c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

EKONOMI

06 Agustus 2021

12:35 WIB

Pengamat: Ketimpangan Produktivitas Jadi Penghambat Ketahanan Pangan

Data BPS menunjukkan, produktivitas padi yang dihasilkan di Pulau Jawa lebih tinggi 23% dari produktivitas padi di luar Jawa.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Dian Kusumo Hapsari

Pengamat: Ketimpangan Produktivitas Jadi Penghambat Ketahanan Pangan
Pengamat: Ketimpangan Produktivitas Jadi Penghambat Ketahanan Pangan
Daniel Agus Setiyadi (70) menyiram lahan pertanian miliknya di Ciracas, Jakarta. ANTARAFOTO/Aprillio Akbar.

JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies menilai pencapaian ketahanan pangan di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan. Salah satunya ketimpangan produktivitas pangan antar wilayah.

Peneliti CIPS Indra Setiawan menjelaskan, perkembangan produktivitas tanaman pangan penting. Adapun padi dan jagung, produktivitasnya cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir dapat diatasi dengan memacu peningkatan produktivitas di luar Pulau Jawa.

Data BPS menunjukkan, produktivitas padi yang dihasilkan di Pulau Jawa lebih tinggi 23% dari produktivitas padi di luar Jawa. Rata-rata produktivitas petani padi di luar Jawa hanya mencapai 45,78 kuintal GKG/ ha, lebih rendah dari produktivitas petani padi di Pulau Jawa yang sebesar 56,42 kuintal GKG/ha.

Akibatnya, walaupun luas panen padi di luar Jawa berkontribusi pada sekitar 50% dari total luas panen padi nasional mencapai 10,68 juta hektare di 2019, kontribusi petani luar Jawa terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 44%.

“Potensi peningkatan produktivitas dari luar Jawa dapat dipacu lewat penggunaan pupuk dan benih unggul, mekanisasi pertanian, juga peningkatan akses dan perbaikan jaringan irigasi,” terangnya dalam keterangan pers, Jakarta, Jumat (6/8).

Kesenjangan produktivitas antara Jawa dan luar Jawa cenderung konsisten selama dua dekade terakhir. Padahal, dampaknya terhadap peningkatan produksi padi nasional akan sangat signifikan kalau kesenjangan ini bisa diatasi.

Namun hal yang sedikit berbeda terjadi pada jagung. Adopsi benih jagung hibrida yang masif menyebabkan produktivitas jagung menjadi lebih homogen kalau dibandingkan antar wilayah di Indonesia.

Saat ini, sebagian besar provinsi penghasil jagung utama nasional memiliki rata-rata produktivitas di atas 50 kuintal/ha. Hanya sebagian kecil provinsi yang produktivitas jagungnya kurang dari 40 kuintal/ha.

Kesenjangan produktivitas terjadi karena banyak faktor; seperti perbedaan tingkat kesuburan tanah dan cuaca yang mendukung budidaya, SDM, kondisi infrastruktur pertanian dan penerapan teknologi budidaya.

Secara umum, petani luar Jawa relatif tertinggal dari koleganya di Jawa, baik secara kapasitas maupun teknologi budidaya pertanian.

“Perlu upaya untuk mempersempit kesenjangan tersebut, misalnya melalui pendampingan, penyuluhan yang intensif serta penguatan kapasitas kelompok tani,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu membangun infrastruktur irigasi yang memadai, mendorong mekanisasi pada proses tanam dimulai dari penyiapan lahan dan proses panen.

Penelitian CIPS juga merekomendasikan pemerintah untuk meningkatkan upaya mempersempit kesenjangan produktivitas antar daerah, untuk menciptakan sentra-sentra tanaman pangan baru di Indonesia. Kemunculan sentra tanaman pangan yang tersebar di berbagai wilayah diharapkan dapat mengurangi biaya logistik.

"Pada akhirnya dapat membuat harga jual menjadi lebih kompetitif untuk penjual dan semakin terjangkau untuk konsumen," ucap Indra.

NTP Masih Fluktuatif 
Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah menyebutkan, penurunan Nilai Tukar Petani Juli 2021 menunjukkan masih belum kuatnya masing-masing subsektor pertanian di Indonesia.

Penilaiannya, perkembangan NTP di tingkat nasional sangat fluktuatif. Secara umum, NTP nasional Juli 2021 sebesar 103,48 poin, atau menurun 0,11% dibandingkan bulan sebelumnya.

"Subsektor tanaman pangan kembali turun dan melanjutkan tren di bawah standar impas sejak Februari 2021. Begitu juga dengan NTP Hortikultura, meskipun tercatat mengalami kenaikan yang cukup tinggi, tetapi kami nilai belum menggambarkan situasi sebenarnya yang terjadi di lapangan,” kata Ruli, Kamis (5/8).

NTP pertanian yang mengalami penurunan, yakni subsektor Tanaman Pangan (-0,98%) dan Perkebunan Rakyat (-0,13%). Sementara tiga subsektor lainnya mengalami kenaikan, yakni Hortikultura (2,49%), Peternakan (0,84%) dan Perikanan (0,23%).

Terkait subsektor tanaman hortikultura, Agus menyebut, laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah penurunan harga di tingkat petani masih terjadi dan relatif belum banyak berubah.

Misalnya, di Ciaruteun Ilir, Bogor, dampak dari PPKM sedikit-banyak memengaruhi permintaan hasil pertanian. Begitu juga di Kab Rejang Lebong dan Kepahiang, Bengkulu, harga sayur-sayuran dihargai murah. Bahkan, di Pati, Jawa Tengah, harga jenis cabai-cabaian justru menurun.

"Ini berbeda dengan yang digambarkan oleh BPS tersebut,” paparnya.

Agus Ruli melanjutkan, Untuk NTP tanaman pangan, NTP masih di bawah batas impas 100, yakni 96,31 poin. NTP subsektor pangan sejak awal tahun trennya terus menurun. Sejak Februari 2021, nilainya sudah di bawah standar impas.

"NTP bulan Juli jadi yang terendah kedua setelah NTP April 2021. Jadi petani masih rugi kalau tanam padi dan tanaman pangan lainnya," katanya.

Dirinya juga menyinggung laporan Keadaan Ketahanan Pangan dan Gizi Di Dunia (SOFI) 2021 yang dikeluarkan FAO, rendahnya NTP sebagai indikator rendahnya daya beli dan kesejahteraan, berkontribusi dalam peningkatan kelaparan dan kurang gizi di perdesaan.

Ia berujar, laporan SOFI 2021 menunjukkan, tingkat kelaparan meningkat 18% pada 2019-2020. Di mana jumlah orang yang menghadapi kelaparan pada 2020 bertambah 118 juta lebih banyak dibandingkan 2019.

"Diperkirakan sebanyak 768 juta orang di dunia atau hampir 10% populasi dunia menghadapi kelaparan. Ini berpotensi meningkat bila pandemi tidak kunjung mereda dan kemudian PPKM berlanjut terus," paparnya.

Perbaikan Sistem Pangan Nasional 
Agus Ruli menyebutkan, persoalan rendahnya harga di tingkat petani masih menjadi momok yang belum dapat diselesaikan pemerintah. Masih banyak yang belum dimaksimalkan oleh pemerintah.

"Salah satunya, kerja sama antara Bulog atau BUMN pangan dengan koperasi-koperasi milik petani untuk penyaluran pangan ke lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat,” papar Agus.

Untuk jangka panjang, upaya perbaikan sistem pangan di Indonesia harus meletakkan kedaulatan pangan sebagai dasar. Saat ini, kecenderungan permasalahan pangan coba diarahkan agar tidak meletakkan petani sebagai kekuatan utama, melainkan korporasi besar.

"Bentuk-bentuk liberalisasi pangan seperti ini akan mempersulit kedaulatan pangan terwujud di Indonesia dan jelas tidak akan menyejahterakan petani,” tambahnya.

Pemerintah harus berkomitmen dan konsisten dalam menjalankan program-program yang berpihak pada petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.

Untuk itu, bisa mengacu pada Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan atau UNDROP. Hal ini, Agus nilai, sudah secara lengkap menjelaskan hak-hak petani yang harus dilindungi negara.

"Pada dasarnya dapat ditemukan program seperti reforma agraria untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Penting juga untuk persoalan lainnya terkait ekonomi, pemerintah perlu mendukung penuh dan mendorong kelembagaan ekonomi yang bersifat solidaritas dan kerakyatan seperti koperasi,” tutup Agus.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar