09 Januari 2024
14:49 WIB
Penulis: Aurora K M Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pelaku industri hiburan, terutama lini bisnis spa dan refleksi, merasa keberatan dan menolak rencana pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan menjadi minimal 40% dan maksimal 75%.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menilai negara seperti ingin mematikan industri hiburan dengan membebankan tarif pajak yang tinggi, yakni threshold atau batas bawah sebesar 40%.
"Ini aneh (memajaki tinggi), negara malah mematikan usaha yang terkait dengan masyarakat, yang menyiapkan lapangan kerja besar. Enggak masuk akal gitu loh, apa dasarnya?" ujarnya kepada Validnews, Selasa (9/1).
Hariyadi menjelaskan industri hiburan merupakan salah satu sektor yang menyediakan banyak lapangan kerja sekaligus menyerap tenaga kerja. Utamanya, SDM Indonesia yang tidak dibekali pendidikan formal.
Dia mencontohkan bisnis hiburan seperti spa dan refleksi, karyawannya tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Asalkan terampil dan mau mempelajari teknisnya, SDM pasti bisa bekerja dan mendapatkan upah yang layak.
"Begitu terampil, dia kalau kerja di luar negeri penghasilannya bisa besar. Ini kan sesuatu yang negara saja tidak bisa menyediakan, kok pengusaha yang sudah mengambil inisiatif malah diganggu, diberi beban. Tak adil," seru Hariyadi.
Baca Juga: Pajak Hiburan Naik Jadi 40%, Mulai Berlaku Januari 2024
Oleh karena itu, Ketum GIPI kembali menegaskan tidak seharusnya negara membebani industri hiburan dengan menerapkan pajak tinggi. Apalagi, sambungnya, negara belum mampu menyediakan lapangan usaha yang luas bagi masyarakat, terutama yang hanya mengemban pendidikan nonformal.
"Di sektor hiburan, yang adalah usaha rakyat itu, memberikan lapangan pekerjaan untuk orang low education, jadi keterampilan yang didorong," tuturnya.
Lebih lanjut, Hariyadi kerap mempertanyakan dalil pemerintah yang memutuskan pajak hiburan minimal 40%. Menurutnya, pemerintah menganggap orang-orang yang menikmati hiburan, seperti kelab malam, karaoke, diskotek, memiliki kemampuan daya beli yang tinggi.
Padahal kenyataan di lapangan tidak begitu. Ketum GIPI bahkan memperhatikan mayoritas orang yang menikmati waktu bersantai atau leisure untuk pergi ke tempat hiburan berasal dari kelas menengah.
"Dulu dipandang, karena yang beli (hiburan) orang yang punya uang nih. Tidak juga, coba saja lihat apapun itu, hiburan kelab, karaoke, sekarang anak-anak muda, apakah penghasilan mereka tinggi? Kan enggak juga," katanya.
Karena alasan tersebut pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan, sedangkan pajak daerah lainnya tidak setinggi itu. Hariyadi merasa perlakuan perpajakan malah dikotak-kotakan.
"Kalau begitu ceritanya, perlakuan pajak bisa beda-beda dong. Misalnya PPN, mau barang itu dikonsumsi orang kaya dan orang miskin sama saja tarifnya 11% kan," ujarnya.
Asosiasi Akan Maju Intervensi
Hariyadi ingin menyuarakan keadilan bagi pelaku pebisnis. Mengingat saat ini, banyak pelaku industri bernaung dalam GIPI yang 'teriak' karena aturan tarif pajak terbaru dalam UU 1/2022.
Pasal 58 ayat (2) UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) menyatakan tarif PBJT atas jasa hiburan, mencakup diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
"Padahal sektor hiburan ini menyerap tenaga kerja sedemikian besar. Apalagi terapis-terapis, waiter, itu kelompok masyarakat yang perlu diperhatikan negara, makanya teman-teman (pelaku usaha) bereaksi," imbuh Ketum GIPI.
Baca Juga: DJP: Bukan Pusat, Pajak Konser Coldplay Diatur Pemda
Di antara banyak lini bisnis hiburan, Hariyadi menyebutkan spa atau refleksi teriak paling kencang. Mereka gusar karena jasanya dikategorikan sebagai hiburan dan kena pajak yang tinggi, padahal mereka menawarkan jasa kebugaran atau wellness.
Pelaku usaha spa pun mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi pada awal Januari 2024. Hariyadi menyampaikan pihaknya turut mendukung pelaku usaha dan akan ikut mengintervensi.
"Saya sebagai Ketum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sedang mempelajari gugatan mereka. Kemungkinan besar kami akan lakukan intervensi untuk mendukung mereka, kita akan pertimbangkan, arah kita adalah liat secara fair," tutur Hariyadi.