c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

06 Juni 2023

17:01 WIB

Menkeu Pastikan Pajak Karbon Diterapkan Bertahap Dan Hati-Hati

Skema harga karbon, termasuk pajak karbon diharapkan mampu mengembangkan mekanisme pembiayaan inovatif, yaitu bagaimana pasar bereaksi dengan mulai diterapkannya pasar karbon

Menkeu Pastikan Pajak Karbon Diterapkan Bertahap Dan Hati-Hati
Menkeu Pastikan Pajak Karbon Diterapkan Bertahap Dan Hati-Hati
Ilustrasi pajak karbon atau CO2 Tax. dok.Shutterstock/witsarut sakorn

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Dengan begitu, dampak positif yang ditimbulkan bisa diambil, sambil tetap memperhatikan dampak negatif dari setiap instrumen.

"Dengan begitu, perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi," kata Sri Mulyani dalam acara Green Economy Forum 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (6/6).

Dia berharap skema harga karbon, termasuk pajak karbon, mampu mengembangkan mekanisme pembiayaan inovatif, yaitu bagaimana pasar bereaksi dengan mulai diterapkannya pasar karbon.
 
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia juga terus berinovasi untuk mengakselerasi, membangun, dan mengembangkan pasar agar semakin dikenal oleh pelaku ekonomi. Termasuk semakin bisa dikelola secara transparan dan kredibel, serta semakin bisa memberikan sinyal secara pasar kepada pelaku ekonomi untuk terus berpartisipasi.
 
Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah membentuk beberapa instrumen dan kelembagaan, salah satunya Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), special mission vehicle (SMV) yang dikelola bersama-sama antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).




Lembaga tersebut didirikan dengan tujuan mengelola dan memperkenalkan pasar karbon di Indonesia dan pada akhirnya dihubungkan dengan pasar karbon dunia. Selain itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah juga sudah membentuk platform SDG Indonesia One, yang dikelola salah satu SMV di bawah Kemenkeu yakni PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

"Platform ini diharapkan mampu menjadi jembatan, tidak hanya untuk berkomunikasi tetapi berkolaborasi terutama di dalam mobilisasi pembiayaan untuk transformasi hijau," tuturnya.

Tak hanya itu, lanjutnya, Indonesia pun telah membentuk Lembaga Pengelola Investasi bernama Indonesia Investment Authority (INA) yang merupakan inovasi institusi yang dibuat untuk bisa menciptakan dampak berupa masuknya investasi. Termasuk investasi di sektor hijau.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat mengungkapkan, potensi ekonomi karbon Indonesia mencapai sebesar US$565,9 miliar atau sekitar Rp 8.000 triliun. Adapun sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia, yakni kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.

“Pendapatan ekonomi karbon diperoleh dari perdagangan karbon hutan tropis, mangrove, dan gambut,” ungkap Airlangga.

Terkait dengan besaran pajak karbon, terdapat usulan pengenaan tarif pajak karbon di rentang US$5 hingga US$10 per ton CO2. Besaran tarif tersebut dinilai masuk akal, mengingat tarif di negara lain lebih agresif.

Laporan Bahana Sekuritas beberapa waktu lalu memperkirakan, potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2—0,3% dari PDB. Hitungan tersebut dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5—10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energy.



Bursa Karbon
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyebutkan, bursa karbon akan beroperasi pada bulan September 2023. Sebelumnya, pada bulan Juni 2023 Otoritas bakal menerbitkan aturannya terlebih dahulu.

"Harapannya pada bulan September ini kita sudah melakukan perdagangan perdana dalam bursa karbon," kata Mahendra dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) II Tahun 2023 di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, rencana awal perdagangan perdana bursa karbon akan dilakukan antara lain dengan pembayaran berbasis hasil (Result Based Payment/RBP) sebesar 100 juta ton CO2. Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang melakukan finalisasi RBP tersebut.
 
OJK juga akan menerbitkan Peraturan OJK terkait bursa karbon pada Juni 2023. Pada saat yang bersamaan, akan dilakukan pula penghubungan antara sistem registrasi nasional karbon dengan sistem informasi yang diperlukan di bursa karbon.

Kendati demikian, Mahendra menjelaskan rencana tersebut hanya dari sisi OJK saja lantaran secara paralel persiapan yang dilakukan pemerintah dalam bursa karbon akan sangat menentukan. 

"Karena hal itu berarti secara paralel pemerintah juga menyiapkan seluruh perangkat mulai dari sistem registrasi nasional, lalu juga sertifikasi penurunan emisi, dan otorisasi," tuturnya.

Menurut dia, langkah tersebut harus dilakukan pemerintah agar produk dalam bursa karbon sudah memiliki sertifikasi yang sudah sah untuk bisa masuk ke dalam perdagangan di bursa karbon. Persiapan pemerintah itu diharapkan akan berlangsung dalam satu hingga dua bulan, sehingga sejalan dengan jadwal OJK dalam mempersiapkan bursa karbon.

Di sisi lain, kata Mahendra, persiapan bursa karbon juga masih menunggu kewenangan Menteri Keuangan dalam memberlakukan pajak karbon yang sedang difinalisasi. Pajak karbon bertujuan untuk memberikan suatu insentif dan disinsentif bagi perkembangan bursa karbon.
 
"Jadi pajak karbon ini bukan semat-mata tujuannya untuk peningkatan pendapatan dari pajak itu sendiri," tutur Mahendra.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar