku emping melinjo itu sebenarnya," katanya.
Belum lagi, ia perlu waktu dan upaya ekstra untuk menyortir dan memilih emping melinjo berkualitas untuk menjaga mutu Ping Emping. Meski begitu, Johan bersyukur bisnisnya tak terdampak pandemi covid-19. Justru, bisnisnya sendiri terlahir di tengah pagebluk.
Melebarkan Sayap ke Mancanegara
Johan terus melebarkan sayap untuk usahanya. Kini, dia telah memanfaatkan sejumlah media sosial seperti Instagram dan TikTok, dan juga marketplace besar seperti Shopee dan Tokopedia. Dia juga menerima pesanan melalui WhatsApp (WA).
Selain online, produknya juga bisa didapat secara offline melalui toko oleh-oleh dan swalayan di Semarang dan Bali. Produk Ping Emping dapat ditemukan di Istana Buah Pandanaran, Istana Buah Sultan Agung, Frudo, Maison Blance, IRIS Bake House, Pelangi Tambora, hingga Pepito.
Meski tanpa reseller, produknya kini sudah tersebar hampir di seluruh Indonesia. Terjauh produknya sudah tiba di Makassar, Manado, dan Padang.
Walhasil, dari hasil penjualannya, Johan mampu mendapat omzet di kisaran puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Ke depan, dirinya tak menutup kemungkinan agar produknya ada di Jakarta dan Surabaya. Ia juga ingin mulai merambah luar negeri dengan ekspor. Hal itu dilandasi karena emping tak hanya diminati di Indonesia saja, tapi juga di Belanda dan Arab.
"Kalau bisa ya mudah-mudahan bisa ekspor biar bisa dikenal lebih banyak negara-negara lain," pungkasnya.