c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

EKONOMI

06 Mei 2025

21:00 WIB

Mengupayakan Masa Depan Cerah Dengan Pembelajaran Ekstra

Sistem pendidikan di Indonesia 'memaksa' orang tua menyisihkan anggaran khusus ekstra untuk pembelajaran ekstra di luar sekolah. Besaran biayanya bisa menguras dompet dan tenaga. 

Penulis: Yoseph Krishna, Nuzulia Nur Rahma, Erlinda Puspita

Editor: Rikando Somba, Khairul Kahfi,

<p>Mengupayakan Masa Depan Cerah Dengan Pembelajaran Ekstra</p>
<p>Mengupayakan Masa Depan Cerah Dengan Pembelajaran Ekstra</p>

Ilustrasi - Seklompok siswa melakukan ekskavasi untuk menemukan benda purbakala dalam acara Belajar Bersama Arkeolog Cilik yang digelar Museum NTB di Mataram, Selasa (22/10/2024). Antara/Sugiharto Purnama

JAKARTA - Tak ada satu pun orang tua yang mau anaknya gagal dalam pendidikan. Apalagi, pendidikan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hidup ketika mereka tumbuh dewasa. Karenanya, hampir semua orang tua mengupayakan pendidikan yang bagus untuk anaknya. 

Ya, pendidikan adalah salah satu cara yang paling strategis supaya sang buah hati bisa punya peluang hidup lebih layak di masa depan. Salah satu tokoh, Ryu Hasan, seorang dokter dan ahli neurosains yang dikenal karena kajian tentang otak dan fungsinya, menjelaskannya secara gamblang.

"Jadi, tugasmu sekolah itu udu dadi opo-opo (bukan untuk jadi apa-apa), (tapi) memperbesar kemungkinan kamu hidup layak. Tidak ada yang menjamin kamu hidup lebih layak, lebih bagus dari yang lain, tapi (sekolah) memperbesar kemungkinan kamu memenuhi kehidupanmu," ucap Ryu dalam podcast 'Mbah Jiwo' yang diunggah Sujiwo Tejo sekitar tiga tahun lalu.

Baca Juga: UKT Makin Mahal, Begini Cara Nabung Biaya Pendidikan

Pada masa ini, banyak orang tua menyadari kebutuhan akan pendidikan anak sudah perlu bertambah karena makin krusialnya dunia pengetahuan dan kebutuhan industri. Bukan sekadar pendidikan formal, sebagian besar orang tua juga sudah menyadari pentingnya pendidikan ekstra.

Pendidikan ekstra secara konservatif kita kenal berupa les untuk pendalaman mata pelajaran yang juga dipelajari di sekolah, maupun kursus untuk menggali bakat non-akademis yang dimiliki si buah hati.

Dwi Rachmawati adalah salah satu orang tua yang punya visi untuk mengakomodasi kebutuhan tambahan pendidikan bagi anaknya. Meski baru memiliki satu anak yang baru berumur 3 bulan, tetapi ibu berusia 29 tahun ini memilih untuk menyiapkan semacam les tambahan ketika sang buah hati sudah menempuh pendidikan formal kelak.

"Kalau di sekolah negeri pasti gratis (pendidikan), tapi butuh les-les juga. Tapi, saya belum bisa estimasikan biayanya," jelasnya saat berbincang dengan Validnews, Jakarta, Senin (5/5).

Dwi berangan-angan, anaknya kelak akan menjadi programmer, ahli IT, atau bahkan developer game ketika sudah dewasa. Ini membuatnya sudah merancang akan  memberikan les, kursus coding, atau apapun yang berbau teknologi informasi kepada si anak. 

Sebagai fondasi dasar, dia berencana menyekolahkan si anak di SD swasta yang menurutnya penting. Lantaran, SD negeri di sekitar domisilinya, yakni Bogor, Jawa Barat, masih belum mendukung, utamanya aspek fasilitas.

"Tapi ketika SMP dan SMK saya pilih negeri. Intinya, nanti ketika masuk sekolah jenjang menengah atas, lebih memilih SMK daripada SMA karena mau diarahkan fokus di IT," sambung Dwi.

Luar Negeri Jadi Opsi
Soal pendidikan buat anak, Hajar Azizatun, juga seorang ibu, punya cerita berbeda. Belum memadainya sistem pendidikan formal di Indonesia membuat ibu berusia 29 tahun ini juga terpikir untuk menyekolahkan anak ke luar negeri. Kurikulum pendidikan di Indonesia yang kerap berubah pun membuat wanita yang berdomisili di Batam itu menjadi kebingungan.

Buatnya, adalah keniscayaan jika anaknya akan diusahakan berkuliah di Singapura, meski hari ini ketiga anaknya masih kecil dan belum ada yang menempuh pendidikan dasar. 

"Kalau kuliahnya aja kepikiran karena di sini (Batam) dekat dengan Singapura dan Malaysia, jadi mungkin kesempatannya lebih besar," jelas Hajar kepada Validnews, Senin (5/5).

Untuk alasan yang sama, Dwi juga bermimpi bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri, utamanya di Jepang. Kurikulum pendidikan di Indonesia yang gampang berubah dan tak jelas menjadi faktor pendorong.

Berdasarkan pengamatan, dia merasa miris kala melihat masih ada anak-anak yang duduk di bangku SMP di daerah-daerah terpencil yang belum bisa menghitung, menulis, atau bahkan membaca. 

"Untuk menyekolahkan anak ke luar negeri ya ada kepikiran. Saya ingin anak nanti kuliahnya di Jepang," kata Dwi.

Lebih jauh lagi, buruknya kurikulum pembelajaran di Indonesia membuat Dwi enggan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri pada tingkat SD. Memang, ada persepsi pembelajaran di sekolah swasta lebih baik dibanding sekolah negeri yang notabene gratis.

"SD itu kan basic banget belajar hitung, baca, dan pengetahuan umum. Kurikulum saat ini jelek banget, bahkan pengetahuan saat saya SD saja untuk anak SMP zaman sekarang belum tentu tahu," tekannya.

Sudah Berubah Jadi Kebutuhan
Merespons fenomena ini, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sharfina Indrayadi mengaku dan menilai, pendidikan formal di Indonesia saat ini memang belum sepenuhnya cukup untuk menghadapi tantangan dan kebutuhan pada masa yang akan datang. Sebut saja, perkembangan teknologi yang begitu pesat telah berdampak pada dunia kerja yang menuntut lebih kepada pegawai dari sebatas kemampuan akademik yang dimiliki. Sehingga, sang buah hati wajib dibekali keterampilan, kreativitas, berpikir kritis, serta harus mampu beradaptasi dan menguasai teknologi.

Karena itu, pendidikan formal dan nonformal semestinya saling melengkapi dengan tujuan yang sama, yakni menyiapkan anak menjadi pribadi yang tangguh serta tetap relevan dengan kebutuhan di masa depan.

"Jadi (pendidikan) bukan hanya untuk memperkuat hard skill, tapi juga membentuk karakter dan soft skill yang relevan seperti literasi teknologi, mengasah kreativitas dan inovasi, serta kemampuan memecahkan masalah," papar Sharfina saat dihubungi Validnews, Rabu (30/4).

Baca Juga: BPS: Pengangguran Indonesia Setahun Naik 83 Ribu Orang, Jadi 7,28 Juta Orang

Sejatinya, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah mengakui pentingnya peran pendidikan nonformal seperti kursus, pelatihan keterampilan, maupun pusat kegiatan belajar masyarakat. Namun, fungsinya yang seharusnya bersifat melengkapi itu kini cenderung berubah. Mengingat pada praktiknya, banyak yang menjadikan pendidikan tambahan sebagai kebutuhan utama.

Setidaknya, ada dua alasan utama pendidikan tambahan sudah bersifat penting dan menjadi kebutuhan utama. Alasan pertama, adanya dorongan supaya anak memiliki keterampilan secara lebih spesifik.

Semua pihak patut mengakui bahwa tak semua bakat dapat dilatih di sekolah formal. Sehingga, harus ada pendidikan tambahan untuk menjadi wadah pengembangan bakat bagi anak.

"Ada dorongan agar anak memiliki keterampilan spesifik, misalnya kemampuan bahasa asing, coding, atau keterampilan vokasional, yang tidak diajarkan secara memadai di sekolah," sebutnya.

Di samping itu, ada alasan kedua yang cenderung mengkhawatirkan bagi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) nasional. Yakni belum mampunya sekolah formal untuk menyediakan pendidikan berkualitas secara merata, baik dari aspek guru, kurikulum, maupun fasilitas.

"Situasi kedua menunjukkan keikutsertaan anak dalam pendidikan nonformal bukan hanya karena orang tua ingin memberi tambahan, tapi karena mereka perlu mengisi kekosongan yang ditinggalkan sistem formal (saat ini)," tambahnya.

Pendidikan Tambahan, Investasi Jangka Panjang
Pada kesempatan berbeda, Financial Planner dari CFP QWP Ode Kustriani Atmaja mengungkapkan, pendidikan tambahan baik itu bimbel, les, ataupun kursus merupakan bentuk investasi jangka panjang terhadap masa depan anak oleh orang tua.

Setuju dengan Sharfina, Ode pun menilai kemampuan akademik saja tidak cukup pada era persaingan dunia kerja yang kian hari makin mengetat. "Pendidikan tambahan ini bentuk investasi jangka panjang. Di era persaingan yang makin ketat, kemampuan akademik  (formal) saja tidak cukup," tandas Ode kepada Validnews, Senin (5/5).

Secara umum, Sharfina menyampaikan, masuknya pendidikan nonformal sebagai pelengkap atau penambah pendidikan formal di dalam UU Sisdiknas merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemda, serta masyarakat.

Dia menegaskan, pendidikan tambahan bukanlah hal yang berdiri di luar sistem, tetapi bagian dari upaya yang sah dan diakui untuk memastikan anak mendapat pembelajaran sesuai kebutuhan. Sistem pendidikan secara keseluruhan pun menurutnya harus terus diarahkan supaya lebih inklusif dan bisa diakses semua anak dari seluruh kalangan ekonomi.

Di satu sisi, ada dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) yang ditujukan bagi pendidikan formal. Sedangkan, dia menyayangkan, sistem pendidikan formal di Indonesia saat ini semakin jauh dari kata mencukupi kebutuhan anak-anak penerus bangsa.

Bantuan serupa untuk pendidikan nonformal di lain sisi masih belum dikucurkan pemerintah. Dia mensiyalir, pemerintah masih melihat pendidikan nonformal sebagai kebutuhan sekunder dan meyakini pendidikan formal masih cukup memenuhi kebutuhan siswa.

"Bantuan serupa untuk pendidikan nonformal masih jarang atau hampir tidak ada karena dianggap sekunder dan tidak termasuk program prioritas Wajib Belajar. Akibatnya, pendidikan tambahan atau nonformal menjadi semakin sulit diakses oleh peserta didik dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah," papar Sharfina.

Siapkan Anggaran Ekstra
Lalu berapa besaran biaya yang diperlukan untuk memberikan pendidikan di luar sekolah itu? Lembaga pendidikan tambahan seperti les, bimbingan belajar, maupun kursus sendiri biasanya menyediakan tarif yang lebih beragam dibanding sekolah formal.

Tempat-tempat pendidikan nonformal kerap menawarkan berbagai paket pembelajaran yang membuat orang tua bisa menyesuaikan dengan pemasukan masing-masing. Tak jarang, ada bimbingan belajar yang mengizinkan orang tua membayar dengan sistem cicilan pada paket yang telah dipilih.

Buat gambaran, berdasarkan penelusuran Validnews, saat ini orang tua paling sedikit harus merogoh kocek sekitar Rp200 ribu untuk mengikutsertakan anaknya dalam kegiatan pendidikan tambahan secara daring dalam kurun satu bulan.

Harganya tentu bervariatif, bahkan ada yang dipatok seharga Rp1,82 juta untuk materi pembelajaran online selama setahun penuh untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara untuk bimbel offline, lembaga pendidikan yang sudah ternama biasanya mematok tarif sekitar Rp5,8-7,1 juta untuk tingkat SD, serta kisaran Rp10-11 juta untuk tingkat SMP dan SMA per tahun.

Baca Juga: Celios: Ekonomi Kelas Menengah Kini Terjerat Tingginya Biaya Pendidikan

Dengan kenyataan itu, Perencana Keuangan dari Financial Consulting, Eko Indarto mengatakan, orang tua harus mempersiapkan dana ekstra untuk pendidikan tambahan bagi anaknya. Terlebih, model atau cara belajar yang diterapkan di sekolah saat ini sangat jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh setiap orang tua pada masanya. Orang tua pun belum tentu bisa mengaplikasikan hal-hal yang mereka ketahui semasa sekolah dahulu kepada anak mereka saat ini.

"Jadi, orang tua memang harus mempersiapkan dana tambahan. Apalagi, model cara belajar yang berbeda saat ini belum tentu bisa diaplikasikan oleh orang tua," sebut Eko  yang berbincang dengan Validnews via telepon, Jumat (2/5).

Dengan adanya anggaran ekstra untuk pendidikan tambahan, paling tidak orang tua merasa nyaman dengan proses pembelajaran yang dilalui oleh sang buah hati.

Meski begitu, besaran uang yang harus disiapkan menurutnya bisa berbeda-beda. Pasalnya, ada orang tua yang mencari mutu pendidikan tambahan dengan harga yang lebih tinggi, tetapi ada pula yang ala kadarnya. Yang jelas, Eko menekankan, anggaran ekstra itu harus tetap dialokasikan secara rutin dari penghasilan bulanan keluarga. Dia menyebut orang tua tak perlu susah memikirkan persiapan anggaran tambahan, karena dana tersebut bisa dialokasikan dari penghasilan rutin.

Terpenting, harus ada pemasukan bulanan tetap agar kebutuhan pendidikan tambahan bagi anak bisa terpenuhi. Di samping itu, orang tua juga harus merealokasi konsumsi bulanan yang dirasa tidak perlu agar bisa diarahkan untuk menguatkan biaya pendidikan tambahan.

"Misalnya, uang (jajan) kopi yang bisa sampai Rp400 ribu per bulan, itu sama dengan les anak untuk dua mata pelajaran," ungkapnya.

Sisihkan Pendapatan Bulanan
Adapun, Ode punya tips lain untuk menyiapkan dana ekstra bagi pendidikan tambahan anak. Dia menyarankan agar minimal 10% dari pendapatan bulanan disisihkan orang tua untuk bimbel, les, atau kursus.

Dirinya menyebut, penyiapan anggaran ekstra itu semakin baik jika dilakukan sedari dini, bahkan sejak anak berada dalam kandungan. Dengan begitu, orang tua punya waktu yang lebih panjang untuk menyiapkan pendidikan tambahan si anak.

"Semakin ditunda, beban keuangan makin berat dan waktu investasi makin pendek. Prinsip utamanya adalah lebih murah mencicil mimpi daripada membayar impian dengan utang," tutur Ode.

Apalagi jika orang tua sudah punya rencana kursus tambahan yang akan diikuti anak, mereka bisa menyisihkan uang dengan mudah, bersamaan dengan penyiapan anggaran uang pangkal sekolah formal.

Baca Juga: Ekonom: APBN Memungkinkan Sediakan Kuliah Gratis

Adapun skema investasi yang dirasa cocok adalah reksadana pendapatan tetap atau emas untuk jangka menengah, seperti 3-5 tahun. Sementara itu, untuk jangka target yang lebih panjang, bisa menggunakan reksadana saham atau SBN Ritel yang kemudian kuponnya dapat kembali diinvestasikan. 

"Hindari terlalu mengandalkan tabungan biasa karena tidak mengalahkan inflasi biaya pendidikan. Lalu, gunakan rekening atau pos terpisah dengan investasi untuk uang pangkal," jelasnya.

Sharfina menguraikan, faktor sosial ekonomi berperan besar dalam meningkatkan kualitas belajar, karena memberi kebebasan bagi peserta didik untuk mengakses pendidikan tambahan di luar jalur formal. 

Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 oleh OECD menunjukkan, siswa dari keluarga dengan status ekonomi tinggi cenderung mendapatkan skor lebih tinggi dalam membaca, matematika dan sains. 

PISA juga menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi, latar belakang keluarga seperti pendidikan orang tua, dan lingkungan sekolah terhadap hasil belajar siswa.

Meski begitu, dia menekankan, memastikan sistem pendidikan formal maupun nonformal mampu menjangkau seluruh kelompok masyarakat, termasuk mereka yang berpenghasilan rendah merupakan hal terpenting. 

"Selain akses, kualitas pendidikan juga harus dijaga agar semua peserta didik benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih dan berkembang melalui jalur pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya," sebutnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar