02 Oktober 2025
11:20 WIB
Pemerintah AS 'Tutup', Rupiah Menguat Ke Rp16.609
Ekonom memandang penguatan rupiah dipengaruhi oleh sentimen penutupan pemerintah (government shutdown) AS. Penutupan ini turut menambah ketidakpastian pasar.
Editor: Khairul Kahfi
Petugas menjunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Jumat (2/1/2025). Antara Foto/Rivan Awal Lingga
JAKARTA - Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memandang penguatan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi oleh sentimen penutupan pemerintah (government shutdown) Amerika Serikat (AS).
Penutupan itu didorong oleh kebuntuan pendanaan belanja kesehatan, meningkatkan risiko keterlambatan rilis data ekonomi utama, termasuk jobless claims dan non-farm payrolls untuk September 2025, yang menurut Josua, turut menambah ketidakpastian pasar.
“Penutupan pemerintah AS juga telah merumahkan sekitar 750 ribu pegawai federal, dengan perkiraan kerugian ekonomi harian sebesar US$400 juta,” ujarnya melansir Antara, Jakarta, Kamis (2/10).
Baca Juga: Shutdown AS Dekat! Rupiah Diramal Menguat Tipis di Kisaran Rp16.620
Berdasarkan pembukaan perdagangan Kamis (2/10) di Jakarta, rupiah menguat 0,16% atau Rp26, dari sebelumnya Rp16.635 menjadi Rp16.609 per dolar AS.
Sementara itu, per pukul 10.48 WIB hari ini (2/10), Bloomberg melaporkan dolar AS melemah 0,13% atau turun sekitar Rp21 terhadap mata uang rupiah. Sementara ini, rupiah ditransaksikan Rp16.614 per dolar AS, dengan proyeksi pergerakan harian sekitar Rp16.593-16.618 per dolar AS.
Mengutip Sputnik, pemerintah federal AS kembali menjalani penutupan sebagian setelah Partai Republik dan Demokrat gagal mencapai kesepakatan mengenai pendanaan sementara sebelum batas waktu tengah malam.
Asal tahu, tahun fiskal 2024 telah berakhir pada 30 September, namun Kongres AS belum menyepakati anggaran untuk tahun mendatang.
Kebuntuan itu bermula dari ketegangan antara Partai Republik dan Demokrat di Senat, di mana Partai Republik tidak memiliki suara mayoritas yang dibutuhkan.
Senat Demokrat menolak versi resolusi berkelanjutan yang disahkan DPR AS yang akan mendanai pemerintah federal selama tujuh minggu tambahan, hingga 21 November.
Senat Demokrat berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) pendanaan yang digagas Partai Republik tidak cukup menjawab kekhawatiran mereka terkait kebijakan layanan kesehatan.
Baca Juga: Rupiah Menguat, Inflasi AS Buka Peluang The Fed Pangkas Bunga
Sebaliknya, Partai Republik berpendapat bahwa versi resolusi berkelanjutan mereka, yang bertujuan mencegah penutupan pemerintah, merupakan 'proposal bersih' yang mempertahankan tingkat pengeluaran saat ini sekaligus memberikan waktu tambahan untuk menegosiasikan RUU alokasi anggaran penuh untuk Tahun Anggaran 2025.
Saat ini, pasar disebut memperkirakan probabilitas 90% penurunan suku bunga The Fed sebesar 25 basis points (bps) pada Oktober, dengan peluang hampir 70% untuk penurunan lebih lanjut pada akhir tahun.
Di sisi lain, sentimen positif penguatan rupiah juga berasal dari surplus perdagangan Indonesia yang naik dari US$4,17 miliar menjadi US$5,49 miliar pada September 2025, yang sebagian besar disebabkan impor lebih lemah.
Sementara itu, inflasi tahunan meningkat dari 2,31% menjadi 2,65%, didorong oleh rebound harga pangan yang bergejolak dan inflasi inti lebih kuat.
“Untuk hari ini, rupiah diperkirakan akan diperdagangkan dalam kisaran Rp16.600-16.725 per dolar AS,” kata Josua.