12 April 2025
09:30 WIB
Penambahan Kapasitas PLTU RI Bertentangan Dengan Tren Global
Rencana pengelolaan dan pemanfaatan batu bara RI dinilai tak sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris yang diteken tahun 2015 silam.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Khairul Kahfi
Pekerja berkomunikasi dengan operator alat berat pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Antara Foto/muhammad Iqbal
JAKARTA - Tumbuhnya kapasitas PLTU global mencapai titik terendah pada tahun lalu dengan kenaikan 44 GW di tengah rerata tahunan 72 GW tahun 2004-2024.
Dari pertumbuhan kapasitas PLTU tersebut, Indonesia menjadi negara peringkat ketiga yang berkontribusi paling besar dengan penambahan kapasitas 1,9 GW di tahun 2024.
Laporan Global Energy Monitor (GEM) bertajuk 'Boom and Bust Coal 2025: Tracking the Global Coal Plant Pipeline' menunjukkan, sebanyak 80% dari 1,9 GW itu merupakan PLTU yang dibangun perusahaan untuk kepentingan sendiri atau PLTU captive.
Pada laporan tersebut, Indonesia secara total memiliki 130 unit PLTU captive yang masing-masing berkapasitas minimum 30 MW dan telah beroperasi. Selain itu, ada 21 unit PLTU captive pada tahap pra-konstruksi dan konstruksi.
Baca Juga: Pengamat: EBT di Indonesia Belum Siap, Mustahil Pensiunkan PLTU Batu Bara
Sebagian besar PLTU itu dibangun untuk mendukung agenda hilirisasi mineral. Jadi tak heran, ada kenaikan kapasitas PLTU captive hingga tiga kali lipat dari 5,5 GW di 2019 menjadi 16,6 GW di 2024.
Peneliti Senior GEM Lucy Hummer menilai, ada ketidaksesuaian rencana pemanfaatan batu bara Indonesia dengan komitmen iklim yang sudah diteken.
Pasalnya sejak Paris Agreement disepakati tahun 2015 silam, PLTU di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 29 GW, sehingga Nusantara kini memiliki kapasitas PLTU terbesar nomor lima di dunia, yakni 54,7 GW.
Tak sampai situ, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060, terdapat penambahan kapasitas PLTU 26,7 GW untuk tujuh tahun ke depan. Dari rencana itu, sebanyak 75% di antaranya merupakan PLTU captive.
"Terdapat ketidaksesuaian antara rencana batu bara Indonesia dan komitmen iklimnya. Ini seperti tangan kiri tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan," ucap Lucy lewat keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (11/4).
Padahal tiga tahun lalu, Indonesia telah berkomitmen menghentikan pembangunan PLTU baru setelah 2022, serta menghentikan penggunaan batu bara secara nasional pada tahun 2050 sebagai bagian dari agenda transisi energi.
Baca Juga: Begini Nasib PLTU Dalam RUKN Yang Baru
Tapi sayangnya, moratorium itu tak berlaku bagi PLTU yang sudah masuk dalam rencana pasokan listrik nasonal dan PLTU yang dibangun guna menopang proyek strategis nasional yang memberi nilai tambah, seperti hilirisasi mineral.
Lucy menilai, PLTU captive punya risiko kesalahan pengembangan PLTU yang tersambung dengan jaringan milik PT PLN. Apalagi, jaringan milik PT PLN dalam satu dekade terakhir dibangun secara masif dan cepat, sehingga berakibat pada kelebihan kapasitas.
"PLTU captive berisiko mengulangi kesalahan pengembangan PLTU yang tersambung jaringan PT PLN yang dibangun secara masif dan cepat dalam satu dekade terakhir dan menyebabkan kelebihan kapasitas, perjanjian pembelian listrik jangka panjang yang mahal, serta berbagai kontroversi," tuturnya.
Omon-Omon JETP
Sementara itu, Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali mengungkapkan, pada dasarnya penutupan PLTU jadi bagian dari kesepakatan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Tetapi setelah tiga tahun JETP berjalan, belum ada kemajuan yang signifikan dari rencana pensiun dini PLTU batu bara. Bahkan, pemanfaatan baru bara di Indonesia justru semakin masif.
"Justru kini eksploitasi batu bara terus meningkat, PLTU batu bara captive berkembang tanpa kendali," kata Zakki.
Tak sampai situ, pemerintah kini juga punya kebijakan untuk memberi jatah kelola tambang kepada organisasi keagamaan, usaha kecil, hingga kampus yang berpeluang mendapat benefit dari dana tambang.
"Ini dapat memicu kerusakan lingkungan dan pemanasan global yang makin parah. Dengan kondisi ini, Indonesia berada di ambang kegagalan dalam transisi energi," jabarnya.
Baca Juga: RI Butuh US$30,33 Miliar Per Tahun Untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan
Pemerintah sendiri masih menjadwalkan operasional PLTU sampai tahun 2060 dengan adopsi teknologi co-firing dan teknologi injeksi karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).
Kemudian, ada rencana peremajaaan untuk PLTU yang telah beroperasi. Dalam rencana itu, PLTU bakal menggunakan amonia, biomassa, bahkan hingga nuklir. Lucy menilai langkah tersebut merupakan strategi yang mahal dan pengurangan emisi yang tidak pasti.
"Alternatif yang diusulkan kemungkinan besar lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Co-firing dengan biomassa dapat mendorong deforestasi, sementara CCS tetap menjadi solusi yang belum terbukti," pungkas Lucy.