c

Selamat

Sabtu, 20 April 2024

EKONOMI

21 Mei 2021

21:00 WIB

Pemerintah Perlu Harmonisasi Kerangka Implementasi Pajak Digital

Pengamat mendesak pemerintah mempunyai regulasi dan pembagian tanggung jawab penarikan PPN digital

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Nadya Kurnia

Pemerintah Perlu Harmonisasi Kerangka Implementasi Pajak Digital
Pemerintah Perlu Harmonisasi Kerangka Implementasi Pajak Digital
Foto PPN/Produk Digital/Netflix/Pajak/AntaraFoto

JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Pingkan Audrine Kosijungan menilai, pemerintah perlu melakukan beberapa hal untuk memperkuat payung hukum implementasi pajak digital.

Salah satunya dengan mengamandemen UU 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Terutama sejak pemungutan pajak digital diberlakukan 1 Agustus 2020 lalu. Barang dan jasa yang dijual perusahaan internasional berbasis digital wajib membayar pajak pertambahan nilai. Konsumen pengguna layanan dibebani PPN sebesar 10%.

"Urgensi mengamandemen beleid, karena UU terkait tidak melihat badan usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk pemungutan pajak di Indonesia. Hal tersebut akan menjadi masalah dalam kasus-kasus kepatuhan pajak di masa yang akan datang," katanya dalam keterangan pers, Jakarta, Jumat (21/5).

Adapun kewajiban pajak perlu diakui dalam UU, jika pihak yang tidak menjalankan kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi. Pemerintah perlu mempertimbangkan amandemen atas UU tersebut.

Berikutnya, Pingkan menyatakan, perlu adanya pembagian wewenang antar institusi yang jelas terkait implementasi pajak digital. Umumnya, kebijakan perpajakan Indonesia tetap menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak konvensional yang sulit diterapkan dalam ranah ekonomi digital.

UU 2/2020 menyatakan, penalti untuk pemungut PPN yang tidak patuh termasuk pemutusan akses operasional oleh Kemenkominfo. Namun, tidak ada peraturan lebih lanjut tentang implementasi aturan tersebut oleh Kemenkeu.

Terakhir, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dan efektif. Hal ini membutuhkan dialog antara pemerintah dan swasta dengan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan secara luas.

"Cara tersebut akan membantu menyediakan kepastian hukum untuk subjek pajak dan pemungut PPN. Proses ini juga akan membantu membangun kepercayaan dan menjembatani jarak antara Kemenkeu dan pelaku usaha," jelasnya.

Selain itu, Pingkan optimistis, cara ini juga akan membantu Kemenkeu beradaptasi dengan model bisnis digital yang kerap kali berubah sesuai perkembangan sektor digital.

“Ekonomi digital terus bergerak dinamis dan hal ini perlu direspon oleh regulasi yang responsif dan mampu menjawab permasalahan yang muncul,” ujarnya.

 

Tiga Tantangan Implementasi

 

Meski demikian, Pingkan mengidentifikasi ada tiga hal yamg menjadi tantangan dalam mengimplementasi kebijakan perpajakan digital untuk Indonesia.

Pertama, Penyelenggara Sistem Elektronik atau PSE lingkup privat yang menjadi sasaran wajib pajak untuk PPh nantinya dihadapkan pada situasi yang tidak menentu

Masih ada ketidakpastian menentukan proporsi keuntungan usaha yang didapat di Indonesia, serta bagaimana membagi hak pengenaan pajaknya dengan pihak berwenang di negara asal perusahaan tersebut.

 

Kedua, kewajiban PPN juga membutuhkan sistem yang berfungsi dengan baik untuk memungut, melaporkan, dan membayar PPN. Jika tidak, Indonesia bisa mengalami apa yang terjadi di Uni Eropa, kesulitan muncul akibat rendahnya kepatuhan dan kurangnya penegakkan pelaksanaan.

"Sementara itu, PMK 48/2020 tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus ketidakpatuhan," imbuhnya.

 

Ketiga, menyoal regulasi yang tumpang tindih, yakni PP 80/2019 dan tata cara pelaksanaannya dalam Permendag 50/2020 merumuskan persyaratan bagi PPMSE asing, untuk membuka Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A) di Indonesia.

Akan tetapi, ketentuan ambang batas minimum 1.000 transaksi pertahun tidak sesuai dengan kriteria yang ada dalam UU 2/2020, yang menyebutkan persyaratan berdasarkan jumlah penjualan dan bukan jumlah transaksi di Pasal 6 (7).

“Potensi pajak digital untuk pendapatan negara sebenarnya cukup besar. Apalagi semakin banyak bisnis berbasis offline bergeser menggunakan platform online. Walau demikian, kita juga patut memperhatikan kesiapan kerangka regulasi dan teknis implementasinya seperti apa,” tegasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar