c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

EKONOMI

11 Juni 2022

18:00 WIB

Musim Ujian Usaha Rintisan

Badai PHK yang menerjang startup, hanyalah bagian langkah efisiensi demi memperpanjang napas di tengah ketidakpastian ekonomi.

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Fitriana Monica Sari,Wiwie Heriyani,

Editor: Fin Harini

Musim Ujian Usaha Rintisan
Musim Ujian Usaha Rintisan
Ilustrasi Startup. Dok Envato

JAKARTA – Kehadiran pandemi covid-19 buat beberapa sektor usaha, menjadi ‘angin segar’. Di antara yang mendapat peluang adalah start up atau usaha rintisan di bidang pembelajaran, layanan delivery, ataupun logistik. Kebijakan pemerintah untuk membatasi pertemuan fisik menjadi pemantik bisnis perusahaan rintisan di tiga bidang itu bersemi.

Namun, beberapa perusahaan justru sebaliknya, terkendala untuk berusaha. Ini yang menyebabkan sejumlah usaha rintisan justru layu sebelum berkembang. Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) santer menghantam tubuh startup di Indonesia, mulai dari JD.ID, LinkAja, hingga Zenius.

Restrukturisasi menjadi alasan yang sering terdengar di setiap pemberitaan. Performa keuangan yang tak menggembirakan membuat perusahaan harus melakukan efisiensi. Pilihan menyesakkan ini harus diambil. Tujuannya tak lain agar napas perusahaan bisa bertahan lebih panjang.

Dari sekian banyak opsi, PHK memang menjadi salah satu pilihan efisiensi, di samping mengurangi sejumlah aspek. Ada marketing budget, peluncuran produk baru, atau bahkan ekspansi ke daerah baru yang dipaksa untuk tak dilakukan.

Langkah efisiensi melalui layoff turut dilakukan oleh Zenius. Platform pembelajaran yang sudah settled setidaknya sejak 2007 lalu itu, mengumumkan pemutusan hubungan kontrak dengan lebih dari 200 karyawannya. Banyak yang tak menyangka perusahaan ini melakukannya.

CEO Zenius Rohan Monga beberapa waktu lalu mengungkapkan langkah PHK karyawan terpaksa ditempuh. Perusahaan turut merasakan pil pahit kondisi makro ekonomi yang terpuruk akibat pandemi. Rohan menyebut pihaknya harus melakukan konsolidasi dan sinergi proses bisnis untuk memastikan keberlanjutan.

"Setelah melalui evaluasi dan review secara komprehensif, Zenius mengumumkan lebih dari 200 karyawan harus meninggalkan perusahaan," imbuhnya lewat keterangan resmi, Selasa (24/5).

Pada momen yang sama, startup pelat merah PT Fintek Karya Nusantara atau yang akrab dikenal dengan LinkAja pun dikabarkan melakukan hal sama. PHK dilakukan terhadap kurang dari 200 karyawan mereka.

Kepada Validnews, Selasa (24/5), Head of Corporate Secretary Group LinkAja Reka Sadewo membenarkan kabar itu. Reka menyebut PHK dilakukan sebagai bentuk kebijakan untuk penyesuaian fokus dan tujuan bisnis perusahaan.

Perubahan itu, lanjut Reka, akan berpengaruh pada aspek-aspek operasional perusahaan. Salah satunya ialah reorganisasi SDM. Dalam hal ini, penyesuaian organisasi dilakukan atas dasar relevansi fungsi pada kebutuhan dan fokus bisnis.

"Tentunya ini krusial dilakukan, untuk memastikan perusahaan bisa tumbuh optimal dengan ditopang oleh SDM yang efisien dan sesuai dengan fokus dan target perusahaan ke depannya," imbuh Reka.

Tak sampai sepekan kemudian, kabar PHK juga kembali datang dari startup e-commerce, JD.ID. Senada dengan startup lainnya, Director of General Management JD.ID pun menjelaskan hal tersebut dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap operasional bisnis.

Upaya restrukturisasi pun turut dijalankan perusahaan sebagai bentuk efisiensi agar bisa bertahan di tengah kondisi perekonomian global yang kurang baik. Sayangnya, tak ada angka pasti terkait jumlah karyawan yang terdepak dari JD.ID.

"Kami mengambil juga keputusan seperti tindakan restrukturisasi, yang mana di dalamnya terdapat pengurangan jumlah karyawan," ucap Jenie.

Efisiensi
Kini akibat kondisi pandemi covid-19 masih terasa. Ditambah lagi dengan adanya perang di wilayah Eropa Timur, kondisi perekonomian secara global diwarnai ketidakpastian. Hal-hal itu membuat startup digital mau tidak mau untuk melakukan efisiensi demi keberlanjutan perusahaan.

Dana yang didapat dari investor pun harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk bertahan. Jika dahulu start up berani untuk jor-joran menghamburkan uang untuk promosi ataupun peluncuran produk baru pada masa ini sepertinya hal sama sulit diulang.

Memaksakan diri pun bukan pilihan bijak. Sebab, jika praktik bakar duit tetap dilakukan, startup bakal sulit mendapatkan kepercayaan investor. Penanam modal juga tengah berhati-hati dan menjadi lebih selektif.

"Akibat pandemi dan perang, ada yang namanya kenaikan harga barang. Lalu, akibatnya ke tingkat suku bunga yang juga berdampak pada cost of capital yang lebih mahal bagi investor sehingga dana yang tersedia untuk investasi jadi terbatas," ulas Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO) Eddi Danusaputro menyikapi kondisi ini, saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Kamis (9/6).

Eddi meyakini, saat ini startup sudah mulai sadar, tak lagi mudah mendapatkan investasi. Untuk itu, dana yang mereka miliki saat ini harus bisa memperpanjang nafas. Misalnya jika dana hanya cukup untuk operasional selama enam bulan, maka harus dipaksakan agar cukup untuk 12 bulan.

Efisiensi pun menurutnya mutlak harus dilakukan oleh perusahaan. Karena itu, masih menilai positif gelombang PHK perusahaan rintisan. Badai PHK tersebut diyakini menghasilkan efisiensi demi keberlanjutan perusahaan.

"Kita sebagai investor justru apresiasi. Dalam hal ini, kita bukan mensyukuri adanya PHK, tetapi kita apresiasi jika ada founder atau manajemen startup yang berani mengambil tindakan seperti efisiensi karena yang terpenting adalah survive, ketimbang harus tutup," kata dia.

Eddi mengamini, efisiensi menjadi langkah penting startup untuk bertahan. Cara membakar uang dalam rangka promosi ataupun peluncuran produk baru guna mendapat customer sudah harus ditinggalkan.

"Agak sulit kalau kita menggeneralisasi bahwa pandemi awal dari permasalahan dunia startup. Karena pada dasarnya, startup itu harus jor-joran bakar uang untuk mendapat customer. Hal ini harus diubah menuju lebih profitability," ujarnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengamati fenomena ini. Dia menilai, investor saat ini akan lebih berhati-hati untuk menanamkan modalnya di startup, khususnya yang bergerak di e-commerce.

Menurutnya, startup e-commerce hingga kini masih gemar menerapkan banyak promo atau diskon yang menghamburkan uang. Bahkan banyak yang melakukannya dengan menggerus laba mereka. Bhima tak menampik asumsi, sejumlah perusahaan e-commerce banyak yang hingga kini belum mendapat untung. Banyak pula dianggap sebagai perusahaan yang over value.

"Lalu di sektor transportasi online juga hanya menyisakan dua startup. Artinya, lebih berat bagi pemain baru untuk masuk di transportasi online karena modalnya tidak kecil," ucap Bhima kepada Validnews, Rabu (8/6).

Optimalisasi Dana
Berhemat untuk bertahan, serta fokus mengusung kekuatan yang dimiliki, disebut Zenius menjadi jalan ninja mempertahankan diri. CEO Zenius Rohan Monga pun menegaskan pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankan keberlangsungan perusahaan yang berdiri sejak 2004 lalu.

Upaya keras itu tak lepas dari catatan di mana banyak bisnis digital yang mengalami kenaikan pesat ketika pandemi, termasuk edtech. Untuk Zenius, jumlah penggunanya melesat lebih dari lima kali lipat ketika pandemi dibandingkan pada masa normal.

Asal tahu saja, Zenius secara kumulatif telah meraup pendanaan lebih dari US$40 juta atau di kisaran Rp575 miliar hingga saat ini. Pendanaan itu berasal dari beberapa investor besar, mulai dari Northstar Group, Alpha JWC, Openspace Ventures, Beenext, Kinesys Group, Bacon Venture Capital, hingga MDI Ventures.

"Selain keberlanjutan bisnis, kami juga fokus menghadirkan layanan yang memberikan dampak berkelanjutan pada para pengguna lewat ekosistem pembelajaran yang komprehensif, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, maupun mahasiswa/profesional," tandas Rohan kepada Validnews di Jakarta, Senin (6/6).

Menyiasati kondisi dunia usaha yang tak kondusif ini, LinkAja juga berupaya menguatkan adopsi layanan keuangan digital dan percepatan inklusi keuangan di Indonesia. Apalagi, LinkAja sudah mengantongi pendanaan dari berbagai pihak sebelum badai PHK yang menerpa.

Gojek mengumumkan investasi strategis di LinkAja pada Maret 2021 lalu. Melalui investasi dari Gojek itu, LinkAja berhasil menggalang dana lewat penerbitan saham preferen Seri B yang kini mencapai total komitmen lebih dari US$100 juta. CEO LinkAja Haryati Lawidjaja kala itu menegaskan investasi strategis itu menjadi validasi lebih lanjut atas pertumbuhan dan kemajuan perusahaan.

"Bergabungnya Gojek sebagai salah satu pemegang saham strategis akan memberikan akses bagi LinkAja ke ekosistem Gojek untuk mendukung misi perusahaan dalam mempercepat inklusi keuangan di Indonesia," papar Haryati saat LinkAja menerima suntikan dana tersebut.

Tentu ini bukan kali pertama LinkAja mendapat suntikan dana segar. Akhir 2020 lalu, LinkAja juga telah mengumumkan investasi strategis dari Grab, Telkomsel, BRI Ventura Investama, dan Mandiri Capital Indonesia. Dalam pendanaan itu, telah disepakati total komitmen di kisaran US$100 juta.

Haryati menyatakan, pihaknya terbuka berkolaborasi bagi investor dan partner lainnya dari berbagai sektor dengan visi dan misi yang sejalan. Yang disasar adalah memacu kesejahteraan dan kemandirian masyarakat lewat akselerasi inklusi keuangan dan ekonomi.

Pada saat sama, sejumlah usaha rintisan bisa peroleh peluang dari pendemi. Potensi berkembang dialami startup pertanian yang baru berdiri sejak 2021 kemarin, Eratani. Saat ini, Eratani punya sejumlah investor, mulai dari Trihill Capital, beberapa Prominent Angel Investor dari Kopi Kenangan, dan institusi lainnya.

Head of Marketing & Brand Eratani Ricky Fachri merinci bahwa total investasi hingga saat ini mencapai US$1,6 juta atau di kisaran Rp23 miliar. Sementara nilai valuasi, saat ini masih dalam tahap kalkulasi mengingat Eratani masih dalam tahap pre-seed.

Ricky mengatakan, suntikan dana dari investor akan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mengembangkan ekosistem pertanian secara terintegrasi dari hulu ke hilir dengan pemanfaatan teknologi. Kini Eratani telah memiliki lebih dari 5.000 petani binaan.

"Saat ini Eratani memiliki 5000+ petani binaan dan mayoritas datang dari pulau Jawa. Selain itu, Eratani telah melakukan ekspansi ke pulau Sulawesi lebih tepatnya di Makassar. Dalam semester 2 di tahun ini, Eratani juga akan melakukan ekspansi ke pulau Sumatera dan Kalimantan," ujar Ricky kepada Validnews, Rabu (8/6).


Memikat Investor
Dari dampak pandemi terhadap usaha rintisan, Eddi Danusaputro mengingatkan para pelaku usaha ini di sektor digital harus pandai-pandai menarik minat investor untuk menanamkan modalnya. Yang dijaga, Setidaknya uang investor bisa kembali meskipun hanya mendapat keuntungan minim.

Menurut Eddi, return menjadi penting di mata investor, baik itu 100%, 200%, atau bahkan 300%. Namun alangkah baiknya jika investor startup bisa melampaui harapan investor. Misalnya melalui IPO, sehingga lebih profitable.

"Jadi, tolong dipikirkan itu untuk roadmapnya, exceednya, dan bagaimana caranya. Exceed ini kan banyak jenisnya, misalnya IPO yang bisa menjadi profitable, itulah yang harus dipikirkan," sebut Eddi.

Selain itu, Eddi juga meyakini bahwa inovasi tetap harus dijalankan agar investor tertarik menanamkan modalnya. Investor diyakininya akan meminta startup agar jangan berhenti untuk berkreasi. 

Namun pada saat sama, penanam modal juga berpesan agar usaha rintisan jangan terlalu agresif di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian seperti saat ini.

"Startup sekarang ini kan inginnya nyebrang dan ekspansi ke mana-mana, itu juga harus di-manage," selorohnya.

Di mata Bhima Yudhistira, investasi di startup masih sangat menjanjikan. Mereka yang bergerak di sektor-sektor potensial, menurutnya akan survive dan berkembang.

Di sisi lain, Bhima meyakini ada tantangan dari take bubble, yakni seleksi alam di mana gelembung usaha rintisan mengakibatkan banyak perusahaan mengubah lini produk dan lini bisnis. Mereka yang bisa bertahan dari gelembung, maka bisa menjadi pemenang di sektor masing-masing.

Bagi para penanam modal, dia mengingatkan ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan sebelum berinvestasi, utamanya adalah terkait kesehatan kinerja dan laporan keuangan perusahaan.

"Harus dilihat dulu bagaimana kinerja dan laporan keuangannya, apakah dalam posisi mendapat pendanaan atau sebenarnya hanya membuang uang investor dalam promo dan diskon yang berlebihan," tuturnya.

Dia mengingatkan juga agar penanam modal melihat kapabilitas tim dan founder startup, yakni harus solid, punya jiwa kepemimpinan, dan visi yang jelas. Lalu, faktor marketable product juga dapat menjadi pertimbangan mengingat 34% kegagalan startup disebabkan produknya yang tak diminati konsumen.

"Kemudian berikutnya lagi apakah dia masuk ke sektor yang sudah jenuh atau sektor yang blue ocean, atau sektor yang masih terbuka lebar bagi pendatang baru, itu juga menjadi pertimbangan," tambah Bhima.

Menyitir pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa tahun sebelum pandemi bahwa ‘winter is coming’ sebagai pengingat bersiap akan turbulensi ekonomi, Eddi meyakini bahwa saat ini 'winter is already here’.   

Dia meyakini bahwa valuasi start up akan tetap turun dan growth akan terhambat secara global, baik akibat pandemi atau perang.

Namun, dia mewanti-wanti pula para pelaku usaha rintisan. Opsi yang diambil harus lah matang, seperti halnya diefisiensi. 

"Jangan fokus terhadap PHK-nya saja, itu hanya salah satu bagian efisiensi. Saya perkirakan hingga tahun depan pun menurut saya likuiditas masih tetap challenging," katanya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar