04 Oktober 2025
18:00 WIB
Menggugat Persamaan Kesempatan Kerja Untuk Penyandang Disabilitas
Pemerintah telah memfasilitasi penyerapan tenaga kerja disabilitas lewat UU 8/2016. Nyatanya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas masih merupakan kemewahan.
Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa
Editor: Rikando Somba
Seorang barista penyandang tunarungu berkomunikasi dengan bahasa isyarat saat meracik kopi di Cafe Sunyi, Jakarta, (01/10/2025). Validnews/Hasta Adhistra.
JAKARTA – Syarif, begitu nama yang muncul di aplikasi layanan ojek online diikuti informasi plat nomor, warna dan jenis kendaraan yang siap mengantar penumpang dengan rute Stasiun Gondangdia menuju salah satu kantor pemerintahan di bilangan Jakarta Pusat. Di aplikasi yang dibuka Validnews siang pertengahan pekan lalu itu, lengkap pula detail tarif perjalanan mengantar senilai Rp13.000.
“Mohon maaf sebelumnya saya tuli,” begitu pesan yang ia kirimkan usai pesanan diperoleh. Kata "maaf" jadi hal pertama yang disampaikan Syarif melalui ruang pesan aplikasi, seolah khawatir kondisi yang dimiliki akan jadi penghambat bagi orang yang memakai jasanya.
Komunikasi berlanjut. Selaku penumpang, Validnews mengirimkan pesan-pesan soal titik temu, warna pakaian yang dipakai, dan memastikan plat kendaraan sesuai. Dari pesan-pesan tersebut, kata ‘maaf’ nyaris tidak pernah absen disampaikan Syarif.
“Terima kasih sudah memakai jasa saya, maaf karena keterbatasan komunikasi saya ya kak,” tutup Syarif setelah penumpang selesai diantar sampai tujuan.
Syarif barangkali baru satu dari ribuan atau bahkan jutaan penyandang disabilitas yang memiliki semangat sama dengan mereka lainnya, untuk memperoleh penghasilan dan kemandirian secara ekonomi. Tapi realitanya, ‘bekerja’ bagi penyandang disabilitas jadi salah satu hal mewah yang belum bisa dimiliki dengan mudah.
Ya, statistik mencatatnya sebagai suatu fakta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada sebanyak 23 juta penyandang disabilitas di Indonesia dengan 17 juta di antaranya berada di kisaran usia produktif. Namun, baru sekitar 45% yang bekerja, sebagian besar berjibaku di sektor informal. Salah satunya adalah Syarif yang berstatus sebagai mitra pengemudi pada perusahaan layanan transportasi online.
Sementara itu, catatan mengenai angka tenaga kerja disabilitas yang bekerja di sektor formal berbeda. Misalnya, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS di tahun 2024, terdapat 1,04 juta penyandang disabilitas usia produktif dengan 928.000 di antaranya sudah bekerja. Sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan melalui Unit Layanan Disabilitas (ULD) Ketenagakerjaan per September 2025 mencatat, baru ada 795 orang penyandang disabilitas yang berhasil ditempatkan bekerja di 16 provinsi, dengan Jawa Barat menjadi provinsi dengan pekerja disabilitas terbanyak.
“Angka ini menunjukkan kemajuan, namun masih jauh dari target kuota undang-undang,” ujar Kepala Biro Humas Kemnaker Sunardi Manampiar Sinaga kepada Validnews, Rabu (1/10).
Difasilitasi Negara, Tapi…
Peluang bekerja bagi penyandang disabilitas terutama di sektor formal bukannya tidak difasilitasi oleh negara. Lewat Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penyandang Disabilitas (UU PD), pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diwajibkan mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2% dari total pekerja. Sedangkan, ayat (2) mengatur kewajiban perusahaan swasta untuk menyerap minimal 1%.
Kewajiban ini, berlaku tanpa diskriminasi. Baik pemerintah maupun perusahaan juga wajib memberikan perlindungan yang sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan yang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan.
Masih berdasarkan beleid yang sama, kondisi disabilitas dibagi menjadi lima kategori, yakni disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, disabilitas sensorik dan disabilitas ganda/multi.
Secara tertulis, perusahaan baik swasta maupun pemerintah yang tidak menjalankan atau menunjukkan kepatuhan terhadap UU penyandang disabilitas sebenarnya dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha hingga pencabutan izin. Atau dari segi pidana, perusahaan bahkan bisa saja dikenakan hukuman penjara maksimal 2 tahun dan dikenakan denda hingga Rp200 juta.
Namun yang terjadi saat ini, pemerintah menurut Sunardi lebih menekankan kepada pembinaan dan kepatuhan sukarela.
“Saat ini Kemnaker lebih menekankan pembinaan dan mendorong kepatuhan sukarela,” ujar Sunardi.
Bukan tanpa alasan. Kemenaker memahami terdapat beberapa faktor eksternal hingga pengaruh sosial yang diyakini menjadi penyebab masih minimnya kemampuan perusahaan dalam menyerap tenaga kerja disabilitas. Di antaranya karena lingkungan kerja yang belum ramah disabilitas, stigma di masyarakat hingga kesempatan yang terbatas.
Kondisi tersebut diamini oleh pendiri sekaligus Direktur Program Kerjabilitas Tety Sianipar. Menurutnya, memberikan akses pekerjaan ke penyandang disabilitas bukan hanya sebatas pada keberhasilan melewati proses rekrutmen, melainkan juga faktor pendukung yang mendorong seorang difabel dapat leluasa bersosialisasi dengan kondisi yang dimiliki, terlebih saat lingkungan kerja belum sepenuhnya inklusif.
Di lain sisi, menurut Tety, belum terciptanya lingkungan kerja yang inklusif juga terjadi bukan karena minimnya kesadaran dari masyarakat sekitar, namun disebabkan oleh rasa takut yang menimbulkan kesalahpahaman di lingkungan kerja itu sendiri.
“Mereka (masyarakat) mungkin kebanyakan takut ya, kebanyakan tuh takut salah jadi nggak diajak ngomong, eh ternyata buat difabelnya itu jadi dianggap pengecualian kan. ‘Ngapain aku ke kantor, kalau ternyata nggak diajak makan siang, nggak diajak ngobrol’ gitu. Jadi bukan hanya tentang bekerja tapi juga bersosialisasi di tempat kerja itu kebutuhan yang enggak bisa disepelekan,” ujar Tety kepada Validnews, Kamis (2/10).
Kepatuhan Perusahaan
Kebijakan pemerintah yang belum menerapkan peraturan tenaga kerja disabilitas dengan tegas dan baru sebatas didorong oleh kepatuhan sukarela, menurut Tety juga jadi salah satu penyebab masih banyak perusahaan yang belum memenuhi batas minimal pekerja disabilitas 1%.
“Mereka (perusahaan) sebenarnya tidak terlalu takut atau peduli dengan si (peraturan) 1%-2%, karena memang belum ada penegakan hukumnya, sanksi dan penghargaannya belum ada,” kata Tety.
Sepanjang pengalamannya menjadi penghubung antara tenaga kerja disabilitas dengan ragam perusahaan dari berbagai sektor, pun jika ada yang mencatatkan pekerja disabilitas mencapai 3% pada akhirnya tidak sesuai dengan pemahaman disabilitas yang dimaksud dalam undang-undang.
Namun dari sekian banyak perusahaan yang eksis, Tety mengakui terdapat beberapa yang sudah berhasil menunjukkan kepatuhan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut, menurutnya bukan karena semata-semata mengikuti aturan pemerintah saja. Kebanyakan justru karena mematuhi aturan dan kebijakan perusahaan induk yang berasal dari luar negeri.
Dalam hal ini, kepatuhan yang dimaksud sudah terpenuhi oleh beberapa perusahaan berskala multinasional. Salah satunya perusahaan di industri pakaian dan tekstil yang menurut pengakuan Tety juga banyak menyerap tenaga kerja disabilitas melalui Kerjabilitas.
“Karena mereka perusahaan internasional, mereka mengharuskan beberapa hal salah satunya adalah tentang memberikan kesempatan kerja bagi disabilitas di tempat mereka. Mungkin supaya mereka bidding atau bisnisnya juga berjalan dengan baik, karena mereka cari yang bisa mendukung nilai ekonomi dari perusahaannya, jadi bukan yang penting ada (pekerja disabilitas),” tambahnya.
Mendukung pernyataan Tety, HR Director Coats Rejo Indonesia Dessy Sapariningsih mengungkapkan bahwa pihaknya sebagai salah satu perusahaan yang berhasil memenuhi standar minimal pekerja disabilitas di kisaran 1% dari sekitar 1.000 karyawan di setiap wilayah operasional yang berbeda. Sebagai perusahaan yang memproduksi benang dengan 50.000 warna berbeda, Dessy mengungkap penempatan tenaga kerja disabilitas disesuaikan pada kondisi atau derajat kedisabilitasan yang dapat memudahkan mereka dalam melakukan pekerjaannya.
Adapun dalam menjaring tenaga kerja disabilitas, kepada Validnews Dessy mengaku bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) yang memang memiliki cakupan peserta tidak hanya calon pekerja biasa melainkan juga pencari kerja dengan kebutuhan khusus.
“Kami bilang ke mereka (BLK) bahwa salah satu target perusahaan yang sejalan dengan pemerintah itu kan wajib mempekerjakan sekitar minimal 1% (disabilitas), Alhamdulillah kami sekarang sudah mempekerjakan sekitar 1,2%, dan ini akan berjalan terus,” ujar Dessy, Jumat (3/10).
Dalam melakukan proses rekrutmen, Dessy mengaku pihaknya aktif berkomunikasi dengan BLK untuk bertukar informasi dua arah terkait ketersediaan lowongan atau tenaga kerja yang dapat terserap. “Memang kami practically secara periodic selalu minta data ke Balai Latihan Kerja dan minta juga disuplai (tenaga kerja),” tambahnya.

Jaminan Jenjang Karier
Lebih lanjut, dia menjelaskan untuk perusahaan yang beroperasi di Bogor dengan sekitar 1.000 karyawan, terdapat sekitar 10-12 pekerja disabilitas dengan kondisi berbeda di beberapa unit. Salah satunya pekerja yang memiliki kelemahan di anggota gerak bawah tubuh yang menempati posisi operator. Selain itu, ada pula pekerja yang memiliki kendala dalam hal disabilitas sensorik atau sensitif terhadap cahaya, serta kelemahan gerak tubuh bagian atas.
Sebagai catatan, selain di Bogor, Coats juga memiliki kawasan industri yang berlokasi di Pleret, Pasuruan. Dalam waktu dekat, Dessy mengungkap langkah ekspansi akan dilakukan dengan pembangunan fasilitas di Surabaya.
Di sisi lain, dia menggarisbawahi, kebijakan mempekerjakan karyawan disabilitas minimal 1% berlaku di masing-masing regional, bukan bersifat kumulatif. Sehingga ke depan, perusahaan dipastikan akan kembali membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas lainnya di kota berbeda. Kendati, Dessy mengungkapkan bahwa peluang untuk mengisi posisi-posisi strategis akan lebih dulu diberikan kepada karyawan internal, termasuk tenaga kerja disabilitas guna memberikan kesempatan dan jenjang karier.
“Kita ngasih kesempatan juga ke mereka, misalnya ini ada lowongan team leader atau ada lowongan supervisor, karena mereka juga boleh melamar selama test-nya lolos, capable nggak ada masalah,” ujar Desy.
Dia menceritakan juga hal baru yang terjadi di perusahaan yang dipimpinnya. Ada tenaga kerja dengan kondisi pincang pada bagian kaki yang menempati posisi sales bahkan baru saja mendapat promosi jabatan. Menurutnya, penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan kinerja karyawan yang bersangkutan, bukan hanya sebatas kehadiran fisik melainkan juga skill yang dimiliki.
“Sebelumnya beliau di level supervisor sekarang sudah di level assistant manager. Karena kan kalau jadi sales nggak mesti kakinya harus sempurna, mereka akan lebih banyak berhasil, akan lebih mengedepankan pengetahuan mereka tentang produk kami, kemampuan negosiasi, dan Alhamdulillah juga feedback dari klien mereka senang, karena orang ini memang sangat kompeten,” terang Dessy.
Terkait penentuan cakupan pekerjaan hingga indeks penilaian yang menandai kinerja karyawan, Dessy memastikan pihaknya tidak menerapkan perbedaan yang berarti selain penempatan yang disesuaikan dengan kondisi disabilitas. Sebab, menurutnya penilaian kinerja karyawan tidak hanya sebatas pada lingkup pekerjaan, melainkan juga mencakup sikap, kedisiplinan, catatan keterlambatan dan kerajinan yang menjadi bagian dari aspek penilaian.
Penyerapan meningkat
Terlepas dari keberhasilan Coats sebagai perusahaan skala multinasional yang menyerap tenaga kerja disabilitas, Tety kembali mengungkap bahwa penyerapan tenaga kerja untuk teman difabel belakangan semakin meningkat, terutama pada saat momen Paralympic.
Tety mengingat, sebelum adanya peraturan mengenai tenaga kerja disabilitas melalui UU/18 tahun 2016, dirinya melalui Kerjabilitas sudah lebih dulu meningkatkan kesadaran dan advokasi akan pekerja disabilitas sejak tahun 2014.
“Lumayan meningkat setelah Paralympic di Indonesia, itu lumayan meningkat jumlah lowongan yang dibuka buat disabilitas. Karena memang awareness atau kesadaran tentang isu disabilitas juga meningkat, waktu itu kan banyak atlet-atlet disabilitas, orang-orang makin paham ada disabilitas yang berkarya,” tambah Tety.
Tety juga membeberkan bagaimana Kerjabilitas dilakukan di tahap awal. Menjemput bola dari pintu ke pintu dan menghubungi satu per satu perusahaan untuk membuka peluang untuk penyandang disabilitas menjadi hal yang dilakukan di awal kerja. Untungnya, kini Kerjabilitas sudah mulai memiliki database dan diminta oleh berbagai perusahaan untuk menjadi penghubung dengan pencari kerja disabilitas.
Ada hal yang unik juga dibebernya. Peningkatan akses kerja untuk penyandang disabilitas justru meningkat di masa covid-19. Saat di mana lapangan kerja formal diterpa badai PHK, Tety mengaku kesempatan untuk teman-teman disabilitas meningkat disebabkan oleh perubahan pola yang memudahkan mereka mendapat kesempatan kerja. Mulai dari wawancara kerja yang dilakukan secara daring hingga jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan secara jarak jauh atau dari rumah, sehingga minim mobilitas dan memudahkan para penyandang disabilitas.
Saat ini, setidaknya Kerjabilitas memiliki sekitar 13.000 pencari kerja disabilitas yang terdaftar di platform dengan lowongan yang berasal dari ragam perusahaan, mulai dari perusahaan multinasional, perusahaan nasional hingga UMKM dari berbagai industri.
“Kami sudah bermitra dengan 5.000 penyedia kerja seluruh Indonesia. Karena memang kami kontak satu-satu perusahaannya, jadi walaupun mereka memasukkan lowongan secara mandiri tapi kami kontak lagi untuk memastikan apakah mereka paham apa itu disabilitas dan apa konsekuensi ketika mereka membuka lowongan itu,” tandas Tety.

Asal Ada Kemauan
Bicara soal konsekuensi, Hidayah Zahida bisa dibilang adalah salah satu pihak yang teguh pendirian memberi kesempatan lapangan kerja untuk penyandang disabilitas. Meski belum dalam bentuk perusahaan besar, Zahida melalui UMKM rintisannya yakni Zahida Printing sudah berhasil mempekerjakan karyawan disabilitas bahkan melebihi target 1% dari yang ditetapkan pemerintah.
Delapan dari total 25 karyawan Zahida merupakan penyandang disabilitas, semuanya dia tempatkan di bagian produksi untuk menghasilkan produk kain seperti tas, dompet serta busana lukis buatan tangan.
Dari 8 orang karyawan disabilitas tersebut, tiga orang Zahida pekerjakan dari rumah masing-masing lantaran sudah memiliki alat berupa mesin jahit yang didapat dari Dinas Sosial, sedangkan sisanya bekerja di workshop menggunakan mesin jahit yang disediakan.
“Yang di workshop kami 5 orang, tapi yang kita pekerjakan di rumah masing-masing yang sudah punya mesin itu ada 3 orang, dan ini ada beberapa yang masih kita training juga,” kata Zahida kepada Validnews, Jumat (3/10).
Selain tunarungu dan tunawicara, berdasarkan penuturan Zahida terdapat satu pekerja disabilitas yang tidak memiliki jari-jari tangan dan telapak kaki. Sehingga dalam melukis, pekerja tersebut menggunakan dua tangan yang menjepit kuas. “Awal-awalnya memang banyak harus sabarnya. Tapi kalau sudah bisa, kita beberapa bulan mereka training, Alhamdulillah malah lebih rajin, lebih bagus hasilnya, mereka lebih fokus Jadi kendalanya awal-awal karena komunikasi aja,” ujar Zahida.
Dari 8 tenaga kerja disabilitas yang mengisi unit produksi, setiap harinya masing-masing dari mereka dapat menghasilkan hingga puluhan jilbab, puluhan tas dompet, dan beberapa baju. Hasil produksi ini yang kemudian berhasil membawa Zahida Printing menembus pasar ekspor, dengan dipasarkan ke berbagai negara mulai dari Uni Emirat Arab, Thailand, dan Singapura.
Bahkan, produk-produk yang dihasilkan pekerja disabilitas tersebut mendapat permintaan pengiriman produk lanjutan (repeat order) dari Malaysia dan India. Berbeda dengan perusahaan pada umumnya yang mungkin membuka lowongan disertai kemampuan skill dan kompetensi tertentu. Zahida mengaku berkomitmen khusus dan menerima konsekuensi untuk bisa membina para tenaga kerja disabilitas. Karenanya, skill dari para karyawan ini tak diperoleh dengan cara instan.
“Kita tidak ada persyaratan, harus punya skill, harus pintar, harus ini. Nggak, yang penting mereka mau bekerja dan mau belajar,” tandas Zahida.
Namun, kemauan tak bisa hanya datang dari penyandang disabilitas pencari kerja. Kemauan juga harus ada dari sisi pemberi kerja untuk menciptakan ruang kerja inklusi, didukung dengan upaya pemerintah.
Tety menilai masih banyak sisi-sisi yang belum diisi sama pemerintah, termasuk dari sisi pendidikan dan pelatihan sebagai bekal penyandang disabilitas memasuki dunia kerja.
"Di industri mungkin ada kebutuhan, tapi buat pelatihan dan pendidikannya itu belum ready, belum serve orang dengan disabilitas," pungkas Tety.