22 Januari 2024
18:59 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menyebut anak muda sudah terliterasi secara digital.
Hal itu tercermin dari mereka yang dapat mudah mengakses beragam informasi hanya lewat genggaman tangan saja.
Akan tetapi, menurutnya, anak muda masih belum terliterasi keuangan secara digital atau Digital Financial Literacy (DFL).
Dikutip dari laman sikapiuangmu.ojk.go.id, DFL merupakan pengetahuan, keterampilan, keyakinan, dan kompetensi untuk menggunakan produk dan layanan keuangan digital dengan aman untuk membuat keputusan keuangan yang baik.
"Anak muda sudah literate, mereka kan biasa pakai dengan jempolnya itu bisa berselancar ke mana saja. Cuman yang belum mungkin Digital Financial Literacy. Jadi tentang literasi keuangan secara digital," kata perempuan yang akrab disapa Kiki usai Kegiatan Edukasi Keuangan Bagi Pelajar Tingkat SMA/Sederajat di Wilayah Jakarta Selatan, Senin (22/1).
Padahal, kini banyak produk keuangan digital yang ditawarkan. Tapi karena tidak terliterasi keuangan secara digital, maka generasi muda justru mengakses produk keuangan yang ilegal.
"Kalaupun mereka mengakses (produk) yang legal, itu kadang-kadang mereka belum bijaksana dalam penggunaannya," imbuhnya.
Baca Juga: Paylater, Fitur Favorit Generasi Z
Ia memberikan contoh generasi muda yang menggunakan pinjaman online (pinjol) atau buy now pay later (BNPL) alias paylater untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan, seperti membeli makan atau pakaian.
Memang, berdasarkan pengamatan OJK, anak muda biasanya akan tertarik pada produk-produk yang konsumtif.
Kiki menilai bahwa mereka menyadari kalau pinjaman yang mereka ajukan akan menjadi utang yang harus tetap dibayar.
Terlebih, BNPL telah terkoneksi di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK atau sebelumnya dikenal BI Checking. Sehingga, jika telat bayar atau kredit macet, maka akan mempengaruhi skor kredit.
Kiki pun menyayangkan hal itu. Lantaran skor kredit dalam SLIK ternyata juga dapat mempengaruhi ketika mencari kerja.
"Kalau cari kerja, HR akan ngecek, itu nyangkut di mana. Kalau pejabat itu dilihat waktu fit and proper integritas keuangannya," ungkapnya.
Oleh karena itu, OJK sebagai regulator mengajak agar anak-anak atau generasi muda dapat bertanggung jawab secara keuangan.
Baca Juga: Perketat Aturan PayLater, OJK Minta PUJK Lakukan Ini
Pengaruhi KPR
Selain mempengaruhi ketika mencari kerja, kredit macet juga dapat mempengaruhi ketika akan mengajukan kredit ke bank, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Kita dapat info dari satu bank yang menyediakan kredit perumahan untuk masyarakat. Mereka menyampaikan banyak anak-anak muda ini yang krmudian tidak bisa dapat KPR karena mereka sudah nyangkut di utang kayak BNPL gitu. Padahal, utangnya mungkin cuma Rp300 ribu, Rp500 ribu tapi (skor) kreditnya jadi jelek," katanya.
Berdasarkan market update bulanan dari data yang ada di BNPL, kata Kiki, menyatakan bahwa konsumen BNPL terbilang unik.
Pasalnya, ada konsumen yang memiliki cicilan per bulan sudah sampai rata-rata 95% dari penghasilan.
"Berarti ada yang sudah 150% dari penghasilan dia untuk bayar cicilan. Padahal kalau di bank itu maksimal 30% dari penghasilan untuk mengajukan KPR. Misal gaji Rp10 juta, ya maksimal buat cicilan itu 30%. Kalau gajinya itu Rp10 juta tetapi Rp9,5 juta buat bayar utang itu gimana dia tiap hari kehidupannya," terang dia.