c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

11 September 2023

08:37 WIB

Pengamat: Utang Luar Negeri RI Berpotensi Hambat Pemulihan Ekonomi

Dengan utang yang terus meningkat, risiko ketidakmampuan pembayaran utang negara menjadi semakin besar.

Pengamat: Utang Luar Negeri RI Berpotensi Hambat Pemulihan Ekonomi
Pengamat: Utang Luar Negeri RI Berpotensi Hambat Pemulihan Ekonomi
Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Sekaligus Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD RI Hardjuno Wiwoho. dok. DPD RI

JAKARTA - Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi, menunjukkan rapuhnya fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun. 

Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho dalam keterangannya yang diterima Senin (11/9) mengatakan, kondisi ini semakin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis istilah utang luar negeri dengan bantuan luar negeri. 

Celakanya lagi, kata Hardjuno, utang luar negeri dari negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia banyak yang dikorupsi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.  

“Tingkat kebocoran ini cukup signifikan, bahkan memakan porsi yang cukup besar dari total anggaran pembangunan,” ujarnya.

Dia menjelaskan pinjaman Bank Dunia untuk Indonesia banyak yang bocor oleh proses birokrasi Indonesia. 

“Saya kira, persoalan utang luar negeri ini bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat menghambat pemulihan ekonomi dan menjatuhkan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional,” tegasnya. 

Hardjuno pun menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta perlakukan lebih adil dari Bank Dunia. Hal ini menurutnya justru menegaskan posisi Joko Widodo yang lebih sering menarik utang dibanding presiden-presiden sebelumnya dan tidak serius memikirkan efeknya. 

“Utang sudah jadi pilihan bahkan hobi dari pemerintahan Pak Jokowi. Sepuluh tahun memerintah, nambah utang Rp5,125 triliun sehingga total utang kita sekarang Rp 7,787 triliun. Kan, ini seperti senang utang, tapi giliran bayar ngeluh, minta perlakuan adil,” kata Hardjuno. 

Dia mengkritik, semestinya, Jokowi menyusun rencana guna memastikan setiap rupiah utang yang diambil pemerintah benar-benar produktif, sehingga bisa membayar utang tanpa mengeluh. 

Di mana-mana, kata Hardjuno, bahkan di level keluarga saja, utang yang ditarik sudah seharusnya produktif.  

“Utang 1 harus dapat 2 lebih, buat bayar utang beserta bunga dan sisanya laba usaha dari duit utang tadi. Jangan mau utang, tapi giliran ditagih susah. Ini namanya apa? Kita jadi mempertanyakan efektivitas dan produktivitas utang yang Jokowi ambil kalau caranya begini,” ucap Hardjuno. 

Sampai hari ini belum ada data konkret yang menunjukkan perubahan signifikan dalam penggunaan utang Indonesia. Padahal rakyat Indonesia berhak mengetahui pemanfaatan utang Indonesia ini. Artinya, utang harus digunakan secara efisien untuk proyek-proyek yang benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi ekonomi Indonesia.

“Berapa banyak kasus korupsi di infrastruktur. Menteri, bupati, sampai kades banyak dipenjara gara-gara infrastruktur yang duitnya dari utang,” tutur Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD RI tersebut. 

Masifnya budaya korupsi ini, lanjutnya, patut menjadi pertanyaan. Terutama, kata Hardjuno, terkait dengan sejauh mana benefit utang, dalam peningkatan pendapatan negara. 

Sayangnya, Hardjuno menyatakan, saat ini sektor pajak sebagai kontributor utama pendapatan negara, justru masih menghadapi tantangan besar.

Sebaliknya, menurut Hardjuno, dengan utang yang terus meningkat, risiko ketidakmampuan pembayaran utang negara menjadi semakin besar. “Dan ini sangat berbahaya bagi bangsa ini ke depannya,” jelasnya. 

Hardjuno juga mengkritik kurangnya transparansi dalam penggunaan dana yang diterima dari lembaga kreditur seperti Bank Dunia. Untuk itu, dia mendesak pemerintah menjelaskan pemanfaatan utang ini serta bagaimana dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

“Jokowi musti jelaskan sebelum pemerintahannya berakhir,” tandas Hardjuno. 

Rasio Utang
Seperti diketahui, pemerintah belakangan mendapat sorotan lantaran posisi utang tahun 2023 mencapai level tertinggi sejak Indonesia merdeka pada 1945. 

Posisi utang pemerintah per April 2023 tercatat sebesar Rp7.849,89 triliun. Jumlah tersebut turun Rp28,19 triliun dari Maret 2023 yang tercatat sebesar Rp7.879,07 triliun. Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat hingga Juli 2023 posisi utang pemerintah mencapai Rp7.855,53 triliun, dengan rasio 37,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kemenkeu pun menyatakan, rasio utang pada Juli 2023 menurun dibandingkan bulan lalu dan dibandingkan per akhir tahun 2022, serta berada di batas aman atau jauh di bawah 60% PDB, sesuai UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara.
 
Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Deni Ridwan menjelaskan, utang negara akan terus meningkat lebih tinggi dari masa pemerintahan sebelumnya. 

Kendati demikian, saat ini Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga mencapai level tertinggi sejak kemerdekaan Indonesia.
 
Hal itu tercermin pada rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,15%. Rasio tersebut masih berada di bawah batas aman atau thresold rasio utang pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa rasio utang maksimal 60% dari PDB.

Artinya, kata Deni, utang Indonesia yang meningkat turut diiringi oleh kemampuan membayar utang yang juga meningkat. Deni menyebutkan hal itu mengindikasikan utang pemerintah dalam kondisi yang aman dan tidak berbahaya.

“Indonesia bisa bebas dari berutang, asal menghilangkan subsidi. Secara tertulis di atas kertas memang bisa, tapi praktiknya luar biasa,” ujar Deni.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar