18 November 2021
09:53 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2.714 triliun untuk belanja pemerintah baik pusat dan daerah 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjabarkan, anggaran sebesar itu akan terbagi untuk belanja pemerintah pusat mencapai Rp1.944,5 triliun. Sementara, belanja pemerintah daerah sebesar Rp769,6 triliun.
Dalam waktu dekat, imbuhnya, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) akan diserahkan kepada seluruh kementerian/lembaga (K/L). Penyerahan lebih awal agar pengguna anggaran dapat segera menyiapkan pelaksanaan belanja, sehingga dapat direalisasikan sejak awal 2022.
“Presiden akan menyampaikan penyerahan DIPA pada akhir bulan ini. Namun, Presiden telah menginstruksikan kepada seluruh K/L untuk mulai menyiapkan (belanja) di dalam pelaksanaan APBN 2022,” katanya dalam keterangan resmi, Jakarta, Rabu (17/11).
Untuk 2022, lanjutnya, Presiden juga menginstruksikan seluruh K/L untuk mencadangkan anggaran minimal 5% dari pagu anggaran, untuk mengantisipasi perkembangan situasi pandemi covid-19.
“Sehingga kalau sampai terjadi situasi seperti yang kita hadapi dengan (covid-19) varian delta di Juli–Agustus 2021, kita tidak perlu melakukan refocusing yang membuat disrupsi dalam pelaksanaan anggaran,” tandasnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Aliran Setiap Rp1 Juta Uang Pajak Masyarakat
Sementara itu, Menkeu juga sampaikan, pemulihan ekonomi di kuartal IV/2021 diperkirakan akan mengalami peningkatan cukup kuat. Terutama ditunjang dengan beberapa indikator.
Seperti peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen, peningkatan Indeks Penjualan Ritel, hingga peningkatan atau recovery PMI Manufaktur; sesudah mengalami penurunan akibat covid-19 varian delta.
Selain itu, lanjutnya, kinerja ekspor-impor Indonesia juga menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi, sebesar 50%. Untuk pasar keuangan, yield surat berharga mengalami perbaikan dengan spread yang menurun dari US Treasury.
“Tadinya, pada awal Juli 2021 spread-nya 512 bps atau basis poin, sekarang menurun menjadi 449 bps. Rupiah dan indeks harga saham (IHSG) juga mengalami perbaikan,” ujar Menkeu.
Potensi Tantangan Makroekonomi
Meski demikian, Sri Mulyani menyadari terdapat tantangan yang harus diwaspadai. Di antaranya kecenderungan inflasi atau kenaikan harga.
Saat ini, terjadi kenaikan harga produsen di sejumlah negara yang dapat menyebabkan kenaikan pada harga di tingkat konsumen. Untuk Indonesia, harga di tingkat produsen juga mengalami kenaikan 7,3%.
"Kalau di Eropa kenaikannya bahkan mencapai 16,3%; China 13,5%; Amerika Serikat 8,6%; dan (Republik) Korea 7,5%. Kenaikan harga produsen ini harus kita waspadai, agar tidak mendorong kenaikan inflasi pada tingkat konsumen,” ujarnya.
Kenaikan inflasi yang tajam, sebutnya, memicu Bank Sentral Amerika atau The Fed melakukan tapering off yang berpotensi mempengaruhi stabilitas sistem keuangan global.
Biasanya, sebut Menkeu, kenaikan federal funds rate (suku bunga The Fed) bisa menimbulkan potensi guncangan dari sisi capital flow terhadap negara berkembang. Begitu juga, menimbulkan ekses dari sisi nilai tukar.
"Indonesia juga harus berhati-hati dan waspada terhadap kemungkinan dinamika global yang berasal dari potensi tapering off ini,” ujarnya.
Baca Juga: Pejabat: Fed AS Bisa Percepat Laju Tapering
Dengan fondasi ekonomi yang terus diperkuat, pemerintah harap, akan memberikan kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi kemungkinan dinamika global tersebut.
Ia menyebut, pemulihan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga sudah cukup menunjukkan positivisme. Bahwa seluruh sisi permintaan, konsumsi, investasi, ekspor-impor, dan lainnya mengalami pembalikan (rebound) dan pemulihan (recover).
"Demikian juga dari seluruh sisi sektoral, baik di sektor perdagangan, manufaktur, pertambangan, konstruksi, akomodasi, transportasi, maupun pertanian dan infokom semuanya mengalami rebound dan recover di kuartal ketiga. Meskipun kita dihadapkan pada varian delta yang cukup berat,” pungkasnya.