28 Oktober 2025
08:38 WIB
Menperin: Industri Karet dan Alat Angkut Butuh Kebijakan Khusus
Menperin Agus mengatakan regulasi harus diarahkan untuk mengangkat subsektor yang pertumbuhannya berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk industri karet dan alat berat.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita memberikan arahan dalam rapat kerja di Kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (27/10). ValidNewsID/Ahmad Farhan Faris
JAKARTA - Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, regulasi merupakan instrumen vital dan penting dalam rangka menentukan arah dan kecepatan dari proses industrialisasi.
Saat ini, kata dia, masih banyak regulasi yang tertunda, tidak sinkron, tumpang tindih, bahkan tidak ada regulasi sama sekali dalam menuntun arah industrialisasi di Indonesia.
“Tentu hal ini akan menghambat investasi, memperlambat pembangunan kapasitas produksi, dan membuat industri nasional kesulitan bersaing dengan produk-produk impor,” kata Agus saat Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Tahun 2025 di Kantor Kementerian Perindustrian pada Senin (27/10).
Menurutnya, regulasi menjadi sangat penting lantaran menjadi enabling factors bagi industri. Pertumbuhan industri hanya bisa dihadirkan dengan regulasi yang selaras dan harmonis.
Oleh karena itu, Agus menekankan perlunya percepatan regulasi baru, apalagi regulasi yang dianggap harus muncul selama ini namun belum tersedia, terutama pada sektor-sektor strategis yang pasti membutuhkan kepastian hukum untuk manufaktur bisa tumbuh.
Namun, kata dia, regulasi yang diterbitkan tidak boleh kaku. Sinkronisasi harmonisasi juga perlu dilakukan, sehingga tidak ada tumpang tindih. Selain itu, tidak boleh justru menjadi beban tambahan bagi pelaku industri, melainkan regulasi yang sifatnya smart regulation.
“Pengertian saya berkaitan dengan smart regulation adalah regulasi yang sederhana, adaptif, dan pro-pertumbuhan. Regulasi pintar ini harus mampu menutup celah impor yang merugikan, sekaligus membuka peluang baru bagi industri domestik untuk tumbuh dan meningkatkan daya saing,” ujarnya.
Baca Juga: Menperin: SBIN Sanggup Bawa Industrialisasi RI Tahan Goncangan Global
Menurut dia, regulasi harus diarahkan untuk mengangkat subsektor industri yang pertumbuhannya masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Kata dia, beberapa subsektor strategis seperti industri karet dan industri alat angkut harus diakui membutuhkan dukungan kebijakan khusus.
Industri karet misalnya. Agus menjelaskan, meskipun Indonesia adalah produsen karet alam terbesar kedua di dunia, tapi selalu saja menghadapi masalah-masalah klasik berupa harga yang fluktuatif, hilirisasi yang terbatas, serta rendahnya diversifikasi produk-produk olahan.
“Tanpa regulasi yang jelas mengenai penggunaan karet domestik, standar kualitas, dan insentif bagi industri hilir karet seperti ban, sarung tangan, produk medis, komponen industri, potensi besar dari subsektor karet nasional akan terus terbuang,” jelas dia.
Selain itu, Agus menambahkan industri alat angkut, khususnya otomotif dan perkapalan juga masih menghadapi tantangan yang cukup berat. Pertumbuhan industri ini belum sebanding dengan kapasitas pasar domestik maupun kebutuhan transportasi nasional. Dengan regulasi yang tepat, industri alat angkut dapat menjadi penggerak pertumbuhan dan menciptakan backward-forward linkages yang kuat dan luas.
“Untuk itu, kita membutuhkan regulasi afirmatif yang mendukung peningkatan kandungan lokal, mendukung investasi pada industri komponen, serta memberikan insentif bagi perusahaan yang melakukan modernisasi teknologi,” ungkapnya.
Lebih jauh lagi, Agus menekankan Kementerian Perindustrian juga harus memperhatikan dan memastikan regulasi lintas kementerian/lembaga untuk mendukung pertumbuhan industrialisasi secara optimal dan cepat.
Misalnya, regulasi mengenai energi ini harus dikoordinasikan dengan Kementerian ESDM untuk mendukung ketersedian energi yang berkelanjutan dan murah. Regulasi mengenai lahan industri memerlukan koordinasi dengan ATR/BPN, insentif fiskal dari Kementerian Keuangan, kebijakan perdagangan dari Kementerian Perdagangan, serta dukungan riset dari BRIN agar mampu menciptakan teknologi yang dibutuhkan dalam proses produksi.
“Kantor kita ini (Kemenperin.red) tidak boleh pasif, tetapi harus terus aktif fight, berjuang di forum lintas kementerian/lembaga untuk memperjuangkan kepentingan industri nasional,” ungkapnya.
Backward dan Forward Linkages sebagai Kerangka Operasional
Agus menambahkan, Strategi Baru Industrialisasi Nasional (SBIN) menekankan pembangunan industri hanya akan berhasil apabila setiap sektor tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling terhubung dalam rantai nilai yang utuh.
Pada hakikatnya, lanjut dia, industrialisasi adalah tentang membangun keterkaitan yang produktif antara hulu dan hilir, antara penyedia bahan baku dan produsen barang jadi, serta antara dunia usaha besar dengan UMKM dan masyarakat desa.
“Inilah esensi yang disebut backward linkage dan forward linkage,” ucapnya.
Backward linkage memastikan industri di hilir tidak berdiri di atas kekosongan, melainkan ditopang oleh basis hulu yang kuat, mulai dari pasokan bahan baku, dukungan infrastruktur logistik, ketersediaan energi, hingga sistem distribusi input yang efisien. Sebaliknya, forward linkage memastikan produk yang dihasilkan di hulu dan antara memiliki pintu masuk ke berbagai sektor hilir, baik untuk konsumsi domestik maupun pasar ekspor.
“Jika keduanya ini bisa dihubungkan dan dibangun dengan kuat, maka terbentuklah ekosistem industri yang saling menghidupi dan menciptakan efek berganda multiplier effect yang luas bagi manufaktur dan nantinya bagi pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Baca Juga: Menperin Prioritaskan Perlindungan Pasar Domestik Sekaligus Kejar Pasar Global
Contoh yang paling nyata terlihat pada sektor kelapa sawit. Dengan memperkuat backward linkage, Agus memastikan bahwa ekosistem petani plasma memiliki akses terhadap pupuk, alsintan, dan bibit berkualitas, sekaligus didukung oleh lembaga keuangan dan riset pertanian.
“Dengan demikian, bahan baku CPO yang dihasilkan tidak hanya melimpah tetapi juga terstandar dan memiliki nilai tambah berdaya saing,” imbuhnya.
Sementara itu, forward linkage pada sektor sawit menghubungkan bahan baku tersebut dengan industri pangan, oleokimia, bioplastik, hingga bioenergi. Setiap mata rantai menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan menyerap menciptakan tenaga kerja baru.
“Sehingga dampaknya dapat dirasakan tidak hanya oleh petani, tetapi juga di pabrik pengolahan, logistik, perdagangan, hingga sektor energi terbarukan,” katanya lagi.
Contoh hal serupa terlihat pada sektor nikel. Backward linkage di sektor ini mencakup kegiatan pertambangan, pengolahan energi, serta infrastruktur logistik pelabuhan yang memadai. Nikel yang diproduksi kemudian disalurkan melalui forward linkage menuju industri baja tahan karat, baterai kendaraan listrik, dan otomotif modern.
“Dengan demikian, hilirisasi nikel tidak hanya menghasilkan devisa, tetapi juga mengaitkan Indonesia ke dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik jejaknya semakin kuat yang kini sedang berkembang pesat,” ungkapnya.