30 Maret 2023
16:24 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA – Guyuran insentif pembelian kendaraan listrik yang dilakukan pemerintah belakangan harus diikuti penguatan kebijakan lain. Terutana terkait infrastruktur pengisian daya dan pembatasan kendaraan konvensional.
Peneliti dari Institute for Energy Economics and Financial Analysist (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan program yang bertujuan mendorong masifnya penggunaan kendaraan listrik itu memang patut diapresiasi.
Namun, Putra menyebut dukungan kebijakan lainnya diperlukan karena program bantuan pembelian motor listrik maupun insentif fiskal mobil listrik punya tujuan penurunan konsumsi BBM impor, penurunan emisi, hingga mendongkrak industri berbasis nikel.
"Komitmen multi-years dalam hal ini dibutuhkan untuk mendukung ekspansi pasar EV berkelanjutan. Misalnya di India, program subsidi EV didesain sebagai program tiga tahunan," ungkap Putra di Jakarta, Jumat (30/3).
Penyusunan kebijakan pendukung dan komitmen multi-years, sambungnya, memang bukan hal yang mudah. Apalagi, Indonesia akan memasuki tahun politik pada 2024 mendatang. Karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait wajib mengawasi efektivitas bantuan untuk kendaraan listrik itu.
"Soal mendorong penggunaan EV, Indonesia sudah di arah yang tepat karena alternatif lain adalah terus menambah impor dan subsidi BBM. Namun, tetap dibutuhkan komitmen regulasi yang optimal untuk membentuk pasar EV dalam negeri yang signifikan," tuturnya.
Tak sampai situ, ia juga menilai pemerintah wajib mengantisipasi lonjakan penjualan EV yang justru tak beriringan dengan perkembangan pasar kendaraan listrik secara berkelanjutan. Pasalnya, masih ada risiko penurunan penjualan setelah pemberian insentif berakhir.
Putra menjelaskan, ada beberapa milestone yang jelas dan tren penurunan harga yang dapat menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Salah satunya ialah pelajaran dari negara lain dalam mengawasi dan mengoptimalkan insentif kendaraan listrik, termasuk mengantisipasi risiko penyelewengan insentif.
Kemudian, insentif juga dapat dibentuk secara progresif untuk mendorong teknologi tertentu yang memudahkan pengguna. Misalnya pengguna kendaraan dengan jarak tempuh yang lebih jauh, agar tingkat keselamatan bisa lebih baik maupun soal kemampuan penukaran baterai.
"Untuk itu, pembangunan infrastruktur soal EV harus didorong bersamaan dengan program insentif," kata Putra.
Putra tak menampik, adopsi kendaraan listrik memberi keuntungan bagi Indonesia, seperti menurunkan impor minyak, menekan emisi life-cycle dari sektor transportasi, serta meningkatkan performa industri nikel maupun turunannya.
Terkait pengurangan subsidi BBM, menurutnya hal itu akan bergantung kepada jenis kendaraan yang akan digantikan bahan bakar tersebut. Tapi ia melihat, perwujudan pengurangan subsidi BBM agaknya lebih mungkin terjadi pada segmen kendaraan roda dua. Ini karena besaran insentif untuk kendaraan roda empat, dinilainya tidak cukup menggoda pengguna mobil beralih ke kendaraan listrik.
"Dalam beberapa tahun terakhir juga banyak perusahaan motor listrik domestik yang bermunculan, sekalipun banyak dari mereka yang masih mengimpor komponen baterai yang digunakan," tandasnya.
Banjir Insentif
Seperti diketahui, pada tanggal 20 Maret, pemerintah mengumumkan besaran subisidi untuk kendaran listrik roda empat dan seterusnya. Hal itu sejalan dengan dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Berbagai ragam insentif kendaraan listrik yang diberikan pemerintah, dirasa menjadi momen tepat masyarakat untuk mulai memiliki kendaraan listrik, kendaraan masa depan. Saat ini, terdapat tujuh insentif khusus kendaraan listrik yang diberikan oleh pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri KeuanganSri Mulyani.
Di antaranya, tax holiday hingga 20 tahun, super tax deduction hingga 300%, bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang tambang, bebas PPN atas impor dan perolehan barang modal. Kemudian Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil listrik dalam negeri termasuk program Kemenperin dengan tarif 0%.
Lalu terdapat juga bea masuk 0%MKD melalui berbagai kerja sama FTE dan CEPA, dan biaya balik nama dan pajak kendaraan bermotor sebesar 90%. Pemerintah juga memberikan bantuan untuk konversi motor listrik dan pembelian baru dengan subsidi pembelian sebesar Rp7 juta per unit. Anggaran itu akan diberikan pada 2023-2024 dengan total nilai hingga Rp7 triliun.
Sri Mulyani sendiri mengumumkan keringanan berupa insentif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) kepada pembeli mobil listrik sebesar 10%, sehingga konsumen hanya perlu membayar 1% dari sebelumnya 11% yang ditetapkan pemerintah.
"Mobil listrik akan dapatkan potongan 10% biaya PPN, dengan syarat seperti yang sudah ditentukan yakni memiliki tingkat kandungan lokal sebesar 40%. Hal itu guna mempercepat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia," kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga memberikan keringanan kepada pemilik bus listrik yang sudah memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 20% hingga 40%, nantinya mendapatkan insentif PPN mencapai 5%, dengan begitu pemilik hanya dibebani biaya PPN sebesar 5%.
Masih dalam lokasi yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan untuk kebijakan insentif bantuan pemerintah terhadap kendaraan bus dipastikan pada 1 April mendatang, karena TKDN masih belum sampai dengan 40%.
"Karena bus itu masih banyak yang belum memiliki TKDN 40%," kata Luhut
Hingga saat ini, baru terdaftar dua merek yang memenuhi kriteria pemerintah untuk mendapatkan insentif yakni Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air EV. Meski begitu, Luhut mengajak semua produsen untuk mau memproduksi kendaraan listrik di Indonesia.
Sementara itu, Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, langkah pemerintah dalam memberikan insentif kendaraan elektrik di Indonesia diyakini dapat menyuburkan ekosistem kendaraan hijau di Indonesia.
"Pemberian insentif oleh pemerintah yang direncanakan akan keluar pada 20 Maret 2023 ini, bagi industri yang sudah mampu mencapai TKDN di atas 40% diharapkan menjadi langkah awal yang positif untuk mendorong perkembangan ekosistem mobil listrik di Indonesia," kata Yannes Martinus.