24 Agustus 2023
08:38 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong negara-negara Asia Tenggara agar segera memiliki skema pendanaan transisi energi mengingat kebutuhan investasi yang sangat besar.
Dalam diskusi ASEAN Chairmanship 2023 Side Event secara daring, Arifin menyebut harus ada keberlanjutan dana guna mencapai target bauran EBT di ASEAN. Menurutnya, ada beragam skenario pendanaan yang bisa diterapkan, salah satunya ialah blended finance.
"Bentuknya bermacam, seperti hibah, pinjaman lunak dengan persyaratan yang menguntungkan, serta investasi bersama," ucap dia lewat siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (23/8).
Baca Juga: ESDM: Indonesia Manfaatkan Pembiayaan Campuran Kejar Transisi Energi
Skema lain yang dapat diterapkan ialah Public-Private Partnership atau kolaborasi antara pemerintah dan swasta, hingga pemanfaatan international funding seperti dana perubahan iklim untuk pengembangan potensi sumber daya energi bersih.
Menurut dia, pentingnya skema pendanaan untuk transisi energi tak lepas dari perhitungan International Renewable Energy Agency (IRENA), di mana kebutuhan dana agar bauran EBT di ASEAN mencapai 100% tahun 2050 sebesar US$29,4 triliun.
"Investasi sebesar itu diperuntukkan untuk pengembangan pembangkit listrik EBT, penyediaan jaringan transmisi listrik, biofuel, pengembangan ekosistem kendaraan listrik," kata Menteri Arifin.
Anggota ASEAN, sambung Arifin, juga wajib memiliki kerangka kebijakan yang jelas, termasuk dalam penyusunan regulasi energi jangka panjang. Hal itu ditujukan supaya ASEAN menjadi wilayah yang kondusif bagi para investor untuk menanamkan modal mereka.
"ASEAN harus jadi wilayah yang kondusif bagi investor lewat dukungan kebijakan fiskal seperti insentif pajak untuk mendorong investasi energi terbarukan, proyek energi, dan teknologi hemat energi," tambahnya.
Selain itu, transparansi prosedur investasi pun seyogianya diterapkan oleh ASEAN untuk meningkatkan minat investor. Transparansi itu salah satunya bisa diimplementasikan dengan proses perizinan lewat sistem online.
"Saya yakin bahwa memperkuat kemitraan di antara negara-negara anggota ASEAN, seperti serta antara pemerintah dan industri, akan meningkatkan ketahanan energi dan pengembangan energi bersih menuju karbon netral," imbuh Arifin.
CCS/CCUS
Lebih lanjut, Arifin tak menampik bahwa dalam proses transisi, sumber energi fosil masih tetap dibutuhkan sehingga teknologi Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage (CCS/CCUS) menjadi penting diterapkan di ASEAN.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan kapasitas yang besar untuk CO2 storage, yakni mencapai 12 miliar ton. Beriringan dengan potensi itu, saat ini Pemerintah Indonesia punya 15 proyek CCS/CCUS yang digarap maupun masuk tahap studi.
"Teknologi CCUS penting untuk mitigasi emisi karbon dari industri yang menentang didekarbonisasi, termasuk industri minyak dan gas bumi," ujarnya.
Baca Juga: Melihat Peran Gas Bumi Sebagai Jembatan Transisi Energi
Dari aspek regulasi, Indonesia sudah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Kemudian, saat ini tengah disusun beleid yang mengatur penerapan CCS/CCUS yang tak sekedar diterapkan pada sektor minyak dan gas bumi.
Untuk itu, dia mendorong keaktifan negara anggota ASEAN dalam pengembangan teknologi CCUS, seperti dengan peningkatan investasi dalam penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan efisiensi dan keterjangkauan, hingga pembentukan aturan main CCS/CCUS lintas negara.
"Aturan diperlukan untuk mengatur implementasi CCS Hub di luar wilayah kerja migas, dan terbuka transportasi lintas batas memungkinkan emisi lintas negara," tandas Menteri Arifin Tasrif.