28 Oktober 2025
11:21 WIB
Menperin: Belajar dari Jepang, China dan Turki Bangun Industri
Terdapat visi jangka panjang, perlindungan pasar domestik serta terobosan teknologi dalam membangun industri.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita memberikan arahan dalam rapat kerja di Kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (27/10). ValidNewsID/Ahmad Farhan Faris
JAKARTA - Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita menjadikan pengalaman dan observasi dari berbagai kunjungan ke luar negeri sebagai perspektif penting bagi arah kebijakan industri Indonesia. Hal ini kata dia, sebagai bagian dari upaya memperkuat strategi baru industrialisasi nasional (SBIN).
“Dari beberapa negara, terlihat bagaimana visi jangka panjang, perlindungan pasar domestik, serta keberanian melakukan terobosan teknologi yang menjadi faktor penentu daya saing industri,” kata Agus saat Rapat Kerja Kementerian Perindustrian Tahun 2025 di Kantor Kementerian Perindustrian pada Senin (27/10).
Di Jepang, Agus melihat mereka fokus pembangunan teknologi produk-produk berbasis algae menjadi prioritas. Algae diposisikan oleh Jepang sebagai sumber daya masa depan dengan fungsi multipurpose, bisa sebagai bahan baku obat-obatan, sustainable aviation fuel (SAF), hingga menjadi material ramah lingkungan.
“Jepang secara sistematis membangun ekosistem industri algae, melibatkan sektor riset, perusahaan swasta, hingga regulasi pendukung, sehingga mampu menjadikan sumber daya hayati ini sebagai pilar industri hijau di masa depan,” ujarnya.
Tiongkok, lanjut dia, melalui pusat industrinya di Shanghai menunjukkan langkah maju dalam teknologi sustainable coal processing. Menurut dia, batu bara tidak lagi dipandang sebagai bahan bakar kotor, melainkan diolah menjadi gas dan produk petrokimia bernilai tambah tinggi.
“Langkah ini sekaligus menjawab defisit pasokan gas dan petrokimia domestik, memperkuat kedaulatan energi, serta menjaga kesinambungan industri hilir. Bagi Indonesia, ini relevan mengingat kebutuhan gas industri kita yang masih tinggi, sementara cadangan energi fosil konvensional semakin menipis,” jelas dia.
Baca Juga: Menperin: SBIN Sanggup Bawa Industrialisasi RI Tahan Goncangan Global
Kemudian, Agus melihat di Turkiye juga memberi teladan lain yaitu mereka sangat serius memberikan perlindungan atau memproteksi bagi industri dalam negerinya. Selain itu, pemerintah memberikan insentif besar bagi investasi industri, membatasi bahkan melarang impor barang jadi tertentu, sekaligus mendukung impor bahan baku untuk menjaga keberlanjutan produksi.
“Pasar domestik dipromosikan dan diperkuat, sementara generasi mudanya sejak dini dididik untuk memiliki rasa ingin tahu, kemampuan inovasi, dan kebanggaan terhadap produk nasional. Pendekatan ini melahirkan industri yang tangguh sekaligus berakar pada jati diri bangsa,” ungkapnya.
Dari ketiga praktik internasional tersebut, Agus menegaskan dapat ditarik sebuah gagasan penting yaitu sinergi lintas teknologi membuka peluang terobosan baru. Proses coal to chemical menghasilkan karbon dioksida, yang dapat dimanfaatkan sebagai nutrien atau nutrisi bagi pengembangbiakan algae.
Dengan demikian, lanjut dia, bioindustri berbasis algae dan teknologi batu bara ramah lingkungan sesungguhnya bisa saling melengkapi, memperluas rantai nilai, sekaligus mempercepat agenda dekarbonisasi. Teknologi serupa juga dapat digunakan untuk memproduksi soda ash, baking soda, dan berbagai bahan baku industri lainnya.
“Agar hal ini dapat terwujud, diperlukan pembangunan kawasan industri khusus yang sejak awal dirancang untuk mengintegrasikan teknologi lintas sektor tersebut. Kawasan ini akan berfungsi sebagai pusat produksi, riset, dan inovasi, dengan dukungan regulasi serta infrastruktur yang memadai,” katanya.
Untuk itu, Agus mengatakan lahan industri yang strategis terintegrasi dengan infrastruktur logistik, ketersediaan energi, dan terintegrasi perumahan pekerja. Kawasan industri tidak boleh lagi tumbuh berkembang secara sporadis, melainkan harus menjadi pusat pertumbuhan yang terencana.
“Insya Allah, dalam waktu dekat kita bersama Komisi VII akan segera membahas RUU Kawasan Industri. Kementerian Perindustrian harus mampu menjadi motor penggerak koordinasi. Mudah-mudahan nanti dengan lahirnya UU Kawasan Industri, itu memperkuat posisi kita. Setelah itu, dilanjut dengan RUU Pertekstilan juga memperkuat subsektor tekstil dan kita masih menjadi bagian terpenting yang akan mengendalikan koordinasi,” tegasnya.
SBIN
Dalam kesempatan yang sama, Agus menyampaikan terdapat enabling factor yang akan menentukan keberhasilan SBIN, apakah menjadi kenyataan atau sekadar slogan. Pertama, kata dia, ketersediaan bahan baku yang terjamin baik dari sumber daya alam maupun dari hasil riset dan rekayasa industri.
“Bahan baku harus tersedia dengan harga kompetitif, kualitas terjaga, dan pasokan yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Selanjutnya, logistik yang efisien. Biaya logistik Indonesia masih termasuk tinggi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini yang menjadi beban berat bagi daya saing industri.
“Karena itu, pembangunan infrastruktur transportasi, pelabuhan, dan cold chain yang merupakan kebutuhan dari industri harus bisa dilakukan selaras dengan kebutuhan industri,” katanya lagi.
Baca Juga: Menperin: Industri Karet dan Alat Angkut Butuh Kebijakan Khusus
Kemudian, energi yang berkelanjutan. Agus menyebut industri membutuhkan energi dalam jumlah besar, namun pasokan energi harus tetap kompetitif dan ramah lingkungan. Ramah lingkungan ini tidak lain dalam rangka menjawab tren global dekarbonisasi.
“Di mana, generasi-generasi ke depan akan memilih produk-produk green, produk-produk yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Agus menambahkan riset dan inovasi juga diperlukan, karena industrialisasi tidak mungkin bisa tumbuh sesuai yang diharapkan tanpa riset yang menghasilkan produk baru, proses produksi yang lebih efisien, dan teknologi yang lebih ramah lingkungan. “Untuk itu, kolaborasi antara BRIN, universitas, dan industri harus diperluas dan dipercepat,” pungkasnya.