c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

EKONOMI

30 September 2022

15:36 WIB

Perpres Swasembada Gula Dikhawatirkan Malah Perluas Impor

Program swasembada gula tidak pernah tercapai, karena pemerintah dianggap tidak pernah serius menjalankan program swasembada

Editor: Faisal Rachman

Perpres Swasembada Gula Dikhawatirkan Malah Perluas Impor
Perpres Swasembada Gula Dikhawatirkan Malah Perluas Impor
Ilustrasi. Pekerja menyusun karung berisi gula pasir impor di gudang Perum Bulog Meulaboh, Aceh Barat. Antara Foto/Syifa Yulinnas

JAKARTA - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengkhawatirkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Swasembada Gula 2025, justru untuk membuka luas impor komoditas tersebut, jika nanti diterapkan.

Selain itu menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikoen, Perpres tersebut berpotensi menjadi ajang monopoli bagi BUMN. Pasalnya,  salah satu poin utama yang diatur yakni pemerintah akan memberi fasilitasi PTPN III untuk melakukan impor gula.

Swasembada gula, lanjutnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, sebenarnya sudah berkali-kali dicanangkan. Dimulai pada tahun 2008, kemudian berlanjut 2013. Sayangnya target swasembada gula selalu meleset.

"Target swasembada gula juga selalu meleset saat ditargetkan di tahun 2019 dan di 2022. Dan ini ada pencanangan swasembada lagi di tahun 2025. Aneh, swasembada tapi ujung-ujungnya impor,” kata Soemitro.

Soemitro menilai program swasembada tidak pernah tercapai, karena pemerintah tidak pernah serius menjalankan program swasembada. Dalam ketentuannya, tambahnya, semua perusahaan (BUMN atau swasta) yang membangun pabrik gula baru untuk produksi gula konsumsi, diwajibkan untuk menanam tebu. Hal ini sebagai kompensasi mereka mendapat kuota impor raw sugar atau gula mentah selama 5 tahun sebagai bahan baku.

“Dan selama ini tidak pernah ada sanksi tegas bagi yang mendapat izin impor tapi tidak mau menanam tebu,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal DPN APTRI M. Nur Khabsyin menambahkan, program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah terhambat kebijakan yang tidak berpihak kepada petani.

Sebagai contoh adalah kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani yang tidak pernah naik antara tahun 2016 sampai 2022.

“Sejak beberapa tahun terakhir, HPP tak pernah beranjak dari angka Rp9.100 per kg. Baru awal giling tahun ini HPP dinaikkan menjadi Rp11.500 per kg. Meski naik, sebenarnya HPP tersebut juga belum bisa menutup biaya pokok produksi (BPP) yang sudah melebihi Rp12.000 per kg,” ujarnya.

Selain itu, ada pula kebijakan HET (harga eceran tertinggi) gula sebesar Rp12.500/kg selama 2016 - 2022 yang sangat membelenggu petani, walaupun awal musim giling tahun ini naik menjadi Rp13.500.

Menurut dia, pemerintah tidak perlu mengatur harga jual gula, karena gula bukan milik pemerintah sebagaimana halnya BBM. Jadi cukup menetapkan HPP gula saja.

“Selain itu ada pula kebijakan pencabutan subsidi pupuk yang menyebabkan pupuk langka dan harganya naik 300%-500%, ini membuat BPP semakin meningkat,” tuturnya.

Hal yang juga menghambat swasembada gula adalah setiap kali memasuki musim giling, kata Nur Khabsyin, digelontorkannya impor gula konsumsi dan bocornya gula rafinasi di pasar dan membuat harga gula petani jatuh. Hal tersebut dinilai menyebabkan petani merugi dan tidak bersemangat untuk memperluas tanaman tebu.

Menurut Khabsyin, pemerintah sebenarnya tidak perlu menerbitkan Perpres percepatan swasembada, karena program sebelumnya sudah bagus dan sudah memiliki roadmap.

"Yang perlu dilakukan sebenarnya hanya menagih janji bagi perusahaan yang mendapat izin impor untuk melaksanakan kewajibannya menanam tebu," serunya.

Khabsyin mengingatkan, jika Perpres tersebut disahkan dan keran impor gula kembali dibuka, pihak yang pasti terkena dampaknya adalah petani. Ini lantaran harga gula petani dipastikan akan jatuh.


Pekerja mengemas gula pasir menjadi produk 'Maniskita' di gudang Bulog Medan, Sumatera Utara, Senin (27/4/2020). Perum Bulog Sumatera Utara memiliki stok gula pasir dari pembelian komersil dengan jumlah terbatas atau sekitar 300 ton untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjualnya dengan harga sesuai harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp12.500 per kilogram. Antara Foto/Septianda Perdana 

 

Pemanfaatan Hutan
Sebelumnya, Perum Perhutani berkomitmen mewujudkan program pemerintah terkait swasembada gula nasional melalui pemanfaatan hutan yang dikelola oleh perseroan. Hutan tersebut akan menjadi kebun tanaman tebu.

Direktur Operasi Perhutani Natalas Anis Harjanto baru-baru ini mengatakan, pihaknya telah melakukan panen tebu perdana pada lahan seluas 387 hektare, dengan potensi tebu giling 30.000 ton di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang, Jawa Timur.

"Panen tebu perdana menuju swasembada gula pada 2025 ini nantinya secara bertahap ada lahan seluas 18.256 hektare kawasan hutan yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman tebu secara mandiri hingga tahun 2024,” kata Natalas.

Selain melakukan pemanenan tebu di KPH Jombang, Perhutani dalam waktu dekat juga akan melakukan panen tebu pada lahan seluas 187 hektare, dengan potensi produksi tebu giling 15.000 ton di KPH Ngawi.

Sekedar mengingatkan, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan program swasembada gula konsumsi pada tahun 2025 dan swasembada gula industri pada tahun 2030. Menghadapi hal tersebut, Perhutani siap menjalin kolaborasi dengan PTPN dan RNI untuk mewujudkan program swasembada gula nasional.

Natalas menjelaskan, pengembangan agroforestry tebu mandiri merupakan hal baru bagi Perhutani. Program itu menjadi sebuah inovasi dalam peningkatan produktivitas kawasan hutan dan menambah pendapatan.

“Panen tebu ini menjadi awal menuju swasembada gula dan ketahanan pangan," ujar Natalas.

Pada 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyetujui pengesahan kawasan hutan seluas 8.000 hektare untuk dimanfaatkan sebagai lahan tebu. Selanjutnya, secara bertahap ada lahan seluas 18.256 hektare kawasan hutan yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman tebu secara mandiri hingga tahun 2024.

Tahun ini, luas pengembangan agroforestry tebu mandiri terus berlanjut, dengan luas mencapai 1.758 hektare di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Sebagai bentuk kolaborasi bersama mitra BUMN yang kompeten dalam budidaya tebu dan industri gula, Perhutani menjalin sinergi bersama PTPN X, PTPN XI dan RNI termasuk melibatkan pabrikpabrik gula dalam binaan PTPN dan RNI,” jelas Natalas.

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Industri Perkebunan dan Kehutanan Kementerian BUMN Rachman Ferry Isfianto mengatakan, pengembangan perkebunan tebu yang dilakukan oleh Perhutani dapat mewujudkan program swasembada gula nasional tersebut.

"Indonesia bisa menjadi eksportir gula dengan memanfaatkan hutan yang kurang produktif menjadi hutan produktif di wilayah kerja Perhutani," kata Rachman.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar