19 November 2024
17:33 WIB
Pertamina Patra Niaga Pamer Inovasi Minyak Jelantah Jadi Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Bioavtur berbasis minyak jelantah atau UCO diharapkan bisa mengurangi jejak karbon pada industri penerbangan domestik.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi Sustainable Aviation Fuel (SAF) garapan Pertamina dengan campuran Used Cooking Oil (UCO). Dok. Pertamina Patra Niaga
JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan memaparkan strategi inovatif yang dijalankan perusahaan dalam mendukung dekarbonisasi lewat penggunaan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) sebagai bahan bakar nabati pada Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Inovasi itu dipamerkan Riva saat dirinya menghadiri Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan. Dia menerangkan, bioavtur yang berbasis minyak jelantah itu tak hanya memberi alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan, tetapi juga memanfaatkan bahan baku yang selama ini dianggap limbah.
"Kami meningkatkan potensi volume SAF berbasis UCO untuk membantu pelanggan kami mengurangi emisi hingga 84% dibanding bahan bakar jet konvensional," jelas Riva lewat keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (19/11).
Pertamina Patra Niaga sebagai Subholding Commercial and Trading PT Pertamina sendiri telah memasarkan SAF berbasis UCO secara perdana pada ajang Bali International Air Show pada September 2024 lalu.
Pada momen itu, Riva mengatakan pihaknya telah mengantongi beberapa kerja sama dengan maskapai di sekitaran Asia Tenggara sebagai bagian dari pra-pemasaran sebelum SAF resmi diproduksikan oleh kilang pada kuartal pertama tahun 2025.
Nantinya, Pertamina Patra Niaga bakal mengambil peran sebagai hub bagi pengumpulan UCO yang berasal dari berbagai industri kuliner maupun konsumsi rumah tangga.
Strategi itu, sambung Riva, dilakukan dengan memanfaatkan sebaran titik unit penjualan milik PT Pertamina Patra Niaga yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
"UCO yang terkumpul akan dikirimkan untuk diolah menjadi biofuel oleh anak perusahaan Pertamina lainnya yaitu Kilang Pertamina Internasional," terang dia.
Langkah tersebut dijelaskan Riva sejalan dengan strategi Pertamina One Solution, yakni inisiatif holistik yang mengintegrasikan sederet solusi energi berkelanjutan mulai dari pengumpulan limbah minyak goreng hingga distribusi bahan bakar ramah lingkungan.
SAF yang berbasis UCO itu pun diharapkan bisa mengurangi jejak karbon pada industri penerbangan domestik yang selama ini menjadi salah satu sektor penyumbang emisi terbesar.
"Langkah ini adalah upaya kami mendukung produksi SAF dengan meningkatkan dan memperoleh sisi positif dari pengumpulan UCO dari 0,3 juta ton pada 2023 yang diharapkan menjadi 1,5 juta metrik ton per tahun pada 2030 nanti," kata Riva Siahaan.
Co-Processing di Kilang Cilacap
Pada kesempatan berbeda, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Taufik Aditiyawarman menjelaskan pihaknya telah menerapkan teknologi co-processing di unit Treated Distillate Hydro Treating (TDHT) Kilang Cilacap.
Teknologi itu merupakan alat yang digunakan KPI untuk memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bioavtur.Tak tanggung-tanggung, Taufik menyebut co-processing plant yang ada di Kilang Cilacap mampu memproduksi SAF hingga 9 ribu barel per hari (BOPD).
"Sekarang Indonesia punya demand, itu dengan co-processing 9 ribu barel per hari dari unit yang ada di Cilacap. Jadi eksisting unit itu kita modif," tuturnya dalam diskusi bertajuk 'Decarbonizing the Future: The Role for Green Fuel in Reducing Emissions', Kamis (10/10).
Produksi dengan metode co-processing itu dihasilkan dengan campuran 2,4% Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) atau minyak inti sawit yang telah melalui proses pemurnian, pemutihan, dan penghilangan bau.
"Tadi ada RBDPKO, itu adalah palm oil yang sudah dicuci supaya tidak berbau dan jadi bersih," ucapnya.
SAF yang diproduksi oleh KPI, sambung Taufik, sudah lebih advance untuk uji coba penerbangan komersial maskapai pelat merah Garuda Indonesia bermesin Boeing. Secara paralel, KPI juga tengah menguji SAF pada mesin airbus.
Taufik mengakui penerapan SAF tidaklah sederhana mengingat ada sederet persyaratan yang harus dipenuhi. Misalnya, ialah ketahanan produk pada suhu -47 derajat celcius.
Karena itu, dia berharap produksi SAF yang ke depannya bakal menggunakan Used Cooking Oil (UCO) berhasil diterapkan dengan kandungan sebesar 3% untuk diujicobakan pada mesin pesawat airbus.
"Kita akan lanjut ke uji coba dengan airbus karena European kemarin dengan sawit based tidak mau dia. Tapi kita dapat info UU Anti Deforestasi di Eropa itu mau ditunda, mudah-mudahan ini jadi enabler bagi pengembangan sawit ke depan," tandas Taufik.