09 Oktober 2025
21:00 WIB
Mengusung Tanggung Jawab Lingkungan Tak Jadi Macan Kertas
PROPER jadi instrumen kunci Indonesia mendorong daya saing dan tanggung jawab lingkungan perusahaan. Namun, pelaksanaanya dinilai kurang 'greng' dan tak berimplikasi positif banyak buat pelaku usaha.
Penulis: Yoseph Krishna, Erlinda Puspita, Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq memberikan Anugerah Lingkungan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) 2024 kepada Dirut PT Pupuk Iskandar Muda Budi Santoso Syarif, Jakarta, Senin (24/2/2025). Antara/HO-PIM
JAKARTA - Pengelolaan lingkungan berkelanjutan sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan tanpa kecuali. Bagi perusahaan, concern menjaga lingkungan saat ini jadi cara strategis untuk mendongkrak daya saing, baik di level global maupun regional.
Agar effort perusahaan dalam menjaga lingkungan memiliki tujuan pasti dan terukur, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) secara tahunan menjalankan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER). Program itu sendiri sejatinya sudah dijalankan pada medio 90-an, tepatnya pada tahun 1995.
Esensi mendasar dari PROPER adalah mendorong perusahaan menjalankan perbaikan pengelolaan lingkungan secara transparan. Lewat PROPER, kinerja pengelolaan lingkungan oleh perusahaan dikotak-kotakkan ke dalam lima warna; hitam, merah, biru, hijau sampai emas, yang menunjukkan tingginya kerusakan sampai upaya pengelolaan lingkungan yang paling purna.
Dalam dua peringkat warna teratas, hijau dan emas, PROPER mengklasifikasi perusahaan telah melampaui ketaatan lewat efisiensi energi-air, serta penerapan 3R, bahkan sudah melancarkan sederet inovasi lingkungan-sosial dan dianggap sebagai role model.
Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLH/BPLH Rasio Ridho Sani menjelaskan, penggunaan warna dalam penilaian PROPER bisa secara langsung memberi dampak terhadap reputasi perusahaan.
"Kalau saya kasih bintang 1, kan banyak rating menggunakan bintang, itu baik atau buruk? Pasti orang bilang baik. Rating itu umumnya baik, (tapi) PROPER menjadi pembeda karena memberikan insentif reputasi maupun disinsentif reputasi," ucap Rasio dalam Sosialisasi Mekanisme, Kriteria, dan Pelaporan PROPER 2025, Jakarta, Selasa (24/6).
Baca Juga: Peran PROPER KLHK Dalam Menjaga Lingkungan
PROPER, sambungnya, jadi informasi penting bagi pemangku kepentingan sebuah perusahaan, mulai dari pemegang saham hingga mitra bisnis untuk menilai kinerja pengelolaan lingkungan yang sudah dijalankan. Biasanya, rapor tersebut bakal dijadikan sebagai acuan pengambilan keputusan dan perubahan internal. Pun, penilaian PROPER disebut Rasio juga menjadi bentuk laporan kinerja dari pihak eksternal perusahaan, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH).
"Selain itu, PROPER juga menjadi pemicu inovasi karena beberapa aspek yang dinilai untuk penilaian melebihi ketaatan dapat mendorong perusahaan untuk berinovasi dalam teknologi, misalnya untuk mengurangi intensitas emisi dan menggunakan bahan baku yang lebih ramah lingkungan," jabarnya
.
Ilustrasi - aktivitas perusahaan tambang nikel di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara. Antara Foto/Jojon.
Terhadap hal senada, Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia Jalal mengakui pemeringkatan secara berlapis dari kategori warna tersebut bisa secara efektif menciptakan insentif reputasi yang kuat bagi perusahaan. Dia menekankan, aspek Beyond Compliance tersebut juga mendorong kompetisi positif antar perusahaan untuk tak sekadar patuh, tapi juga berinovasi untuk mengangkat plakat PROPER berwarna biru ke atas.
"Kriteria untuk peringkat Hijau dan Emas sejak awal juga secara eksplisit memasukkan aspek sosial kontekstual, seperti program pemberdayaan masyarakat, tanggap kebencanaan, dan inovasi sosial, termasuk pemanfaatan metode Social Return on Investment (SROI) yang seluruhnya sangat selaras dengan kebutuhan pembangunan daerah dan nasional," ungkap Jalal kepada Validnews, Rabu (8/10).
PROPER di Mata Global
Sekalipun punya fondasi yang kuat, Jalal tak menampik PROPER, terutama untuk tahun 2025 masih menghadapi beberapa kesenjangan strategis bila disandingkan dengan kerangka aspek Environment, Social, and Governance (ESG) global yang terus berkembang pesat.
Di kacamatanya, kesenjangan paling signifikan terletak pada keterbatasan aspek sosial dan tata kelola. Wajar saja, PROPER secara mendasar didesain di atas fondasi lingkungan terlebih dahulu, sesuai dengan bidang kerja, tugas, dan fungsi dari KLH/BPLH.
Apalagi pada aspek sosial, PROPER 2025 dinilainya masih cenderung umum dan kurang terukur dibandingkan dengan tuntutan global. Standar-standar seperti Hak Asasi Manusia (HAM), due dilligence rantai pasok, Free Prior and Informed Consent (FPIC) bagi masyarakat adat, metrik terukur untuk K3, sampai aspek keragaman dan inklusi masih belum terintegrasi kuat.
"Pada aspek kata kelola, regulasi ini masih lemah dalam menilai sustainability governance yang mendalam, seperti oversight dari dewan komisaris, integrasi ESG ke dalam strategi bisnis inti, manajemen risiko ESG, dan kebijakan antikorupsi yang robust," kritik Jalal.
Sementara itu, di tingkat regional, Indonesia saat ini berada di posisi tengah dengan beberapa praktik unggulan yang sebagian besar masuk dalam penilaian PROPER.
Baca Juga: KLH: Mayoritas Kawasan Industri Dapat Proper Merah
Secara agregat, dia menerangkan, Asia Tenggara memang menghadapi tantangan lingkungan yang besar dengan kinerja antarnegara ataupun antarprovinsi di dalam negara yang bervariasi. "Tantangan ekonomi yang juga besar membuat banyak negara di ASEAN, kecuali Singapura, belum benar-benar menunjukkan kepemimpinan dalam kinerja lingkungan perusahaan," terangnya.
Atmosfer Kosong di Hutan Kota di GBK Sport Complex Senayan. Jakarta Pusat, Indonesia. Shutterstock/ardiwebsPandangan berbeda disampaikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Wakil Sekretaris Umum APINDO Anggana Bunawan lenih melihat dari sisi positif. Setidaknya lewat PROPER, ada penghargaan yang diberikan oleh negara terhadap komitmen perusahaan dalam pengelolaan lingkungan.
Saat berbincang dengan Validnews, Anggana menegaskan, PROPER yang didapatkan perusahaan bisa menjadi validasi untuk disampaikan kepada dunia terkait komitmen konkret yang sudah dilakukan untuk lingkungan di Indonesia.
"Itu dapat menjadi salah satu bukti bagaimana negara menilai sebuah praktik satu perusahaan dan mereka dapat menggunakan validasi tersebut untuk menyampaikan kepada dunia bahwa apa yang mereka lakukan di Indonesia, apa hasil akhir yang mereka keluarkan, produk, jasa, maupun bahan baku dan sebagainya telah dilakukan dengan proses yang bertanggung jawab," papar Anggana, Senin (29/9).
Pengajuan Pinjaman
Satu hal yang membuat PROPER menjadi penting bagi perusahaan, ialah tren global yang menuntut operasional berkelanjutan. Lembaga-lembaga pendanaan internasional pun mulai memikirkan hal ini sebelum menyalurkan pinjaman ke sebuah perusahaan. Pasalnya selain menjadi tolok ukur kinerja lingkungan, PROPER juga berfungsi sebagai indikator risiko keuangan yang dapat membantu perbankan maupun investor dalam menilai kelayakan bisnis sebuah perusahaan.
Anggana mengatakan, capaian PROPER dapat menjadi pembeda bagi perusahaan dalam menunjukkan komitmennya terhadap praktik bisnis berkelanjutan. Apalagi, banyak standar yang diikuti, mulai dari tata kelola air, limbah, sampai praktik lingkungan lainnya.
Perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik juga dapat menjelaskan perbedaan mereka dibandingkan produsen lain dari sisi harga, pemasaran, hingga etika bisnis. Hal ini memberi nilai tambah saat perusahaan mengajukan kerja sama atau pembiayaan. Dia meyakini, pembiayaan akan lebih mudah didapatkan.
"Ini menjadi salah satu pembuktian bahwa mereka sudah melakukan itu dan mereka juga bisa menyatakan bahwa kenapa misalnya mereka berbeda dengan produsen yang lain secara harga, pemasaran, kode etik, dan sebagainya, itu karena mereka menjalankan praktik yang baik terhadap produk barang-jasa mereka," imbuh Anggana.
Baca Juga: KLH Sebut 200 Hotel Dapat Penilaian Proper Merah
Di sisi pemerintah, Rasio menegaskan senada. Dia beryakinan bahwa PROPER dapat menjadi sumber informasi penting dalam penilaian risiko keuangan oleh pihak perbankan maupun calon investor. Kinerja lingkungan yang buruk, sambungnya, berpotensi menimbulkan risiko hukum dan keuangan besar bagi perusahaan. Oleh karena itu, perbankan perlu memperhatikan peringkat PROPER sebelum menyalurkan kredit kepada sebuah perusahaan atau pelaku usaha.
Sebaliknya, perusahaan yang mengantongi PROPER biru atau hijau bisa menunjukkan kapabilitas dan komitmen mereka dalam mengelola lingkungan. Ini berimplikasi dengan persepsi lembaga pendanaan yang menilai perusahaan ini punya risiko lebih rendah. Karena itu, dia berharap seluruh perbankan, mitra bisnis, maupun masyarakat bisa memanfaatkan PROPER sebagai acuan penilaian kinerja dan kredibilitas sebuah perusahaan.
"Kalau perusahaan berperingkat (PROPER) hitam, tentu perbankan akan mempertimbangkan risiko reputasi dan potensi konsekuensi hukum yang bisa sangat mahal," ungkap Rasio.
"Begitu pentingnya PROPER karena berkaitan langsung dengan kinerja, reputasi, dan keberlanjutan usaha perusahaan," tandas Rasio.
Pentingnya Keterlibatan Pemda
Jalal di sisi lain menilai, efektivitas pelaksanaan PROPER sangat bergantung pada peran aktif pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, PROPER bisa terus diakui sebagai instrumen vital dalam mendorong praktik bisnis berkelanjutan. Apalagi, dampak positif terhadap peningkatan transparansi kinerja lingkungan oleh perusahaan yang didapat dari PROPER masih belum konsisten diterapkan di seluruh wilayah.
"Efektivitasnya selalu tergantung pada banyak hal lain, seperti kualitas audit atau verifikasi lapangan, konsistensi penegakan hukum oleh pemerintah, kesiapan institusi daerah, dan ketersediaan insentif maupun konsekuensi ekonomi," ucap Jalal.
Dia mengungkapkan, tak jarang, PROPER hanya dijadikan 'kosmetik' oleh perusahaan karena kapasitaas pengawasan yang lemah atau penegakan hukum yang masih belum konsisten. Bahkan, dari studi yang Jalal pelajari, PROPER hanya membawa perubahan di atas kertas pada daerah atau industri dengan penegakan hukum atau pengawasan yang lemah.
"Bahkan, risiko pelaporan tidak jujur bisa meningkat, jika sanksi yang diterapkan terlalu lemah," sambungnya.
Baca Juga: Perusahaan Tak Punya Tamasya Tidak Bisa Raih Proper Emas
Ia menambahkan bahwa meskipun PROPER telah berperan dalam mengangkat kasus-kasus lingkungan ke perhatian publik melalui rapor kategori merah dan hitam, tindak lanjut atas temuan tersebut tetap sangat bergantung pada kapasitas dan komitmen pemerintah daerah.
Foto udara kendaraan melintas di areal perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Pangkalan Ban teng, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Antara Foto/Makna Zaezar
Menilik hal ini, penguatan peran pemda dalam sistem monitoring dan penegakan hukum lingkungan menjadi kunci agar PROPER tidak hanya menjadi alat administratif, tetapi benar-benar mampu mendorong perubahan nyata dalam praktik keberlanjutan perusahaan di Indonesia.
"Penanganan sepenuhnya sangat bergantung pada pengawasan dan penegakan di tingkat daerah," paparnya.
Pemerintah pusat mengamini apa yang dipaparkan Jalal. Karenanya, KLH/BPLH pun berencana melibatkan pemerintah daerah dalam pemeringkatan perusahaan yang mengikuti PROPER pada 2025 ini. Rasio mengatakan, pihaknya bakal memantau langsung perusahaan sebagai bagian dari verifikasi.
"Agar kami dapat melakukan pengawasan langsung atau pemantauan langsung ke lapangan kami akan melibatkan pemerintah daerah," tutur Rasio.
Dia berharap, pelibatan pemerintah daerah dapat meningkatkan kualitas data yang dimiliki KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) sebagai dasar penilaian PROPER. Walau demikian, proses pengawasan tetap dikoordinasikan dengan petugas pengendali dampak lingkungan dari KLH/BPLH sebagai bagian dari koordinasi dengan Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup di masing-masing regional.
"Dengan melibatkan pemerintah daerah, maka kami harapkan kualitas data yang kami dapatkan sebagai dasar penilaian kami ini akan jauh lebih valid," kata Rasio.
Tujuh Rekomendasi Peningkatan Kualitas PROPER
Jalal menyampaikan ada tujuh rekomendasi kebijakan strategis dalam rangka meningkatkan kualitas PROPER. Ia menilai, penguatan tata kelola dan insentif ekonomi yang lebih nyata akan membuat PROPER menjadi instrumen yang tidak hanya administratif, tetapi berdampak langsung pada perubahan perilaku korporasi.
Pertama, Jalal merekomendasikan upaya yang jelas untuk terus memperkuat penegakan hukum lingkungan di daerah. Bahkan bila perlu, KLH/BPLH harus mengalokasikan sumber daya tersendiri untuk inspeksi di lapangan "Termasuk pelatihan auditor daerah dan sistem sanksi yang konsisten. PROPER tanpa penegakan yang kuat jelas menjadi kurang efektif," ungkapnya.
Kedua, semestinya peringkat PROPER dikaitkan dengan insentif dan konsekuensi ekonomi yang nyata. Misalnya, perusahaan dengan 'rapor' hijau dan emas seharusnya mendapat kemudahan perizinan, akses pembiayaan hijau, dan pelatihan ekspor, sebaliknya perusahaan berperingkat merah atau hitam perlu dibatasi aksesnya ke pasar.
Baca Juga: KLH Minta Semua Perusahaan Kertas Raih Proper Hijau
Sementara, standardisasi pelaporan isu-isu ESG juga menurutnya penting agar bisa selaras dengan standar internasional. Ia menilai, harmonisasi dalam pengukuran emisi, pengelolaan limbah, serta audit pihak ketiga penting untuk mencegah praktik greenwashing.
Keempat, soal integrasi data digital dan transparansi publik. Jalal pun mengusulkan sistem pelaporan elektronik yang memuat data hasil PROPER, sanksi, serta rencana perbaikan perusahaan harus terbuka agar dapat diakses publik, investor, dan perbankan. Dan, kelima, dia menilai perlu ada insentif bagi pengadopsi teknologi bersih, seperti hibah, kredit murah, atau pengurangan pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengurangan emisi dan efisiensi energi.
"Dengan adanya insentif tersebut, pencapaian PROPER hijau dan emas akan menjadi business case yang jelas bagi dunia usaha," tambahnya.
Keenam, penguatan partisipasi masyarakat dan mekanisme whistleblowing untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas perusahaan. Sedang, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) perlu juga ditingkatkan kapasitasnya, agar mampu memenuhi standar lingkungan, terutama bagi mereka yang menjadi bagian rantai pasok perusahaan besar.
"PROPER hingga sekarang belum komprehensif melihat rantai nilai, padahal di tingkat global hal ini sudah menjadi norma," pungkasnya.