07 April 2025
18:57 WIB
Pengusaha Alas Kaki dan Konveksi Khawatir Efek Rambatan Perang Dagang
Asosiasi pengusaha alas kaki dan konveksi kompak meminta pemerintah untuk mewaspadai dan mengantisipasi efek rambatan perang dagang AS dan China.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Ketua Umum HIPAN David Chalik dan Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, di Jakarta, Senin (7/4). ValidNewsID/Erlinda PW
JAKARTA - Ketua Umum Himpunan Pengusaha Alas Kaki Nusantara (HIPAN) David Chalik dan Ketua Umum Indonesia Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman meminta pemerintah mengantisipasi agar Indonesia tidak menjadi korban efek rambatan kebijakan tarif resiprokal AS, tepatnya incaran pasar dari produk negara-negara yang terkena tarif impor tinggi oleh AS.
David berujar, kendala perdagangan dengan AS usai penetapan tarif resiprokal 32% untuk Indonesia, bisa terselesaikan melalui perjanjian dagang dan negosiasi. Namun, yang harus diwaspadai Indonesia adalah efek rambatan dari perang dagang antara AS dan China yang semakin memanas dengan ditetapkannya tarif impor 34% oleh AS ke China, dan dibalas dengan tarif serupa oleh China.
Kondisi tersebut tentu saja membuat barang-barang asal China yang semula bisa mengakses pasar AS, terhambat dan harus mencari pasar lain, mengingat Negeri Tirai Bambu tersebut juga mengalami over produksi di dalam negeri.
"Yang perlu kita perhatikan itu sebenarnya adalah lebih ke dampak dari perang dagang antara dua negara besar, China dan Amerika. Kemungkinan besar barang ini akan masuk ke pasar di negara berpenduduk besar, di antaranya Indonesia," kata David saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, di Jakarta, Senin (7/4).
Baca Juga: Produk Tekstil dan Sepatu RI Bisa Lebih Unggul Meski Ada Tarif Resiprokal AS
Bukan hanya produk asal China, David juga mewaspadai makin masifnya produk dari negara proksi atau perantara China, misalnya Vietnam dan Kamboja yang masing-masing mendapatkan tarif resiprokal 46% dan 49%. Kedua negara tersebut juga kemungkinan akan mengalihkan ekspornya ke negara bebas hambatan selain AS.
Jika situasi tersebut terjadi, David memastikan produk-produk UMKM khususnya alas kaki dan konveksi atau tekstil yang hanya berorientasi pasar dalam negeri, akan keok karena banjirnya produk impor.
"Pasar dalam negeri kita akan dibanjiri barang-barang impor. Sedangkan barang kita untuk keluar (ekspor), nggak mudah," tegasnya.
Dampak negatif maraknya produk impor juga diakui Ketum IPKB, Nandi Herdiaman telah memangkas telak penjualan mereka sejak tahun lalu. Menurutnya, di momen Idulfitri tahun ini saja, pihaknya hanya berhasil menjual produk konveksi 30% dari total produksi. Penurunan penjualan tersebut terjadi sejak pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang menghapus persyaratan pertimbangan teknis (pertek) untuk impor barang tertentu.
Nandi mengaku semakin khawatir usai adanya penerapan tarif resiprokal AS, maka UMKM dan IKM bisa tambah sulit bertahan. Pihaknya mendorong agar pemerintah segera membuat perlindungan, terutama perdagangan di lokapasar atau penjualan online.
"Mungkin di e-commerce juga harus diregulasi gitu. Karena melalui e-commerce ini kan sangat mudah untuk data produk impor ilegal masuk. Ini mungkin (disampaikan) tertulis," ucap Nandi.
Baca Juga: Hati-Hati, Tarif Resiprokal AS Ancam Lapangan Kerja RI
Usulan Proteksi UMKM dan IKM di Dalam Negeri
Lebih lanjut, Ketum HIPAN David Chalik mengusulkan, sebagai upaya pemerintah melakukan antisipasi, maka langkah yang bisa dilakukan antara lain pertama, memberikan stimulus selain bantuan alat dan mesin. Kedua, pemerintah perlu memberikan relaksasi terhadap biaya-biaya yang menjadi penyusun harga produk, misalnya relaksasi untuk TKDN, SNI, dan lainnya.
"Yang terakhir, yang saya lihat yang perlu kita siasati adalah pertama, penguatan dalam negeri dan pembatasan barang-barang impor untuk masuk," imbuh David.
Ia pun meyakini, melalui perjanjian dagang antara Indonesia dan China, tentu bisa menetapkan kuota batas impor. Jika hal tersebut bisa terlaksana, maka UMKM dan IKM dalam negeri masih memiliki pasar di negeri sendiri.
“Artinya kita tidak menutup importasi secara keseluruhan, tapi yang jelas dengan adanya pembatasan dan kuota tertentu, maka masih ada celah bagi produk dalam negeri untuk bisa masuk dan berjualan di dalam negeri," tutup David.