11 Juli 2023
17:37 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai dari perspektif ekonomi dan daya beli masyarakat, harus ada penataan ulang pada konsep bisnis Pertashop.
Menurutnya, kewajiban Pertashop untuk hanya menjual BBM RON tinggi, seperti Pertamax, secara mendasar tidak sesuai dengan segmen pasar yang menjadi target SPBU mini tersebut.
Pertashop sendiri pada awalnya didesain untuk memperluas akses BBM kepada wilayah yang belum terjangkau oleh SPBU sehingga banyak tersebar di wilayah pedesaan dan pinggiran kota.
"Pertashop banyak tersebar di pedesaan yang notabene profil pendapatan masyarakatnya lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan," jabar Komaidi dalam keterangannya, Selasa (11/7).
Masyarakat pedesaan atau pinggiran kota, sambungnya, akan memilih BBM dengan RON yang lebih rendah di SPBU. Dengan begitu, target pasar Pertashop akan lenyap begitu saja mengingat di SPBU, masyarakat bisa membeli BBM dengan harga yang lebih murah.
"SPBU lebih banyak pilihan, termasuk untuk BBM dengan RON lebih rendah dan harga yang lebih murah," imbuh dia.
Untuk itu, penataan ulang konsep bisnis Pertashop wajib dilakukan agar tidak merugikan para pengusaha. Komaidi mengingatkan jangan sampai tujuan memperluas akses BBM yang secara mendasar sangat bagus malah menjadi beban di kemudian hari.
"Tujuannya sangat bagus karena bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional, tapi justru menjadi kontraproduktif dan beban bagi pelaku bisnis yang telah berinvestasi di Pertashop," kata Komaidi.
Baca Juga: Ke DPR, Pengusaha Pertashop Keluhkan Tumpang Tindih Aturan dan IMB
Sebelumnya, Ketua Umum Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (Jateng-DIY) Gunadi Broto Sudarmo menyampaikan keluhan kepada Komisi VII DPR soal kerugian yang dialami para pemilik dan pengusaha Pertashop.
Kerugian itu, kata Gunadi, dipicu konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, yang menyebabkan lonjakan harga minyak mentah dunia. Hal ini membuat disparitas harga antara BBM jenis Pertamax dan Pertalite semakin melebar.
Perbedaan harga yang tajam antara Pertamax dan Pertalite membuat omzet pengusaha Pertashop di Jawa Tengah dan DIY turun drastis hingga 90%. Bahkan, sebanyak 201 dari 448 Pertashop di Jateng dan DIY merugi karena hal ini.
"Pertashop yang tutup juga merasa terancam untuk disita asetnya karena tidak sanggup untuk angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan," tutur Gunadi dalam Audiensi bersama Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (10/7).
Penjualan rata-rata Pertashop di Jateng dan DIY berkisar dari 30 ribu-38 ribu liter per bulan ketika harga Pertamax masih Rp9.000 pada Januari-Maret 2022 lalu. Namun saat disparitas harga dengan Pertalite melebar, rata-rata penjualan bulanan anjlok hingga 16 ribu liter per bulan.
”Di harga Rp12.500, omzet (penjualan) hanya 16 ribu liter per bulan. Berlanjut ada fluktuasi harga ke Rp14.500, Rp13.900, sampai saat ini omzet Pertashop belum bisa kembali seperti saat harga Pertamax Rp9.000," sambungnya.
Pada akhir 2022, jumlah Pertashop dengan penjualan kurang dari 200 liter per hari pun mencapai 47%. Pertashop ini merugi, lantaran hasil penjualan habis bahkan kurang untuk membiayai kebutuhan operasional.
Baca Juga: Pertashop Berharap Jadi Pangkalan Resmi LPG 3 Kg, Ini Alasannya
Pengecer
Gunadi juga mengeluhkan maraknya pengecer BBM yang mengganggu bisnis Pertashop di desa-desa. Para pengecer itu, sebutnya, berani meraup margin di kisaran Rp2.000-Rp2.500 per liter Pertalite.
Margin ini jauh di atas margin yang ditetapkan untuk lembaga penyalur legal sebesar Rp850 per liter Pertamax.
"Dapat untung lebih kecil, tapi semua kewajiban resmi seperti pajak dan pungutan legal lain tetap jadi kewajiban kami. Ironis memang pengecer bisa tegak berdiri di depan Pertashop," tuturnya sambil menayangkan foto pengecer Pertalite di depan Pertashop miliknya.
Senada, Komaidi meyakini kehadiran penjual BBM eceran di titik-titik yang bahkan tak jauh dari lokasi Pertashop turut menjadi penyebab banyaknya Pertashop yang berguguran.
Dia menyebutkan hal itu dikarenakan Pertamini atau pengecer BBM bisa menjual BBM dengan RON yang lebih rendah dan tak bisa dilakukan oleh Pertashop.
"Pertashop hanya boleh menjual RON tinggi, sementara kegiatan pengecer dan Pertamini tidak ditertibkan sehingga berdampak pada tidak tercapainya target minimum penjualan Pertashop," tandas Komaidi Notonegoro.