c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

03 November 2023

08:55 WIB

Ombudsman Minta Batas Penyerahan Kelengkapan Izin Usaha Sawit Ditunda

Ombudsman minta KLHK untuk menunda batas penyerahan kelengkapan izin usaha sawit karena adanya potensi maladminsitrasi.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

Ombudsman Minta Batas Penyerahan Kelengkapan Izin Usaha Sawit Ditunda
Ombudsman Minta Batas Penyerahan Kelengkapan Izin Usaha Sawit Ditunda
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK, Bambang Hendroyono saat ditemui wartawan di kantor Ombudsman, Selasa (31/10). ValidNews/ID/Erlinda PW

JAKARTA - Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menyarankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menunda batas penyerahan kelengkapan syarat perizinan bagi pengusaha sawit yang terindikasi menggunakan lahan ilegal di kawasan hutan, yang sebelumnya berakhir pada 2 November 2023.

Saran yang diajukan Yeka tersebut disampaikan melalui surat yang meminta agar Menteri LHK mengeluarkan diskresi untuk menunda batas akhir tersebut. 

Alasannya, menurut Yeka, kebijakan tersebut berpotensi maladministrasi mengingat masih banyaknya permasalahan terkait status kawasan hutan, dan masih memerlukan sejumlah pertimbangan.

“Ombudsman menyarankan Menteri LHK mengeluarkan diskresi penundaan batas ini dengan pertimbangan bahwa penatagunaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kementerian LHK yang sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah badan usaha/masyarakat untuk dapat dinyatakan berada dalam kawasan hutan atau tidak,” ujar Yeka dalam keterangan resminya, Jumat (3/11).

Pertimbangan kedua, menurut Yeka, yaitu permintaan persyaratan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit kepada badan usaha/masyarakat dapat dilakukan setelah selesai dilakukan penetapan kawasan hutan.

Baca Juga: Mahfud Ancam Pidana Perusahaan Yang Gelapkan Lahan Sawit

Yeka juga menyebutkan, jika badan usaha/masyarakat dinyatakan melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dengan adanya Penetapan Kawasan Hutan, maka dapat dilanjutkan dengan proses melengkapi persyaratan perizinan di bidang kehutanan.

“Diskresi dapat dilakukan dengan alasan-alasan objektif, yaitu alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak dan rasional, serta berdasarkan asas-asas umum pemerintah yang baik,” tutur Yeka.

Selain itu kata Yeka, permasalahan lain yang juga dirasakan oleh para petani sawit swadaya yaitu kepemilikan luas lahan. Para petani sawit swadaya dalam hal ini menurutnya hanya memiliki lahan seluas kurang dari 10 hektare.

“Mereka merasa kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan ketentuan UU Cipta Kerja. Hal tersebut tentu perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah,” imbuh Yeka.

Yeka mengatakan proses penentuan tenggat waktu 2 November 2023 adalah batas yang diambil dari tanggal diundang-undangkannya UU Cipta Kerja (UUCK) pada tahun 2020 mengacu UU Nomor 11 Tahun 2020. Kemudian dengan adanya Putusan MK tentang penundaan dan diubah dengan UUCK (2) yaitu UU Nomor 6 Tahun 2023. Menurut Yeka, selayaknya tanggal batas akhir juga dimulai dari pemberlakuan UUCK Nomor 6 tahun 2023 tersebut.

Hak Atas Tanah
Ombudsman menekankan bahwa pelaksanaan penatagunaan kawasan hutan harus menghormati hak masyarakat dan kepentingan nasional. Kementerian LHK perlu memperhatikan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tetap menghormati hak masyarakat. Dalam hal ini, penatagunaan kawasan hutan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan produk administratif yang berkaitan dengan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dan Pemerintah Daerah.

Ombudsman RI berpendapat bahwa usaha sawit perlu mendapat dukungan, baik dari ranah domestik maupun internasional.

“Beberapa tahun terakhir, usaha sawit mengalami tekanan akibat dampak pandemi covid-19, kebijakan subsidi, dan kebijakan ekspor. Hak atas tanah yang menjadi fondasi usaha perkebunan sawit, perlu ditata untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlanjutan usaha,” tegas Yeka.

Kemudian untuk pengenaan sanksi denda, menururt Yeka agar sebaiknya dilaksanakan dengan mekanisme yang meringankan untuk melindungi pelaku usaha sawit dari kebangkrutan. Hal ini dapat memberikan dampak lebih lanjut kepada perekonomian nasional, mengingat usaha sawit merupakan lapangan kerja yang cukup besar dan memberikan kontribusi ekonomi yang cukup signifikan.

Saran dan pendapat Ombudsman ini, sesuai ketentuan dalam Pasal 7 huruf e dan huruf g Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, bahwa salah satu tugas Ombudsman adalah melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya. Serta sebagai upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 

Baca Juga: CIPS: Masih Banyak Tantangan Ketertelusuran Sawit di Indonesia

Selanjutnya, Ombudsman RI akan membuat Policy Report yang mendorong kepastian hak atas tanah sebagai fondasi dalam usaha perkebunan sawit yang dapat mempengaruhi tata niaga sawit di Indonesia.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK, Bambang Hendroyono menyampaikan sebanyak 90% lahan sawit di kawasan hutan sudah mengurus izin untuk pelepasan status kawasan hutan. KHLH sendiri telah menetapkan waktu penyelesaian izin tersebut maksimal 2 November 2023, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).

Mengenai izin tersebut, KLHK Bambang bilang telah diatur menjadi dua melalui pasal 110 A dan pasal 110 B dengan target luas lahan yang selesai mengurus izin mencapai 3,37 juta hektare. Pasal 110 A diketahui mengatur lahan sawit yang telah beroperasi dan memiliki izin sesuai dengan perundang-undangan di bidang kehutanan, namun berada di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. 

Sedangkan pada pasal 110 B mengatur lahan sawit yang sudah beroperasi di kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi, namun tidak memiliki izin.

“Saya katakan, bisa 90-95% udah selesai (perizinan) di 110 A,” kata Bambang saat ditemui wartawan di kantor Ombudsman, Selasa (31/10).

Bambang sendiri mengaku pihaknya harus melakukan sistem jemput bola atau mendatangi lanngsung pemilik lahan sawit untuk mengurus perizinan.

“Kita kejar Kalimantan Tengah dan Riau untuk selesai di tanggal 2 November 2023 dan itu bisa 80% dari 110A. Sisanya kita kejar di Jambi, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Kepulauan Riau Bangka Belitung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, itu kecil-kecil,” jelasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar