c

Selamat

Selasa, 21 Mei 2024

EKONOMI

02 April 2022

18:00 WIB

Menggarap Industri Mamin Lokal, Mengincar Halal Global

Potensi pasar domestik industri makan dan minuman (mamin) lokal sangat besar, mencapai US$144 miliar atau berkisar Rp2.100 triliun.

Penulis: Rheza Alfian,Fitriana Monica Sari,Wiwie Heriyani,Khairul Kahfi,

Editor: Fin Harini

Menggarap Industri Mamin Lokal, Mengincar Halal Global
Menggarap Industri Mamin Lokal, Mengincar Halal Global
Warga berbelanja makanan dan minuman di salah satu minimarket. ANTARAFOTO/Arif Firmansyah

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan Indonesia menjadi pusat industri halal global alias global halal hub pada 2024. Target Jokowi bukan tanpa sebab. Pasar produk halal dunia masih sangat besar dan terus bertumbuh. Dan, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. 

Laporan State of the Global Islamic Economy Report 2022 yang dirilis pada 31 Maret 2022 memperkirakan, 1,9 miliar muslim dunia menghabiskan US$2 triliun di sektor makanan, farmasi, kosmetik, mode, perjalanan, dan media/ sektor rekreasi pada tahun lalu. 

Pengeluaran ini mencerminkan pertumbuhan secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 8,9% dari 2020, dengan aset keuangan Islam diperkirakan tumbuh menjadi US$3,6 triliun pada 2021 atau naik 7,8% dari US$3,4 triliun pada 2020.

Terlepas dari berlanjutnya ketidakpastian terkait pandemi, pengeluaran muslim global pada 2022 diperkirakan akan tumbuh sebesar 9,1% untuk sektor ekonomi Islam. Itu pun belum termasuk sektor keuangan syariah.

Semua sektor-sektor ini, kecuali perjalanan, juga dilaporkan telah kembali ke tingkat pembelanjaan prapandemi pada akhir 2021. Pembelanjaan pasar muslim diperkirakan mencapai US$2,8 triliun pada 2025 dengan kumulatif 4 tahun tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 7,5%.

Dalam laporan terbaru itu pun, Indonesia berhasil mempertahankan posisinya pada The Global Islamic Economy Indicator. Pada 2021, Indonesia masih saja di posisi ke-4 dunia.

Lalu, bagaimana cara Indonesia untuk mewujudkan target itu?

Ekosistem Halal
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) Muhammad Aqil Irham menjabarkan, global halal hub yang ingin dicapai Indonesia berupa simpul sinergi dalam pengembangan produk halal. 

Tujuannya menjembatani rantai pasok (supply chain) produk halal secara global. Untuk menciptakan halal hub, tentu harus diperkuat ekosistem halal yang ada.

Ekosistem halal terbentuk ketika suatu sistem hubungan timbal balik antara satu aktivitas produksi halal dengan aktivitas produksi halal lainnya terbentuk. Ekosistem halal yang kuat ditopang oleh halal supply chain atau rantai pasok yang kuat pula. 

Saat ini, Indonesia tengah membangun dan mengembangkan ekosistem itu. Fondasi ekosistem halal ini adalah jaminan produk halal yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah melalui BPJPH sesuai amanat UU 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Melalui penyelenggaraan JPH khususnya percepatan mandatory sertifikasi halal yang menyasar kepada pelaku usaha, khususnya UMK, BPJPH berperan penting dalam penguatan ekosistem atau halal hub di Indonesia.

“Oleh karena itu, maka dapat dipastikan peran UMK dalam pengembangan halal hub di Indonesia sangatlah signifikan. Fakta menunjukkan UMK mendominasi sektor usaha di Indonesia,” tutur Aqil kepada Validnews di Jakarta, Jumat (1/4).

Lebih lanjut, diuraikan bahwa rantai pasok industri halal atau halal supply chain akan kuat jika ditopang adanya infrastruktur kuat. Misalnya, infrastruktur yang ada harus mampu memastikan ketersediaan logistik bahan baku untuk industri halal atau menjamin produksi halal dari hulu hingga hilir dapat berjalan dengan baik.

Menurutnya, memperkuat rantai pasok dapat dilakukan dengan penguatan ekosistem halal. Di Indonesia, setidaknya ada beberapa aspek yang menentukan penguatan dan pengembangan ekosistem halal. 

Pertama, diterapkannya halal traceability dalam ekosistem halal. Kedua, adalah riset dan pengembangan dalam industri halal yang dilakukan berkesinambungan, dengan salah satu fokusnya membantu pemenuhan ketersediaan bahan baku halal. 

Ketiga, adanya standardisasi halal yang diwajibkan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan Jaminan Produk Halal khususnya sertifikasi halal yang bersifat mandatory.

Pemerintah, sambungnya, juga terus melakukan penguatan SDM di bidang halal yang mutlak diperlukan dalam akselerasi sertifikasi halal, seperti tersedianya penyelia halal, pendamping PPH UMK, auditor halal, juru sembelih halal, chef halal, dan sebagainya. 

“Juga, pemerintah bersama pihak lain memberikan dukungan pembiayaan sertifikasi halal khususnya bagi UMK,” ujarnya.

Kawasan Industri Halal
Untuk mendukung penciptaan ekosistem halal, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendapat tugas menyiapkan Kawasan Industri Halal (KI Halal). Kemenperin juga wajib mengawal KI Halal hingga masuk dalam peringkat Global Islamic Economy Index pada 2024. Ini merupakan target dari Roadmap Pembangunan Kawasan Industri Halal.

KI Halal menjadi penekanan dalam rangka penguatan ekosistem industri halal. Hal ini karena KI Halal merupakan infrastruktur dari industri halal itu sendiri. Infrastruktur industri halal yang terdapat di KI Halal akan menunjang research and development, kebutuhan sumber bahan baku, serta produksi. Kemudian, memenuhi aspek distribusi serta penjualan dan pemasaran.

Didapuk sebagai penanggung jawab KI Halal, Kemenperin juga wajib menjalankan sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan dengan kementerian/lembaga terkait.

“Pertama perlu dudukan Kemenperin. Tugasnya berdasarkan Permen 17/2020 tentang pusat pemberdayaan industri halal fungsinya di PPIH Kemenperin adalah percepatan koordinasi,” kata Kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal Kemenperin Junadi Marki kepada Validnews di Jakarta, Jumat (1/4).

Pada pembangunan KI Halal, lanjut Junaidi, tujuan utamanya adalah mendatangkan tenant masuk ke dalam kawasan. Geliat pembangunan KI Halal dinilai perlu mendapatkan perhatian, seperti fasilitasi insentif, guna memperkuat ekosistem halal value chain dari aktivitas industri halal global.

Saat ini pun telah terbangun tiga KI Halal, yaitu Halal Modern Valley di Serang, Banten, Halal Industrial Park di Sidoarjo, dan Bintan Inti Halal Hub. Ketiga KI Halal tersebut telah menangkap potensi investasi industri halal global. 

Sementara, delapan KI lainnya sudah memiliki rencana maupun dalam tahap perencanaan KI Halal, meliputi KI Ladong, KEK Barsela, KI Tenayan, serta Batamindo Industrial Park. Kemudian, Jakarta Industrial Estate Pulogadung, Kawasan Industri Subang, Kawasan Industri Surya Borneo, serta Kawasan Industri Makassar (KIMA).

Sasar Makanan dan Minuman
Selain mengembangkan KI Halal, Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) Kemenperin juga bertugas meningkatkan kualitas industri kecil menengah (IKM), khususnya dalam memproduksi produk halal. PPIH juga bertugas untuk memberdayakan IKM secara terukur dengan menggunakan indeks yang tepat. 

“Nah sedang kembangkan sebetulnya apa indeks kemampuan industri mendeteksi barang-barang yang tidak halal, lalu kemampuan dia untuk mengganti,” imbuhnya.

Sektor pertama yang akan diperkuat adalah makanan minuman halal. Junadi mengatakan karena dalam Islam, inti dari halal ada di makanan dan minuman. 

Selain itu, potensi pasar domestik sektor ini terbilang besar. Nilainya mencapai US$144 miliar atau berkisar Rp2.100 triliun. Angka ini berdasarkan data State of the Global Islamic Economy Report 2020/2021. Data ini menempatkan Indonesia sebagai pasar produk makanan halal terbesar di dunia. 

Menurutnya, hal inilah yang mendorong seluruh dunia berbondong-bondong mendapatkan standar halal Indonesia. Junadi juga menuturkan saat ini industri makanan minuman halal menjadi pasar yang disoroti. “Karena paling kuat, kita juga sudah naik peringkat,” ujarnya.

Laporan Global Islamic Economy Indicator Score pada sisi halal food pun menunjukkan produk makanan halal Indonesia berada di peringkat 2 dunia setelah sebelumnya ada di peringkat 4, atau hanya kalah dari peringkat 1 Malaysia. 

Untuk itu, Kemenperin bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Bank Indonesia (BI), Komite Nasional Ekonomi Syariah (KNEKS) membuat master plan penguatan industri halal nasional.

“Sambil kita juga mengisi kebutuhan dalam negeri yang sudah begitu besar, negara lain aja udah berlomba-lomba. Mari kita mengisi demand tadi,” ucapnya.

Aqil mengamini, peluang pasar produk halal Indonesia terbuka sangatlah besar. Hal ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan produksi produk makanan halal. Namun, ia mendorong produsen tidak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri. Yang harus diincar adalah pasar internasional yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Sejatinya, peluang ekspor produk halal Indonesia sangat besar. BI mencatat pangsa pasar makanan halal Indonesia mencapai 13% dari pasar global pada kuartal II/2021. Ekspor makanan halal Indonesia mencapai US$10,36 miliar pada kuartal II atau tumbuh 46%.

Aqil menambahkan, pengembangan KI Halal tentu akan mendukung produksi berbagai produk halal. Karena, adanya dukungan ketersediaan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan halal dan sudah disesuaikan dengan ketentuan regulasi jaminan produk. 

Percepat Sertifikasi Halal
Untuk mendukung industri halal, pemerintah pun merumuskan berbagai kemudahan untuk pelaksanaan sertifikasi halal. Hal ini sesuai semangat UU Cipta Kerja dan seiring diberlakukannya PP 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. 

Ada beberapa hal yang termaktub sebagai dukungan riil. Sertifikasi halal yang sebelumnya memerlukan waktu sekitar 90 hari dipercepat menjadi hanya 20 hari terhitung dari pengajuan permohonan sertifikat halal ke BPJPH hingga diterbitkannya sertifikat halal oleh BPJPH.

Pemerintah juga menerbitkan ketentuan tarif layanan BLU BPJPH yang sangat jauh lebih ringan dibandingkan tarif sertifikasi halal yang sudah ada selama ini. Ketentuan tarif ini diatur melalui Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH.

Melalui aturan tersebut, biaya sertifikasi halal UMK yang sebelumnya Rp3 jutaan diturunkan hanya Rp300 ribu. Bahkan bagi UMK diberikan tarif Rp0 bagi sertifikasi halal melalui skema pernyataan pelaku usaha atau self declare.

Pada saat sama, pemerintah melalui BPJPH juga terus melakukan transformasi digital agar pelayanan menjadi lebih mudah, cepat dan berkualitas. BPJPH menetapkan, proses layanan sertifikasi halal oleh pelaku usaha sepenuhnya dilakukan secara online melalui sistem layanan SIHALAL.

“Aktivitas SEHATI mulai dari pendaftaran/pengajuan, pendampingan PPH, penetapan fatwa halal sampai penerbitan sertifikat halal, seluruhnya juga dilaksanakan pada sistem SIHALAL,” ucapnya.

Beragam bentuk penguatan ini didasari kelemahan produk halal Indonesia, yaitu daya saing dan branding secara internasional yang masih harus terus diperkuat.

Produk halal dari sektor UMK juga tak terlepas dari sejumlah persoalan yang dihadapi oleh UMK di Indonesia, antara lain kualitas yang masih rendah, sering terbentur pada masalah biaya, hingga pengemasannya yang kurang menarik.  

Potensi Besar
Chairman Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar merincikan faktor lain yang mendukung besarnya potensi pasar industri halal Indonesia.

“Berikutnya, kekuatan lain bahwa sekarang itu meningkatnya kepercayaan terhadap praktek keislaman itu makin tinggi. Misal kalau dulu pakai hijab itu dibilang kampung, sekarang jadi stylish. Dulu itu orang enggak peduli sama produk halal. Sekarang tolak angin aja halal. Kemudian disusul dengan permintaan-permintaan produk halal yang juga semakin meningkat,” tuturnya kepada Validnews di Jakarta, Jumat (1/4).

Namun, diakuinya, meskipun kesadaran masyarakat sudah tinggi, penyediaan barang halal  masih belum kompetitif. Malaysia dengan penduduk muslim lebih sedikit, justru lebih maju di kompetisi ini. 

Di sisi lain, Indonesia juga disebut masih ribet dengan definisi halal. Masalah kolaborasi dan sinergi antara usaha juga masih kuat terbentuk.

Opportunity dan thread-nya ya peluangnya besar. Kita belum memenuhi dari sebagai konsumen, orang Indonesia menjadi produsen. Kita juga belum bisa bersaing semuanya produk kita dengan produk-produk dari Thailand, Korea, dan seterusnya,” ucapnya.

Sebagai cara menepis kelemahan itu, Sapta menyerukan agar warga Indonesia harus punya kesadaran untuk memanfaatkan produk dalam negeri.

Tak kalah penting, informasi seputar sertifikasi harus disebarkan meluas sehingga masyarakat dan dunia usaha memahami kebijakan terbaru.

Aqil sependapat soal ini. Meningkatnya jumlah populasi penduduk muslim di dunia harus diantisipasi.

Pada 2018 jumlah penduduk muslim dunia mencapai 1.8 miliar, dan diprediksi bertambah pada tahun 2030 mencapai 2,2 miliar. Peningkatan populasi Muslim dunia tersebut dipastikan akan meningkatkan permintaan produk halal, baik berupa barang ataupun jasa.

Meningkatnya jumlah penduduk itu juga di saat sama meningkatkan permintaan akan kualitas produk, dan tingginya persaingan global.

“Produk halal telah menjadi tren global dengan peluang besar, sehingga semakin menarik banyak negara untuk mengembangkan industri halalnya, bahkan di negara dengan penduduk muslim minoritas sekalipun,” ucap Aqil.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar