24 April 2025
21:00 WIB
Menjajaki Pasar Baru, Menyiasati Perang Dagang
Ketidakpastian global meningkat, Indonesia atur strategi ekspor baru dan enggan bergantung pada pasar tradisional.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita
Editor: Rikando Somba
Kegiatan operasional peti kemas di Tanjung Priok, Jakarta. Antara/HO-Pelindo Petikemas
JAKARTA - Perekonomian global saat ini tengah diuji dengan fenomena perang dagang, gejolaknya makin terasa usai pemerintah AS yang dipimpin Donald Trump mengenakan tarif resiprokal pada hampir seluruh negara awal April lalu. Ketahanan ekonomi global lagi-lagi dihadapkan dengan ketidakpastian setelah terseok melewati pandemi covid-19 yang meluluhlantakkan semua sendi ekonomi dunia.
Eksplisit, kebijakan tarif impor itu AS arahkan langsung kepada China, yang menurut Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) telah menyebabkan defisit dagang hingga US$295,4 miliar pada 2024. Pada gilirannya, saling serang kebijakan tarif dagang mewarnai negara dengan jabatan perekonomian terbesar pertama dan kedua di dunia ini.
Ketika Trump menetapkan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap produk impor asal Indonesia, pada saat yang sama AS mengenakan tarif 34% kepada China. Mayoritas negara yang dikenakan tarif resiprokal memilih bernegosiasi dengan AS. Namun, hal berbeda justru terjadi dengan China yang tidak tinggal diam dengan membalas atau retaliasi kepada AS dengan kebijakan tarif impor sebesar 34%.
Aksi balas membalas tarif berlangsung. AS kembali membalas China dengan menaikkan tarif menjadi 104%, China lagi-lagi membalas menjadi 84%. AS merespons lagi dengan pengenaan tarif 125% ditambah tarif awal 20%, sehingga China terkena tarif AS total mencapai 145%. China membalas lagi dengan tarif 125%.
Sejatinya, perang dagang AS-China bukan hal baru. Persoalan serupa sempat menyeruak pada 2018 silam alias pada kepemimpinan pertama Trump sebagai Presiden AS. Bisa jadi, kegagalan strategi perang dagang 'yang terbatas' saat itu membuat Trump mau melancarkan perang dagang jilid II dengan melibatkan banyak negara mitra agar efeknya bisa cespleng positif untuk ekonomi AS.
Ketegangan tersebut tentu saja memberikan efek rambatan dan ketidakpastian bagi banyak negara yang punya integrasi ekonomi yang cukup besar dengan China dan AS, tak terkecuali Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia memiliki hubungan ekonomi secara baik dengan AS maupun China.
Data BPS mencatat, sepanjang 2024, ekspor Indonesia mayoritas ditopang dari ekspor nonmigas, dengan negara tujuan tertinggi adalah China dan Amerika Serikat, masing-masing US$60,22 miliar atau Rp1.016,3 triliun dan US$26,31 miliar atau Rp444 triliun (asumsi kurs Rp16.876 per dolar AS).
Baca Juga: BPS Beberkan Riwayat Ekspor RI ke AS 10 Tahun Terakhir
Sementara itu, total ekspor Indonesia di tahun lalu mencapai US$264,70 miliar atau Rp4.440,2 triliun. Artinya, ekspor Indonesia ke China berkontribusi sebesar 22,8%, sedangkan AS sebesar 9,9% dari total ekspor Indonesia di tahun lalu. Bisa dibilang, Indonesia punya keterikatan perekonomian lebih besar dengan China dibandingkan dengan AS.
Secara historis, data ekspor nonmigas Indonesia ke China periode 2019-2024 menunjukkan tren peningkatan, rata-rata sebesar US$49,98 miliar atau 21,7% dari total ekspor. Di sisi lain, ekspor Indonesia ke AS di periode sama juga menunjukkan tren peningkatan, dengan rata-rata ekspor mencapai US$23,3 miliar atau hanya sebesar 10,51% dari total ekspor.
Penurunan Ekspor-Impor Indonesia
Imbas perang dagang ini diulas peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus. Dia memperkirakan, situasi perang dagang AS-China bisa menurunkan ekspor dan impor Indonesia, masing-masing minus 2,83% dan 2,22%. BPS mencatat, total ekspor 2024 sebesar US$264,70 miliar dan impor mencapai US$233,66 miliar. Namun, dia mengingatakan, proyeksi negatif ekspor tersebut tidak hanya menghinggapi Indonesia saja, melainkan juga negara lain, seperti China dan Vietnam.
"Yang dikhawatirkan sebenarnya dampak tidak langsungnya, dengan berkurangnya permintaan atau ekspor China ke AS, maka akan berpengaruh pada ekspor Indonesia ke China. Ini yang perlu diantisipasi dengan serius,” ungkap Heri dalam diskusi daring, Jumat (4/4).
Hal sama juga diungkapkan Dirjen PPI Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono. Dia menyatakan, kebijakan tarif AS terhadap impor Indonesia, baik dalam jenis tarif dasar baru, resiprokal, maupun sektoral, tetap akan memberikan tekanan bagi Indonesia.
“Buat Indonesia, berdasarkan kalkulasi kami, bisa menurunkan kinerja ekspor maupun impor,” ujar Djatmiko saat media briefing di kantornya, Senin (21/4).
Baca Juga: Bukan 47%, Kemendag Jelaskan Potensi Tarif Dagang AS Buat Indonesia
Tarif resiprokal tersebut saat ini memang masih dalam tenggat penundaan tiga bulan dari semula tanggal 9 April, menjadi 9 Juli 2025 mendatang. Pada rentang waktu tersebut, pemerintah Indonesia pun menempuh jalur negosiasi dengan AS agar besaran tarif 32% tak berlaku atau bisa berkurang bagi Indonesia. Selain itu, negosiasi juga dilakukan untuk menata kebijakan perdagangan bilateral kedua negara baik dari sisi tarif dan nontarif.
Optimisme Ekspor Saat Tarif Resiprokal
Meski Indonesia ditekan tarif resiprokal AS 32%, ekonom senior sekaligus Pendiri INDEF, Didik J Rachbini menyebutkan, hal tersebut tak perlu terlalu dikhawatirkan sebegitunya. Menurutnya, Indonesia memiliki sejarah ekspor yang terus berkembang, walaupun memang kalah dari Vietnam.
"Dulu kutub dunia dan menjadi pasar kita 2-3 dekade lalu hanya Jepang, Eropa, dan Amerika. Setelah itu, 1-2 dekade terakhir ini pasar kita sudah berkembang ke pasar China yang besar, Asia Timur Korea, Taiwan dan Hongkong, ASEAN, India besar, dan Timur Tengah," tutur Didik saat dihubungi Validnews, Rabu (23/4).
Perluasan porsi pasar Indonesia ke China terbukti dari data BPS yang menunjukkan kontribusi ekspor ke China semakin bertambah sepanjang periode 2019-2024. Sebaliknya, porsi kontribusi ekspor Indonesia ke AS di periode yang sama justru makin menciut.
Didik pun membeberkan, beberapa kawasan dan negara yang berpotensi menjadi peluang baru Indonesia untuk memperluas ekspor, misalnya Afrika dan kawasan Amerika Latin. Walau begitu, dia tak menampik, masih banyak tantangan yang harus Indonesia benahi. Utamanya, soal perbedaan standar teknis dan regulasi, masih minimnya informasi pasar, serta kendala logistik. Bahkan, Indonesia masih kalah saing soal isu kualitas, pemasaran, dan ketidakpastian suplai di beberapa negara tujuan ekspor.
Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang berorientasi ekspor. Ekonom menyorot kebijakan yang perlu pemerintah berikan, seperti keberadaan insentif bagi investor agar tertarik masuk ke Indonesia seperti tax holiday, begitu pula dukungan kredit untuk pengusaha menengah yang sukses ekspor.

Selain itu, pemerintah mesti membenahi pengawasan keluar-masuk barang di perbatasan melalui sistem kepabeanan.
Jika memang diperlukan, pemerintah bisa kembali menerapkan sistem kepabeanan seperti di masa pemerintahan Soeharto, yakni menugaskan perusahaan Swiss yang bernama Suisse Generale Surveillance (SGS3) untuk menggantikan pekerjaan pegawai Ditjen Bea dan Cukai yang dirumahkan.
"Bea cukai jangan ruwet seperti sekarang. Kalau perlu ganti swasta seperti zaman Pak Harto diganti SGS," lanjut dia.
Peran Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun tak luput dari sorotannya. Kadin dituntut lebih aktif lagi dalam mengundang investor global ke Indonesia, maupun gencar mempromosikan industri halal dan kreatif domestik ke mancanegara. Sedangkan langkah negosiasi yang tengah dilakukan Indonesia terhadap AS saat ini, menurutnya sudah cukup baik.
"Oke, tapi belum cukup. Pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan harus menunjukkan respons dengan negosiasi bilateral dagang dengan AS, misalnya terkait Generalyzed System of Preferences (GSP) atau akses produk unggulan," ucap Didik.
Kemudian, Kemendag diminta memperkuat kerja sama dagang antara Indonesia dengan Kanada dan Meksiko. Berkaitan dengan Meksiko, Didik juga mengingatkan, perlu menjalin kerja sama untuk menyiapkan strategi logistik yang lebih efisien bagi Indonesia dalam jangka panjang, khususnya potensi gangguan di Terusan Panama yang menjadi jalur utama Indonesia untuk mengirimkan produk dagang ke kawasan Amerika Utara dan Latin.
"Dalam jangka pendek, Terusan Panama masih beroperasi dan menjadi jalur utama pelayaran global. Tapi yang perlu diantisipasi dalan jangka menengah dan panjang, misalnya menjalin kerja sama dengan pelabuhan transit di Meksiko, Panama, atau Kolombia untuk distribusi regional," bebernya.
Cari Ceruk Pasar Ekspor Baru
Soal pasar baru, Dirjen Djatmiko mengaku, jauh sebelum adanya perang dagang imbas pengenaan tarif resiprokal, pemerintah sudah lebih dulu menyiapkan berbagai pasar alternatif baru Indonesia. Dengan demikian, RI memang membuka peluang ekspor di kawasan selain Amerika dan China. Menurutnya, banyak pasar ekspor nontradisional sudah berhasil Indonesia jajaki melalui platform kerja sama ekonomi dan perjanjian dagang. Beberapa di antaranya, pertama, Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA).
Perjanjian yang rampung ditandatangani pada Desember 2024 lalu, saat ini tinggal menunggu tahap ratifikasi, yakni persetujuan formal oleh badan legislatif masing-masing negara sebelum perjanjian dapat berlaku secara hukum.
“Ini juga menjadi pasar alternatif yang sangat menjanjikan dan akan menjadi satu pasar tujuan ekspor yang didukung oleh instrument fasilitasi tarif dan non tarif di kawasan Amerika Utara. Ini akan menjadi perjanjian pertama kita di kawasan Amerika Utara,” kata Djatmiko.
Kedua, Indonesia-United Arab Emirates (IUAE) CEPA yang telah berlaku sejak 12 Juli 2023. Sejak diterapkan perjanjian dagang, Djatmiko mengaku Indonesia berhasil konsisten mengubah struktur neraca dagang dari defisit menjadi surplus. Adanya perjanjian dagang ini juga membuka akses pasar Indonesia ke kawasan Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Eropa.
Ketiga, Indonesia-Peru CEPA (IP-CEPA) yang saat ini masih dalam proses perundingan. Menurutnya, perjanjian ini nantinya akan menjadi perjanjian kedua setelah dengan Cile untuk kawasan Amerika Latin.
Keempat, Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA) yang saat ini masih dalam tahap perundingan. Nantinya, jika sudah berlaku, perjanjian ini akan memudahkan produk Indonesia masuk ke Tunisia, yang juga sebagai pintu masuk Indonesia yang pertama ke kawasan Afrika bagian Utara dan Timur Tengah.
“Ini bisa memberikan peluang yang besar kepada produk-produk yang berasal dari Indonesia untuk bisa dipasarkan di kawasan negara-negara Maghribi. Karena Tunisia juga berdekatan dengan Aljazair, Maroko, Mesir, Libya, dan ini sangat memiliki potensi,” imbuhnya.
Kelima, perundingan perdagangan Indonesia-Uni Ekonomi Eurasia Free Trade Agreement (IEAEU-FTA). Melalui perjanjian dagang ini, Indonesia berpotensi memperluas akses pasar dan menjadikan pintu masuk utama ke kawasan Asia Tengah dan Eropa Timur. Negara yang termasuk kawasan EUEA antara lain Armenia, Belarusia, Federasi Rusia, Kazakhstan, dan Kirgiztan.
Selain kelima perjanian dagang tersebut, Mendag Budi Santoso pun sempat menegaskan, pihaknya akan memprioritaskan beberapa perundingan perjanjian dagang lain yang ditargetkan akan di bahas tahun ini.
Baca Juga: Kemendag Targetkan 4 Perundingan Rampung Tahun Ini
Secara rinci, Indonesia-Sri Lanka (ISL-PTA) yang saat ini baru di tahap peluncuran perundingan pada 14 Maret 2024. Lalu, Indonesia-Turki (IT-CEPA) yang ditujukan untuk merebut kembali pangsa pasar Indonesia di Turki usai mulai tergerus sejak MTFTA berlaku dan efekif di 2015.
Perjanjian dagang ketiga yang akan dibahas adalah Indonesia-Mercosur (IM-CEPA) yang baru diluncurkan perundingannya pada 16 Desember 2021 silam. Mercosur merupakan blok perdagangan di Amerika Serikat yang beranggotakan Argentina, Brasil, Paraguay, dan Uruguay. Sementara itu, Argentina dan Brasil merupakan dua mitra dagang utama Indonesia yang terbesar di Amerika Latin dan Karibia.
Komoditas Ekspor Unggulan RI
Dari sekian banyak peluang ekspor di negara nontradisional dan hasil komoditas unggulan yang menopang ekspor nasional selama ini, komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) memang masih menjadi primadona pemberi devisa negara.
Ekonom senior sekaligus pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Fithra Faisal Hastiadi memperkirakan, komoditas yang masuk kategori minyak nabati itu justru akan berpotensi makin bertambah ekspornya ke AS. Pasalnya, Uni Eropa pun turut dikenakan tarif resiprokal sebesar 25% dan membuat negara kawasan tersebut menerapkan tarif balasan serupa, meski terhenti karena penundaan Trump.
Baca Juga: Trump Tunda Tarif Resiprokal Untuk Puluhan Negara, China Naik jadi 125%
Konflik keduanya juga tak kunjung reda terkait NATO, sehingga berdampak pada gesekan politik, ekonomi dan keamanan. Selama ini, AS tak luput mengimpor minyak nabati asal Eropa, seperti kanola, minyak bunga matahari, minyak zaitun, rapeseed, bahkan sebagian kecil CPO walaupun masih didominasi negara Asia Tenggara.
Namun, Fithra berpandangan, ketegangan antara Eropa dan AS tentu bisa Indonesia manfaatkan untuk mengekspor CPOnya ke Negeri Paman Sam tersebut, kendati bakal lebih mahal jika tarif resiprokal dijalankan.
"Produk CPO kita tidak bersaing langsung dengan AS, justru mereka yang membutuhkan kita untuk mengisi impor mereka (minyak nabati) dari Eropa selama ini. Sehingga saya rasa CPO bisa lebih tinggi lagi performanya (ekspor) masuk pasar AS dan negara-negara lain," jelas Fithra kepada Validnews, Kamis (24/4)
Meski segudang keoptimisan tetap harus dikobarkan mengantisipasi dampak perang dagang AS-China, Fithra mengakui, tantangan menurunnya permintaan karena kondisi global saat ini juga bisa memburamkan ekspektasi positif ekspor CPO. Sementara Malaysia selaku pesaing, menurutnya, masih belum bisa mengalahkan CPO Indonesia yang memiliki pangsa pasar 60%.
Akan tetapi, dia mengingatkan juga, agar Indonesia tak terlena. Harus diakui, industri sawit Negeri Jiran tersebut lebih kuat dan tertata, sehingga bisa menjadi tantangan kelak.