08 November 2023
15:09 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
YOGYAKARTA - Ombudsman mendeteksi adanya dugaan maladministrasi dalam penerbitan dan pelaksanaan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Atas temuan ini, Ombudsman membentuk tim pemeriksaan khusus pada Keasistenan Utama III untuk melakukan Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS) terhadap dugaan maladministrasi tersebut.
Temuan dugaan maladministrasi ini menurut Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika diketahui usai mengumpulkan keterangan pelapor, hasil pemantauan lapangan, dan data-data pendukung dari instansi terkait.
Adapun yang dinilai maladministrasi karena pertama, Ombudsman menemukan adanya pemberian dana biaya tanam bawang putih dari importir yang jumlahnya kurang dari kebutuhan petani.
“Hasil pemantauan Ombudsman di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung, biaya tanam bawang putih per hektar per musim tanam adalah Rp70 juta. Namun sejumlah importir hanya memberikan dana biaya tanam kepada petani pelaksana wajib tanam bawang putih sebesar Rp15 juta hingga Rp20 juta,” kata Yeka dalam keterangan resminya, Rabu (8/11).
Seperti diketahui, Kementan mewajibkan importir memperoleh RIPH untuk bisa mengimpor produk hortikultura, salah satunya bawang putih. Aturan ini juga telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2019 jo Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2020.
RIPH merupakan keterangan tertulis yang menyatakan produk hortikultura memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Sedangkan wajib tanam bawang putih merupakan salah satu bentuk kewajiban importir untuk melakukan pengembangan komoditas bawang putih dalam negeri yang merupakan komoditas strategis pascaterbitnya RIPH.
Baca Juga: Ombudsman Bakal Usut Selisih RIPH Dan SPI Bawang Putih
Kurangnya biaya wajib tanam yang dibutuhkan petani tersebut, menyebabkan petani harus menanggung sisa biaya tanam. Sehingga tujuan peningkatan nilai tambah dan daya saing produk bawang putih lokal sebagaimana diamanatkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis menjadi tidak optimal.
Temuan maladminsitrasi kedua yaitu adanya pengurusan wajib tanam bawang putih oleh importir melalui oknum calo. Temuan sementara di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung ditemukan seorang calo yang mengelola wajib tanam bawang putih untuk 16 perusahaan importir bawang putih, baik produsen maupun umum.
Keberadaan perantara atau calo juga dikhawatirkan akan mengurangi proporsi biaya tanam yang diterima petani dari perusahaan, sehingga budidaya bawang putih melalui kebijakan wajib tanam tidak berjalan dengan sesuai.
Ketiga, Ombudsman menemukan sejumlah perusahaan importir bawang putih yang tidak melakukan wajib tanam setelah memperoleh RIPH dan SPI.
“Terdapat modus importir yang tidak patuh terhadap ketentuan wajib tanam bawang putih setelah Surat Persetujuan Impor (SPI) miliknya terbit. Setelah dilakukan analisis, ternyata importir tersebut lebih memilih untuk membuat perusahaan baru untuk memohon impor di tahun berikutnya, daripada melaksanakan kewajiban wajib tanam bawang putih. Karena biaya untuk membuat perusahaan lebih rendah,” ungkap Yeka.
Sebagai informasi, biaya untuk membuat perusahaan impor baru sekitar Rp13 juta, sementara biaya ideal untuk melakukan wajib tanam bawang putih per hektare mencapai Rp70 juta. Modus ini menyebabkan tujuan peningkatan nilai tambah dan daya saing produk bawang putih lokal menjadi tidak optimal.
Temuan keempat yaitu, Ombudsman menemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih yang diketahui berdasarkan keterangan pelapor serta keterangan seorang importir saat pemantauan lapangan di Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung.
Menurut Yeka, keduanya mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementan berkisar antara Rp200 per kg hingga Rp250 per kg untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih yang sedang diurus.
Hal ini bertolak belakang dengan ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, tidak terdapat ketentuan mengenai biaya layanan RIPH.
Baca Juga: Plt Mentan Bakal Ungkap 140 Importir Bawang Putih yang Miliki RIPH
Temuan kelima yaitu, Yeka menyampaikan adanya penerbitan RIPH bawang putih melebihi rencana impor yang telah ditetapkan Pemerintah melalui Rakortas Kemenko Perekonomian.
“Pada saat penyerahan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI pada 17 Oktober 2023, pihak Kementerian Pertanian telah menerbitkan sekitar 1,2 juta ton RIPH bawang putih. Sedangkan kebutuhan rencana impor sebagaimana ditetapkan pada Rakortas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tanggal 25 Januari 2023 adalah sebesar 561.926 ton,” jelas Yeka.
Yeka pun menilai hal tersebut menunjukkan pengendalian impor komoditas bawang putih oleh Menteri Perdagangan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau legally non binding.
“Sehingga Kementan dapat menerbitkan RIPH bawang putih tanpa melihat instrument pengendalian impor,” ucap Yeka.
Investigasi Atas Prakarsa Sendiri ini merupakan tindak lanjut dari LAHP yang telah diterbitkan Ombudsman RI mengenai Maladministrasi Pemberian Surat Persetujuan Impor (SPI) bawang putih, pada 17 Oktober 2023.
Hasil dari Investigasi ini nantinya Ombudsman akan memberikan saran dan tindakan korektif kepada pemerintah guna peningkatan kualitas layanan penerbitan dan pelaksanaan RIPH bawang putih.